Oleh : Eko Budiono SST.Par.M.Si :
Pengamat Kebijakan Publik dan Dunia Islam
“Satu–satunya peradaban yang bisa mengalahkan Eropa sebanyak dua kali dan menguasai dunia hanyalah Islam. Kalimat di atas adalah bagian dari tulisan ilmuwan politik dari Amerika Serikat, Samuel Philip Huntington, pengarang buku The Clash of Civilization.
Berangkat dari kalimat di atas bisa menjadi salah satu alasan genocide (pembantaian etnis) Rohingya oleh rezim junta militer Myanmar.Akibatnya terdapat sekitar 860.356 jumlah pengungsi Rohingya sampai 30 Juni 2020 (data dari Bada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengungsi atau UNHCR ) di Bangladesh.
Secuil cerita pilu seperti dilansir harian Republika. Para Muslim Rohingya yang selamat di Lhokseumawe, Aceh, menceritakan kepedihan yang mereka alami selama berada di laut lepas. Jumlah pengungsi Rohingya yang berada di Aceh sekitar 100 orang, didominasi perempuan dan anak-anak.
Dua orang Rohingya mengatakan, pelaku perdagangan manusia yang dibayar untuk mengangkut mereka dengan kapal laut memindahkan para Rohingya ke kapal baru lalu ditinggalkan di tengah laut. Penyelundup itu sempat menyiksa pengungsi Rohingya sampai ada yang meninggal dunia.
Rashid Ahmad (50 tahun) mengatakan sangat menderita selama di kapal itu. “Salah satu dari kami meninggal. Awalnya ada makanan, tetapi ketika sudah selesai, mereka (pedagang manusia) membawa kami ke kapal lain dan membiarkan kami terdampar sendirian,” tutur Rashid di pusat penahanan imigrasi di Lhokseumawe, dilansir dari Telegraph.
Muslim Rohingya yang lain, Habibullah, mengaku mendapat perlakuan yang buruk. Telinganya dipotong dan kepalanya dipukul. Sementara itu, Ziabur Rahman Bin Safirullah, Muslim Rohingya yang juga selamat mengungkapkan, mereka bertahan hidup dengan mengandalkan sedikit beras dan kacang-kacangan.
Mereka pun bergantung pada air hujan untuk minum. “Terkadang kami memeras pakaian basah dan meminum tetesan airnya,” kata Ziabur Rahman yang menambahkan bahwa para pengungsi Rohingya yang meninggal dunia dibuang ke laut.
Pengungsi Rohingya ang lain, Korima Bibi (20 tahun) menuturkan, setidaknya dua orang meninggal selama perjalanan. Beberapa penumpang terpaksa meminum air seni agar tetap hidup. Ada juga penumpang yang jatuh sakit karena terus berada di laut. “Kami tidak mendapatkan cukup makanan atau air, (tetapi) kami selamat,” kata Korima.
Dari sekitar 100 orang Rohingya yang selamat di Aceh, ada 48 wanita dan 35 anak-anak. Mereka berangkat dari kamp pengungsi Balukhali di Bangladesh selatan, tetapi awalnya berangkat dari Negara Rakhine yang dilanda konflik Myanmar.
Mereka pun bergantung pada air hujan untuk minum. “Terkadang kami memeras pakaian basah dan meminum tetesan airnya,” kata Ziabur Rahman yang menambahkan bahwa para Rohingya yang meninggal dunia dibuang ke laut.
Pengungsi Rohingya yang lain, Korima Bibi (20 tahun) menuturkan, setidaknya dua orang meninggal selama perjalanan. Beberapa penumpang terpaksa meminum air seni agar tetap hidup. Ada juga penumpang yang jatuh sakit karena terus berada di laut. “Kami tidak mendapatkan cukup makanan atau air, (tetapi) kami selamat,” kata Korima.
Sisi lain yang layak menjadi perhatian yakni Rohingya merupakan muslim minoritas yang menempati daerah Rakhine, Myanmar dan mereka diburu sebab mereka muslim.
Sejarah mencatat bahwa Myanmar (dahulu disebut Burma) pernah dijajah oleh Inggris, sebelum akhirnya dikuasai oleh jepang. Pada masa penjajahan Jepang ini, masyarakat Budha banyak yang menempati posisi strategis di pemerintahan. Pada tahun 1948 Inggris dengan bantuan pejuang Burma dan Rohingya membebaskan Burma dari cengkeraman Jepang. Sampai akhirnya Burma berhasil memproklamirkan kemerdekaannya pada 1948. Namun disisi lain, Rohingya merasa dikhianati karena Inggris tak memberikan otonomi ke Arakan sebagaimana yang dijanjikan sebelumnya.
