Oleh : : Eko Budiono, SST.Par, M.Si.*
Negara wajib turun tangan menyelesaikan perselisihan buruh dengan majikan/perusahaan. Negara tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Akan tetapi, negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan kedua pihak secara adil.
Pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI awalnya diharapkan menjadi awal yang baik untuk pemulihan ekonomi.
Namun faktnya justru masih menyimpan masalah yang bisa mengancam nasib kaum buruh di tanah air.
UU tersebut justru lebih fokus pada tujuan peningkatan ekonomi, dan abai terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia. Sebagian besar peraturan banyak berbicara mengenai efisiensi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, tetapi justru tidak mengubah atau membuat peraturan baru yang berkaitan dengan pelatihan kerja atau peningkatan kompetensi pekerja.
Padahal, berbicara mengenai penciptaan lapangan kerja seharusnya justru berkaitan erat dengan upaya untuk meningkatkan kompetensi calon tenaga kerja. Alih-alih perlindungan pekerja, RUU Cipta Kerja justru berpotensi membuat pasal ketenagakerjaan kembali terpinggirkan, tergerus oleh kebutuhan investasi dan ekonomi.
Padahal, dalam hubungan industrial Pancasila, perlindungan pekerja merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah. Beberapa pasal yang dinilai akan merugikan buruh/pekerja adalah: 1. Masuknya Pasal 88B Pasal 88B dalam UU Cipta Kerja berbunyi : (1) Upah ditetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil, (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Amnesty Internasional, pasal tersebut memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan).
Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum. 2. Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 berbunyi: (1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal tersebut mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan.
Apabila persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Jika dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi.
Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang.
Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya. 3. Pencantuman Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi PKWTT Jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi disebutkan akan diatur dalam PP. Sebagai catatan, aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan Omnibus jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap.
Hal ini menghilangkan kepastian kerja. Dalam UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tadinya terbatas untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Dalam UU Cipta Kerja, PWKTT menjadi tidak dibatasi oleh Undang-Undang sebagaimana tertera dalam Pasal 56 ayat (3) UU. Dengan demikian secara tidak langsung RUU Cipta Kerja menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkannya pada kesepakatan para pihak. Artinya, peran pemerintah menjadi lemah, karena tidak dapat mengintervensi jangka waktu PKWT. Output dari ketentuan ini akan menyebabkan semakin menjamurnya jenis pekerja kontrak.
Ketentuan ini sudah banyak dikritik oleh kalangan pekerja karena menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pekerja. 4. Pasal 77 Pasal 77 dalam UU Cipta Kerja berbunyi: (1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) masih dikecualikan untuk sektor tertentu. Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP). Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.
Pengaturan kebijakan waktu kerja yang tidak jelas, dinilai menjadi celah semakin terbukanya eksploitasi terhadap pekerja. Selama ini saja banyak kasus pekerja yang upahnya tidak dibayar, tetapi waktu kerjanya tetap berjalan normal. Bahkan terdapat kasus pengusaha yang kabur dengan tidak membayar hak-hak normatif pekerja. Banyak hal kontroversial yang selama ini kasusnya menimpa pekerja, walau instrumen hukumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi tidak dipatuhi atau dijalankan oleh perusahaan.
Terlebih lagi ketika memberikan ruang bagi pengusaha untuk mengatur waktu kerja terhadap pekerja, menghilangkan kewajiban pengusaha membayar upah dalam keadaan tertentu, dan tidak membayar upah sesuai upah minimum. Hal ini akan semakin menjerumuskan nasib pekerja di bawah jurang eksploitasi.
Sementara itu, pemerintah mengklaim tujuan UU Cipta Kerja sesuai bingkai pasal 4 dan pasal 18 undang-undang Dasar 1945 terkait dengan perlindungan dan kepastian hak bagi pekerja buruh.
UU Cipta Kerja juga diklaim aka memudahkan pelaku usaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan mendirikan Perseroan Terbuka (PT) perseorangan.
Selain itu, UU ini memberikan kemudahan dengan persyaratan dan biaya terjangkau sehingga terdapat kepastian legalisasi bagi pelaku UMKM untuk pendirian PT tersebut.
