Jakarta, Makronesia.id — Produk hukum Omnibus Law dipandang merugikan kepentingan publik dan menguntungkan kepentingan privat, oleh kelompok kritis masyarakat sipil. Menurut mereka UU ini terindikasi sebagai bentuk korupsi kebijakan publik dan pembajakan negara oleh kepentingan bisnis (state capture).
Salah satu kelompok kritis itu adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga swadaya Masyarakat ini memberikan catatan negatif terhadap RUU Cipta Kerja sebagai bagian dari paket Omnibus Law.
“Omnibus Law hanya akan merugikan lingkungan hidup dan memberi jalan bagi aktor privat untuk menguasai sumberdaya publik. Masalah itu setidaknya dapat terlihat dalam RUU Cipta Kerja bagian Energi dan Sumber Daya Mineral,” ucap, Juru Bicara ICW, Egi Primayogha, saat dihubungi Makronesia.id, Selasa (5/5).
Menurutnya, jika UU ini dipaksakan ada 5 persoalan yang akan muncul sebagai dampaknya. Pertama, keuntungan tidak seimbang, di mana Pebisnis beruntung besar, sementara penerimaan negara akan berkurang bahkan merosot.
“Negara berpotensi merugi akibat penghapusan kewajiban royalti. Royalti adalah iuran yang wajib dibayarkan pengusaha kepada negara setelah mengeruk sumberdaya mineral dan batubara. Pengusaha yang berinisiatif mengolah batubara menjadi dimethyl ether (DME) atau gasifikasi batubara, akan mendapat insentif penghapusan kewajiban membayar royalty,” tuturnya.
Pada tahun 2018, Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp 180 triliun. Pendapatan dari pertambangan minerba menyumbang sekitar 17% dari jumlah tersebut. Secara khusus PNBP dari royalti batubara pada 2018 mencapai Rp 21,854 triliun.
“Jika royalti dihapuskan, maka triliunan rupiah berpotensi lenyap. Penerimaan negara hilang, pebisnis diuntungkan” ucapnya.
Permasalahan Kedua menurutnya, kesempatan negara mengelola sumber daya secara mandiri akan hilang. Melalui UU Minerba, perusahaan batubara dengan lisensi Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B) diwajibkan berubah ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), lengkap dengan ketentuan-ketentuannya.
BUMN atau BUMD mendapat prioritas untuk mengelola pertambangan batubara setelah masa waktu lisensi perusahaan PKP2B habis. RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan IUPK dan prioritas bagi BUMNd
Longgarnya syarat pengelolaan batubara Dalam UU Minerba, akan memberikan jalan bagi pengusaha pertambangan batubara untuk mengeksploitasi bumi Indonesia seumur hidupnya hingga cadangannya habis total. Luas wilayah pertambangan mineral dibatasi hingga 25 ribu hektare, sementara pertambangan batubara 15 ribu hektare. Banyak perusahaan berlisensi PKP2B yang memiliki luas wilayah lebih dari itu. RUU Cipta Kerja menghapus kepastian luas wilayah tersebut.
Kondisi ini menimbulkan dampak berikutnya yaitu, hanya menguntungkan perusahaan batubara yang dikuasai elit-elit kaya.
Perusahaan batubara selama ini dikenal dikuasai oleh elit-elit kaya. Mereka masuk dalam jajaran orang terkaya se-Indonesia, berposisi sebagai pejabat publik, dan terafiliasi dengan perusahaan di negara surga pajak.
Hampir seluruh perusahaan batubara akan diuntungkan apabila RUU Cilaka disahkan. Namun segera setelah disahkan, 7 perusahaan pemegang PKP2B generasi pertama akan diuntungkan. Di balik perusahaan-perusahaan tersebut terdapat nama-nama Keluarga Bakrie, Keluarga Thohir, Wiwoho Basuki, Sandiaga Uno, dll.
Ujungnya, UU ini akan berkontribusi merusak Lingkungan Hidup Indonesia. Terutama Warga dan lingkungan hidup akan dirugikan. Pemberian insentif, dan keleluasaan pebisnis batubara melalui Omnibus Law akan mendorong pada ekspansi wilayah pertambangan dan eksploitasi yang tidak terkendali. Selaras dengan itu, kerusakan lingkungan dan penggusuran pemukiman warga akan semakin marak terjadi.
“Melalui Omnibus Law pula kita patut mempertanyakan pemerintah atas komitmennya terhadap krisis iklim. Alih-alih memberikan dorongan untuk transisi ke energi baru terbarukan (renewable energy), pemerintah justru memberikan insentif bagi pebisnis untuk semakin mengeruk batubara sebagai sumber energi kotor” ungkapnya.
Public juga tahu, Presiden RI Joko Widodo menginisiasi produk hukum Omnibus Law guna memperlancar investasi. Sebanyak 1.244 pasal pada 79 UU akan direvisi melalui Omnibus Law. Namun alih-alih memberikan kebaikan umum, Omnibus Law hanya akan menguntungkan pebisnis.
Pembahasan paket Omnibus Law sejak awal tidak terbuka dan transparan. Sehingga menyalahi mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Tim Satgas Omnibus Law juga didominasi oleh pengusaha. Ketua Satgas Omnibus Law, Rosan Roeslani, pernah menjadi mitra bisnis Sandiaga Uno dalam bisnis batubara.
Kesimpulan ICW kepentingan privat yang dominan terlihat jelas dalam produk hukum Omnibus Law. Dengan proses pembahasan dan isi yang bermasalah, Omnibus Law terindikasi sebagai jenis korupsi kebijakan dan adanya pembajakan negara oleh kepentingan privat (state capture).
“Produk hukum Omnibus Law semakin menegaskan komitmen Presiden RI Joko Widodo yang tidak lagi berpihak pada kepentingan public,”pungkasnya.(BA/AM)