Di awal kemerdekaan Burma, penduduk Rohingya sempat menikmati status kewarganegaraan sebagai penduduk Burma. Namun terdapat kepercayaan di antara masyarakat Burma bahwa Rohingya bukanlah penduduk asli, melainkan penduduk Bangladesh yang menjadi imigran ilegal di Burma. Ketegangan mulai marak ketika pemerintah Burma menetapkan Burma sebagai negara Budha pada tahun 1962. Berbagai protes dan pemberontakan etnis terjadi, termasuk yang berasal dari Rohingya yang mayoritas muslim.
Di masa pemerintahan Ne Win, Negara secara sistematis menghapus kewarganegaraan Rohingya. Upaya tersebut dapat terlihat dari pemberlakuan UU Imigrasi Darurat 1974 sampai akhirnya UU Kewarganegaraan 1982 yang menghapus kewarganegaraan Rohingya dengan mengganti kartu registrasi nasional menjadi kartu registrasi sementara yang dikenal sebagai kartu putih. Namun kartu putih sebagai tanda terakhir status kewarganegaraan mereka pun sudah dinyatakan tidak berlaku per 31 Maret 2015.
Kebencian terhadap Rohingya tampaknya berawal dari dukungan Rohingya terhadap Inggris yang mengancam posisi strategis sebagian kaum elit Burma yang mayoritas Budha di zaman penjajahan Jepang. Setelah kemerdekaan Burma pun, Rohingya pernah menuntut berdirinya mereka sebagai Negara otonom sendiri. Apalagi Rohingya juga menyuarakan protes terhadap kebijakan pemerintah Burma yang menetapkan Burma sebagai Negara Budha. Tentu saja di mata pemerintahan Myanmar, aktivitas muslim Rohingya dianggap sebagai bibit tindakan pemberontakan.
Sementara disisi lain, isu bahwa rohingya merupakan imigran gelap asal Bangladesh yang dimobilisasi pada masa penjajahan Inggris juga membuat penerimaan masyarakat terhadap etnis Rohingya rendah. Etnis Rohingya dianggap sebagai saingan tambahan yang semakin menyulitkan perekonomian masyarakat Rakhine yang notabene miskin, walaupun mereka memiliki sumber daya yang melimpah.
Padahal jika kita melihat dari perspektif masyarakat Rohingya, keberadaan mereka di bekas kerajaan Arakan yang sekarang dikenal sebagai Rakhine sudah turun temurun sejak abad ke tujuh Masehi. Tuntutan terkait Negara otonom pun merupakan bentuk tuntutan terhadap pemenuhan janji kolonial Inggris terhadap mereka. Begitu juga sikap protes yang dilontarkan saat Burma ditetapkan sebagai Negara Budha. Kebijakan ini tentunya merugikan masyarakat Rohingya yang mayoritas muslim.
Diskriminasi yang mereka terima selama puluhan tahun dari aspek pendidikan, agama dan perekonomian juga membuat masyarakat Rohingya cenderung memiliki SDM yang rendah sehingga sulit untuk bangkit dalam hal mensejahterakan dirinya ataupun menyuarakan hak-hak politiknya. Apalagi sejak kartu putih mereka ditarik, otomatis Rohingya menjadi stateless dan tidak bisa mengakses hak nya lagi sebagai warga Negara. Ketiadaan status kewarganegaraan ini yang pada akhirnya melengkapi penderitaan Rohingya yang selama puluhan tahun mengalami diskriminasi dan kekerasan dari pemerintah dan masyarakat Myanmar yang mayoritas beragama Budha.
Kondisi di atas tentu sangat memprihatinkan bagi siapapun yang masih memiliki nurani.
Tentu bantuan dari pemerintah Indonesia juga telah diberikan terhadap para pengungsi Rohingya.
Seorang juru bicara kelompok Muslim Rohingya yang selamat di Aceh, mengatakan seorang perempuan telah meninggal dalam perjalanan, dan ia meninggalkan dua anak. Tiga anak lainnya, dua dari mereka adalah saudara kandung, dan seorang gadis berusia 10 tahun tidak ditemani, termasuk juga ada seorang perempuan hamil.
Berdasarkan laporan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), penyelundup Rohingya itu memungut setiap orang sekitar 2.300 dolar AS atau sekitar Rp 34 juta, untuk dibawa ke Malaysia. Sekitar satu juta orang Rohingya tinggal di kamp-kamp pengungsi yang sempit dan jorok di Bangladesh. Di tempat itu pula, para
Sementara itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyetujui resolusi yang mengutuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Rohingya dan minoritas lainnya di Myanmar.
Resolusi itu juga menyerukan agar Myanmar menghentikan hasutan kebencian terhadap minoritas Rohingya dan kelompok minoritas lainnya.
Ribuan orang Rohingya terbunuh dan lebih dari 700.000 orang melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh saat terjadi aksi penumpasan oleh militer di negara yang penduduknya beragama Buddha itu pada 2017.