Klaim lain adalah prioritas pemerintah adalah tenaga kerja lokal. Tenaga kerja asing hanya dibutuhkan untuk pekerjaan di level-level tertentu atau posisi yang membutuhkan keahlian khusus.
Dengan potensi tersebut, potensi investasi pada tahun 2021 akan jauh lebih baik dibandingkan tahun 2020. Selain itu, pengesahan UU Ciptaker ini juga akan memperbaiki peringkat kemudahan berusaha Indonesia yang saat ini masih rendah.
Sementara itu, perburuhan dalam Islam dinamakan ijarah. Dalam Islam, ijarah adalah: ‘aqd[un] ‘ala manfa’at[in] bi ‘iwadh[in] (akad/kesepakatan atas suatu jasa dengan adanya imbalan/kompensasi tertentu).
Ijarah (perburuhan) adalah mubah (boleh). Dalilnya antara lain firman Allah SWT:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Jika mereka (mantan istri) menyusui (anak-anak) kalian demi kalian maka berikanlah kepada mereka upahnya (TQS ath-Thalaq [65]: 6).
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan dalil kebolehan upah-mengupah atas suatu jasa.
Terkait ayat di atas, Ibnu Jarir ath-Thabari juga menuliskan: jika mantan istri kalian menyusui anak-anak kalian dengan upah, maka bayarkanlah upah mereka sebagai jasa penyusuan terhadap mereka.
Dalil lainnya adalah riwayat dari Ibnu Syihab bahwa Nabi saw. dan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. pernah mempekerjakan seorang musyrik Quraisy dari Bani Dayl sebagai penunjuk jalan saat keduanya hijrah dari Makkah ke Madinah.
Nabi saw. juga bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering (HR Ibnu Majah).
Hadis ini menunjukkan kewajiban seorang majikan membayar upah buruh manakala telah selesai pekerjaannya. Hadis ini pun menunjukkan bahwa Nabi saw. membolehkan aktivitas ijarah (perburuhan).
Dalil lainnya adalah Ijmak Sahabat yang juga menunjukkan kebolehan aktivitas perburuhan.
Dengan demikian ijarah (perburuhan) adalah salah satu cara kepemilikan harta yang sah/halal menurut syariat Islam.
Beberapa Ketentuan Syariat dalam Perburuhan
Dalam akad ijarah (perburuhan) ada beberapa rukun yang wajib diperhatikan: (1) dua pihak yang berakad, yakni buruh dan majikan/perusahaan; (2) ijab-kabul dari dua belah pihak, yakni buruh sebagai pemberi jasa dan majikan/perusahaan sebagai penerima manfaat/jasa; (3) upah tertentu dari pihak majikan/perusahaan (4); jasa/manfaat tertentu dari pihak buruh/pekerja.
Semua jasa yang halal dalam Islam boleh di-ijarah-kan. Misal: jasa dalam industri makanan, garmen, otomotif, konsultan, pendidikan, dsb.
Sebaliknya, jasa-jasa yang haram terlarang pula untuk di-ijarah-kan. Misal: jasa pembuatan miras (minuman keras) dan yang berhubungan dengan miras (seperti: menjadi bartender, jasa pengangkutannya, jasa pembuatan kemasannya, dsb). Contoh lain: riba dan jasa yang berhubungan dengan muamalah ribawi (seperti: menjadi pegawai perbankan, leasing, dll). Contoh lainnya: jasa menjadi perantara suap-menyuap, makelar kasus, dsb.
Akad yang telah disepakati wajib dilaksanakan oleh kedua pihak yang berakad. Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُو
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (TQS al-Maidah [5]: 1).
Buruh/pekerja wajib memberikan jasa sebagaimana yang disepakati bersama dengan pihak majikan/perusahaan. Ia pun terikat dengan jam/hari kerja maupun jenis pekerjaannya. Sebaliknya, sejak awal majikan/perusahaan wajib menjelaskan kepada calon pekerja/buruh tentang jenis pekerjaannya, waktu kerjanya, serta besaran upah dan hak-hak mereka. Nabi saw. bersabda,
مَن اِسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ
Siapa saja yang mempekerjakan seorang buruh hendaklah ia memberitahukan upahnya kepada buruh tersebut. (HR Abdur Razaq dan Ibnu Abi Syaibah).
