Di Balik Kebijakan Kontroversial: Trump, Inflasi, dan Dinamika Ekonomi Global

Feature33 Dilihat

Bagaimana langkah-langkah tegas di era Trump mengguncang politik dalam negeri dan pasar global

 

Makronesia.id, Jakarta – Amerika Serikat tengah menyaksikan puncak polarisasi politik, di mana perbedaan tajam antara kubu kiri dan kanan semakin mencuat. Di tengah perdebatan sengit mengenai kebijakan ekonomi dan perdagangan,

Donald Trump muncul sebagai figur yang tak kenal kompromi. Tak butuh waktu lama setelah resmi menjabat, Trump langsung menggebrak panggung dengan menandatangani 85 perintah eksekutif dalam satu bulan pertama—angka yang jauh melampaui kebijakan para pendahulunya seperti Barack Obama dan Joe Biden.

Langkah agresif ini mencerminkan tekadnya untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan sebelumnya dianggap kurang tegas dalam memperjuangkan kepentingan nasional.

Di balik gebrakan tersebut, kebijakan tarif tinggi menjadi salah satu senjata utama Trump. Dengan menerapkan tarif pada mitra dagang penting seperti Tiongkok, Meksiko, Kanada, dan Kolombia, pemerintahannya berupaya memaksa negara-negara tersebut agar menyesuaikan diri dengan kepentingan ekonomi AS.

Namun, dampak dari kebijakan proteksionis ini tidak berhenti pada negosiasi dagang semata. Gangguan pada rantai pasokan global mulai terasa, mendorong lonjakan harga barang, dan secara tidak langsung mengakibatkan peningkatan inflasi—ironinya, pada saat sebelumnya inflasi sudah menunjukkan tren stabil berkat kebijakan suku bunga yang ketat.

Sementara itu, Federal Reserve (The Fed) mengambil langkah strategis dengan memangkas suku bunga sebesar 100 basis poin dari level tertingginya, yakni 5,5%—tingkat yang belum terlihat sejak krisis finansial global 2008.

Penurunan ini merupakan respons terhadap penurunan inflasi yang sempat meroket dari 9% ke 3% dalam 18 bulan terakhir. Namun, meski ada angin segar dalam bentuk pemangkasan suku bunga, para pejabat The Fed masih bersikukuh untuk menunggu inflasi turun ke target 2% sebelum melakukan pemotongan lebih lanjut.

Bagi para investor, terutama di sektor saham dan kripto, harapan akan suku bunga yang lebih rendah sangatlah tinggi, karena kondisi ini diyakini dapat meningkatkan likuiditas pasar dan daya beli konsumen.

Ironisnya, kebijakan tarif yang agresif dapat mengancam prospek penurunan suku bunga. Data menunjukkan bahwa negara-negara yang terkena tarif menyumbang sekitar USD $1,7 triliun—atau setara dengan 6% dari GDP AS pada tahun 2024—dalam total impor.

Jika perang dagang semakin meluas, harga barang dan jasa bisa mengalami kenaikan drastis. Kondisi ini berpotensi memaksa The Fed untuk berbalik arah dan menaikkan suku bunga demi mengendalikan inflasi yang kembali mengancam kestabilan ekonomi.

Di tengah dinamika tersebut, muncul pula kebijakan kontroversial lainnya yang mengusung ide pemotongan biaya nasional—yaitu rencana deportasi massal terhadap pekerja imigran ilegal. Mayoritas pekerja ini, yang berasal dari kawasan Amerika Tengah, telah lama menjadi tulang punggung bagi banyak sektor industri dengan upah yang lebih rendah.

Keberadaan mereka membantu perusahaan menekan biaya produksi dan menjaga harga tetap terjangkau. Namun, kebijakan deportasi besar-besaran berpotensi mengganggu keseimbangan ini, sehingga mendorong kenaikan biaya produksi dan harga barang, mulai dari pertanian hingga jasa rumah tangga.

Tak hanya itu, Trump juga mencoba menghadirkan angin segar melalui kebijakan di sektor energi. Dengan mendorong eksplorasi dan eksploitasi sumber daya minyak serta gas domestik, pemerintahannya berharap dapat mengurangi ketergantungan pada impor energi.

Langkah ini diyakini mampu menekan harga bahan bakar yang sebelumnya melonjak akibat gejolak geopolitik, sehingga pada akhirnya membantu meredam tekanan inflasi dalam jangka panjang.

Sebuah kolaborasi tak terduga juga muncul antara Trump dan tokoh inovatif seperti Elon Musk, yang bersama-sama mengusung agenda efisiensi anggaran federal. Melawan apa yang mereka sebut sebagai “the swamp” atau “deep state”—elit birokrasi Washington yang dianggap boros—mereka bertekad merampingkan pengeluaran pemerintah melalui pemangkasan subsidi dan program sosial tertentu. Bagi Trump, pengurangan pengeluaran ini adalah kunci untuk menekan laju inflasi sekaligus menyusun ulang struktur keuangan negara.

Tak kalah menarik, hubungan antara Trump dan Jerome Powell, Ketua The Fed, terus menjadi sorotan. Meskipun Trump pernah berperan dalam pencalonan Powell, perbedaan pandangan dalam kebijakan moneter kerap menimbulkan ketegangan. Trump terus mendesak agar suku bunga segera diturunkan, sementara Powell dan timnya lebih memilih pendekatan hati-hati demi menjaga stabilitas ekonomi. Hingga Powell memasuki akhir masa jabatannya pada Februari tahun depan, perdebatan antara kebijakan fiskal dan moneter ini diperkirakan akan terus mempengaruhi pasar, khususnya bagi para investor yang menaruh harapan besar pada sektor aset berisiko.

Dinamika kebijakan di era Trump memang menawarkan banyak cerita—mulai dari gebrakan eksekutif yang tak terduga hingga upaya menyusun ulang strategi ekonomi nasional. Di balik semua kontroversi tersebut, tersimpan sebuah pelajaran penting: bahwa setiap kebijakan, betapapun radikalnya, membawa konsekuensi yang merambat tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di pasar global. (EHS-01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *