Jakarta, Makronesia.id — Anggota Komisi VI DPR, Nevi Zuairina meminta Pemerintah lebih memperhatikan Industri tekstil nasional yang mulai goncang, akibat berbagai faktor luar dan internal. Faktor luar dipengaruhi oleh gempuran produk impor yang mengganggu pasar dalam negeri, sedangkan faktor dari dalam akibat kemampuan daya saing produk dan kemampuan menembus pasar internasional masih kecil.
“Industri tekstil negeri ini sedang kritis. Banyak pabrik tutup atau hengkang dari negara kita. Di sentra-sentra perdagangan tekstil seperti Tanah Abang sulit menemukan merk lokal. Sedangkan gempuran produk tekstil impor semakin menjadi dengan kebijakan proteksi minim sehingga kebebasan impor tekstil tanpa barier”, ujar Nevi.
Legislator PKS ini mengatakan, bagi negara-negara dunia, potensi pasar di negara kita sangat menggiurkan. ketika Negara kita tidak mampu mengantisipasi serangan produk luar akibat pasar bebas, maka yang terjadi adalah defisit neraca dagang. Tercatat Indonesia mengalami defisit sebesar USD160 juta pada tahun 2019. Begitu juga terjadi pada kinerja industri Tekstil dan produk tekstil sepanjang tahun 2018 mengalami defisit neraca perdagangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2018 tercatat ekspor TPT tumbuh sebesar 0,9%, sedangkan impor melesat jauh sebesar 13,9%. Dengan begitu pertumbuhan nilai neraca perdagangan TPT melambat 25,6% atau terendah sejak 2008. Bila kita terus terlena, maka negara kita akan semakin menderita kemerosotan ekonomi.
Nevi menambahkan, bahwa pemerintah perlu mendengar pesan dari para pelaku industri tekstil yang mengeluhkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. Penerbitan peraturan ini mengakibatkan memperbolehkan pedagang pemegang Angka Pengenal Impor Umum (API-U) melakukan importasi kain, benang, dan serat. Kebijakan ini ternyata tidak mampu memberikan solusi terhadap pelemahan pertumbuhan industri tekstil yang terus menurun sejak 10 tahun terakhir. Peningkatan daya saing industri tekstil, termasuk garmen dari hulu ke hilir sangat mendesak untuk dilakukan.
Sebelumnya, berbagai laporan yang merekap situasi industri tekstil menyebutkan bahwa serbuan impor membuat masyarakat lebih banyak menggunakan barang impor. Berdasarkan data BPS, sepanjang kuartal I tahun 2019 produksi industri tekstil dan pakaian mengalami lonjakan yang signifikan yaitu tumbuh 18,98%, sedangkan pada kuartal I tahun 2018 hanya tumbuh sebesar 7,46%. Pencapaian ini bahkan melebihi pencapaian sepanjang 2018, dimana hanya tumbuh sebesar 8,73%. Politisi PKS ini setuju dengan usulan pada BKPM bersama pemerintah untuk mendorong perbankan melakukan penetrasi terhadap UMKM yang mendukung industri tekstil. Kemudian dari pemerintah sendiri perlu adanya harmonisasi regulasi untuk turut mendukung berkembangnya tekstil Tanah Air.
Legislator Sumatera Barat ini mengatakan, di balik lonjakan signifikan pertumbuhan produksi tekstil yang beredar di negara kita, pertumbuhan konsumsi tekstil sepanjang semester I 2019 terus meningkat namun peningkatan ini tidak dinikmati pelaku industri lokal. Situasi tersebut menjadi jawaban melemahnya industri tekstil lokal akibat gempuran produk impor. Contoh yang dikeluhkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yakni sulitnya untuk menemukan produk tekstil dalam negeri di Pasar Tanah Abang sebagai pusat perbelanjaan tekstil di Ibu Kota. Ini membuktikan bahwa ada sesuatu yang agak mengkahwatirkan dan perlu segera ada perbaikan. Perbaikan ini adalah berupa revitalisasi mesin sebesar Rp175 triliun yang mencakup sektor hulu dan hilir seperti peremajaan mesin, peningkatan kapasitas produksi hingga memacu ekspor.
“Semoga ada solusi cepat dari pemerintah untuk memberikan solusi polemik guncangnya industri tekstil nasional. Solusi jangka pendek saat ini adalah proteksi barang impor. Jangan terlalu di umbar impor tekstil masuk ke Indonesia. Jangka panjangnya, Industri tekstil perlu upaya peningkatan daya saing dan skala kapasitas produksi yang membesar”, pungkas Nevi Zuairina.