Majikan/perusahaan haram mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah buruh. Rasulullah saw. bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering. (HR Ibnu Majah).
Islam Melindungi Kaum Buruh
Islam memberikan perlindungan kepada kaum buruh dengan mengingatkan para majikan/perusahaan sejumlah hal:
Pertama, perusahaan harus menjelaskan kepada calon pekerja jenis pekerjaan, waktu/durasi pekerjaan serta besaran upahnya. Mempekerjakan pekerja tanpa kejelasan semua itu merupakan kefasadan.
Kedua, upah buruh tidak diukur dari standar hidup minimum di suatu daerah. Cara inilah yang dipakai sistem Kapitalisme di seluruh dunia. Dibuatlah standar upah minimum daerah kota/kabupaten atau propinsi. Akibatnya, kaum buruh hidup dalam keadaan minim atau pas-pasan.
Pasalnya, gaji mereka disesuaikan dengan standar hidup minimum tempat mereka bekerja. Seberapa keras mereka bekerja tetap saja mereka tidak bisa melampaui standar hidup masyarakat karena besaran upahnya diukur dengan cara seperti itu.
Dalam Islam, besaran upah mesti sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja, dan tempat bekerja.
Tidak dikaitkan dengan standar hidup mininum masyarakat. Pekerja yang profesional/mahir di bidangnya wajar mendapatkan upah lebih tinggi dibandingkan pekerja pemula.
Meski pekerjaan dan kemampuan sama, tetapi waktu dan tempat bekerja berbeda, berbeda pula upah yang diberikan. Misal: tukang gali sumur yang bekerja di lapisan tanah yang keras semestinya mendapatkan upah lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan serupa di tanah yang lunak.
Ketiga, perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati, baik terkait besarannya maupun jadwal pembayarannya. Majikan/perusahaan haram mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah. Semua ini termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda:
قَالَ اللَّهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، رَجُلٌ أَعْطَى بِى ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ، وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
Allah telah berfirman, “Ada tiga golongan yang Aku musuhi pada Hari Kiamat: seseorang yang berjanji atas nama-Ku kemudian ingkar; seseorang yang menjual orang merdeka kemudian menikmati hasilnya; seseorang yang memperkerjakan buruh dan buruh tersebut telah menyempurnakan pekerjaannya, namun ia tidak memberikan upahnya.” (HR al-Bukhari).
Menunda pembayaran upah/gaji pegawai, padahal mampu, termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda,
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Bahkan orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi saw.,
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
Orang yang menunda kewajiban itu halal kehormatannya dan pantas mendapatkan hukuman. (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Selain itu, paradigma Islam berbeda dengan marxisme atau komunisme dalam memandang masyarakat sosial.
Mengutip sejarawan Islam (alm) Kuntowijoyo, marxisme menganggap kesadaran kelas sosial sebagai sesuatu yang penting.
Pertentangan antarkelas terjadi sedemikian rupa sehingga kelas buruh mengalahkan atau bahkan menghapus sama sekali kelas pemodal (borjuis). Karl Marx antara lain meramalkan hal itu, sekalipun sampai hari ini ramalannya tak kunjung terwujud.
Mengapa perlu dipertentangkan antarkelas sosial? Semua itu karena Marx menilai, kesadaran manusia ditentukan kondisi-kondisi materiilnya. Dalam era kapitalis, kaum borjuis memiliki alat-alat produksi, sehingga dapat menindas kaum buruh. Marx mengimpikan, kaum buruh dapat merebut alat-alat produksi dari kalangan yang berjumlah minoritas itu, sehingga sosialisme yang dinubuatkannya terjadi.
Sebaliknya, dalam Islam, tak mesti kaum pemodal dan buruh dipertentangkan secara vis-a-vis.
Kuntowijoyo menggarisbawahi, kesadaran manusia tidak ditunjang kondisi materil, melainkan terutama keimanan. Seseorang bisa saja menjadi insan yang berkemajuan (baca: beriman), sekalipun hidup dalam kemelaratan materi.