Myanmar (sebelumnya disebut Burma) menolak tuduhan itu dan menegaskan bahwa langkah militer itu untuk mengatasi ancaman ekstremisme.
Resolusi PBB yang disahkan pada menyatakan kekhawatiran atas berlanjutnya membanjirnya orang-orang Rohingya ke Bangladesh yang disebut “sebagai akibat kekejaman pasukan keamanan dan bersenjata Myanmar”.
Laporan itu menyoroti berbagai temuan misi internasional independen yang mengungkap adanya “pelanggaran HAM berat dan pelanggaran yang diderita Muslim Rohingya dan minoritas lainnya” oleh pasukan keamanan Myanmar, yang digambarkan sebagai “kejahatan paling berat di bawah hukum internasional”.
Resolusi itu menyerukan Myanmar agar melindungi semua kelompok dan menjamin keadilan bagi semua korban pelanggaran hak asasi manusia.
Resolusi PBB ini disahkan oleh total 134 negara dari 193 negara anggota, sembilan suara menentang dan 28 lainnya abstain.
Resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat secara hukum tetapi dapat mencerminkan pendapat dunia.
Tidak hanya kecaman dari PBB, sikap diam dan diskrimantif Pemimpin de facto Myanmar atau penasihat negara, Aung San Suu Kyi, terhadap minoritas muslim Rohingya juga menyebabkan sejumlah lembaga internasional bersikap tegas.
Seperti Dewan Kota Oxford, Inggris, yang telah mencabut penghormatan tertinggi untuk Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi. Dia dinilai tak layak menjadi penerima penghargaan pejuang kemanusiaan karena sikapnya dalam konflik Rohingya.
Dewan kota Oxford memberikan suara untuk secara permanen menghapus gelar kehormatan tersebut dari Suu Kyi.
Dewan Kota Newcastle di Inggris juga mencopot gelar perdamaian Suu Kyi. Mereka menggelar sidang untuk mencabut gelar kehormatan Aung San Suu Kyi. Inilah pertama kalinya Dewan Kota mencabut gelar kehormatan yang sudah diberikan.
Mereka menilai Pemimpin Myanmar itu tak pantas menyandang anugerah sebagai Tokoh Perdamaian karena membiarkan pembantaian terus terjadi di Rakhine.
Suu Kyi pernah dianugerahi gelar Tokoh Perdamaian Newcastle atas perjuangan panjangnya menegakkan demokrasi di Myanmar. Namun kini dia malah bungkam saat seisi dunia berteriak atas pembantaian Muslim Rohingya di Rakhine.
“Dia tidak melakukan apa pun untuk menghentikan genosida pada Muslim Rohingya di negaranya,” kata Ketua Dewan Kota Nick Forbes seperti dikutip media lokal ITV.
Selain itu, Museum Memorial Holocaust Amerika juga ikut melucuti gelar perdamaian Suu Kyi. Mereka menilai Suu Kyi tidak berusaha menghentikan atau mengakui pembersihan warga Rohingya di Myanmar.
Dalam pernyataan tertulis, museum itu mengatakan, di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi, Liga Nasional Untuk Demokrasi menolak bekerja sama dengan PBB, mendorong pidato bernada kebencian terhadap Muslim-Rohingya, dan secara aktif mencegah wartawan mengungkap apa yang terjadi di negara bagian Rakhine.
Tidak hanya lembaga internasional, dua peraih Nobel yakni Malala Yousafzai dan jurnalis perempuan asal Yaman, Tawakkul Karman juga mengecam sikap Aung San Suu Kyi yang dianggapnya telah menutup mata dan telinganya atas penderitaan warga Rohingya.
Bahkan Malala menuliskan kritikannya melalui akun Twitter-nya, “Dalam beberapa tahun terakhir, saya berulang kali mengecam perlakukan tragis dan memalukan (terhadap Muslim Rohingya). Saya masih menunggu rekan penerima Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi untuk melakukan hal yang sama. Dunia menunggu dan Muslim Rohingya juga menunggu,” tulisnya.
Idealnya , para pemimpin di Organisasi Konferensi Islam (OKI), sudah layak untuk mengambil sikap yang tegas terhadap Myanmar. Minimal melakukan embargo ekonomi dan politik agar Myanmar melalukan perubahan sikap diskriminasi terhadap etnis Rohingya.
Terlebih lagi dalam situasi pandemi Covid-19, sikap dari semua negara sangat diperlukan untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang dialami Rohingya.
Akhirnya, derita muslim Rohingya dari Myanmar itu layak menjadi fokus utama para pemimpin dunia, khususnya negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam.
Tanpa kepedulian dan kemauan politik yang kuat, bisa dipastikan derita etnis Rohingya makin panjang.