Karena itu, bagi Kuntowijoyo, Islam tidak mengenal kelas-kelas sosial. Meskipun begitu, para sarjana Islam boleh saja memakai analisis kelas sosial untuk membahas jalinan kepentingan di tengah masyarakat.
Secara tegas, Islam juga menolak konsep pertentangan kelas. Paradigma pengilmuan Islam yang digagas Kuntowijoyo menghimpun dari Alquran pelbagai konsep.
Sebagai contoh, konsep dhu’afa dan mustadh’afin. Kuntowijoyo mengartikan masing-masing sebagai ‘orang kecil’ dan ‘orang teraniaya.’ Lihat misalnya surah al-Baqarah ayat 266 dan surat an-Nisa ayat 75.
Alquran memakai kata dhu’afa untuk menggambarkan kesenjangan natural yakni kemiskinan. Sementara itu, kata mustadh’afin untuk menunjukkan adanya kesenjangan struktural.
Untuk mengatasi kesenjangan natural, Islam memiliki cara-cara. Misalnya, zakat, infak, dan sedekah. Ketiganya juga berfungsi untuk membuka mobilitas sosial. Kesenjangan natural pun dapat diatasi tanpa peran langsung negara (penguasa politik).
Sebaliknya, kesenjangan struktural memerlukan penguasa politik alias negara turun tangan.
Penulis berpendapat bahwa, negara wajib turun tangan menyelesaikan perselisihan buruh dengan majikan/perusahaan.
Negara tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Akan tetapi, negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan kedua pihak secara adil.
Di sisi lain, regulasi ketenagakerjaan sering justru berpihak kepada pengusaha atau investor. Dengan dalih menyuburkan iklim investasi, yakni agar para investor mau berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan, beragam regulasi dibuat untuk kepentingan mereka dengan meminggirkan kepentingan tenaga kerja.
Acapkali dengan dukungan negara, para pengusaha kapitalis berusaha sekuat tenaga menekan gaji pegawai agar mereka mendapat keuntungan maksimal. Sebaliknya, mereka berusaha mengeksploitasi tenaga para buruh untuk meningkatkan produksi demi keuntungan perusahaan. Praktik-praktik seperti itu sudah lazim di negara-negara kapitalis.
Para pengusaha kapitalis yang rakus akan membuka usaha di negara-negara berkembang yang memiliki bahan baku murah dan tenaga kerja yang juga bisa dibayar semurah-murahnya. Warga yang membutuhkan pekerjaan akhirnya terpaksa menerima tawaran upah yang murah karena kebutuhan nafkah. Akibatnya, terjadilah kesenjangan sosial yang amat dalam. Para pengusaha kaya-raya, sedangkan buruh menderita.
Padahal untuk kawasan Asia Tenggara, upah pekerja Indonesia (95 US$) lebih kecil dibandingkan Filipina (142 US$), Laos (140 US$) dan Kamboja (166 US$). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan rata-rata upah buruh pada Februari 2020 sebesar Rp 2,92 juta perbulan. Jumlah itu tentu jauh dari pemenuhan kebutuhan pokok minimum di Tanah Air. Jika UU Omnibus Law Cipta Kerja benar merugikan buruh, akan semakin terpuruklah nasib mereka di Tanah Air.
Solusi
Menurut penulis, setidaknya ada tiga solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah perburuhan setelah pengesahan UU Cipta Kerja.
Pertama, negara wajib memberikan perlindungan maksimal kepada kelompok buruh yang menjadi kelompok rentan terhadap ancaman krisis ekonomi.
Kedua , pemerintah wajib bertindak tegas kepada para investor yang melakukan eksploitasi terhadap kelompok buruh.
Ketiga, negara harus memberikan ruang yang seluas mungkin kepada pengusaha local dari ancaman pengusaha asing.
Jika ketiga upaya tersebut dapat dialkukan oleh negara, diharapkan nasib kaum buruh usai pengesahan Omnibus Law ada harapan bisa lebih baik. Insha Allah.
*Pengamat Kebijakan Publik dan Dunia Islam, Founder World Islamic Issues)