JAKARTA, MAKRONESIA.id – Memasuki akhir 2019, retorika pemerintah baik Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan, maupun Gubernur BI terkait ekonomi syariah begitu memesona.
Retorika pemerintah ini menurut Anis sepertinya memberikan harapan baru bahwa disaat kondisi keuangan global melambat, di saat pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat, ada alternatif baru untuk menjadikan Indonesia bisa lebih kuat ekonominya yaitu keuangan syariah.
“Tetapi jangan sampai hal ini seperti memberi harapan semu. Karena pada 5 tahun terakhir Pemerintahan Presiden Jokowi, market share ekonomi syariah relatif stagnan di angka sekitar 5 sampai 6 persen,” ucap Anis Byarwati, anggota Komisi XI DPR RI, saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan sejumlah asosiasi keuangan dan keuangan Syariah, seperti Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA). Perhimpunan Bank Swasta Nasional (PERBANAS) dan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO). Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia (PERBINA). Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (PERBARINDO), dan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (ASBANDA) Senin, 25 November 2019, Jakarta.
Anis juga mempertanyakan terobosan apa yang akan dilakukan oleh ASBISINDO untuk mencapai visi besar ekonomi keuangan syariah.
Anggota DPR RI dari fraksi PKS ini kemudian memaparkan bahwa ekonomi keuangan syariah di Indonesia belum begitu populer.
Menurutnya data yang diberikan ASBISINDO, terlihat tingkat literasi keuangan syariah masyarakat Indonesia masih rendah, yaitu berkisar 8,9 persen dengan tingkat inklusi 9,1 persen.
Data ini menunjukkan jarak yang sangat dekat antara tingkat literasi keuangan syariah dengan tingkat inklusinya.
Hal ini berbeda jauh dengan keuangan konvensional yang memiliki tingkat literasi sebesar 37,7 persen dengan tingkat inklusi 75,3 persen. Peningkatan tingkat literasi dan tingkat inklusi menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku ekonomi keuangan syariah.
Anis yang terpilih menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jakarta Timur memberikan alternatif untuk meningkatkan tingkat literasi keuangan syariah dengan menampilkan duta-duta baru yang mampu mengartikulasikan dengan bahasa yang mudah dan populer tentang ekonomi keuangan syariah.
“Perlu ada influencer yang memperkenalkan dengan bahasa yang mudah dan populer apa yang dimaksud dengan keuangan syariah. Sehingga masyarakat menjadi tahu wujud nyata keuangan syariah yang dimaksud oleh pemerintah itu seperti apa. Dan masyarakat menjadi faham bahwa ekonomi syariah ini ketika tumbuh, bisa menjadi alternatif baru untuk ekonomi nasional Indonesia,” imbuh Anis.
Anis mengutip pernyataan Menkeu Sri Mulyani bahwa dalam sepuluh tahun terakhir belum terlihat wajah-wajah baru yang mampu mengartikulasikan ekonomi syariah dengan bahasa yang populer dan menarik.
Anis menegaskan bahwa hal tersebut sangat berkaitan dengan tingkat literasi dan inklusi.
Jika masyarakat memiliki tingkat literasi yang bagus, menurut Anis tentu mereka dapat memahami dengan baik tentang ekonomi keuangan syariah, akan berdampak pada tingkat inklusi yang meningkat.
“Jika masyarakat faham, mereka akan memilih dan mempercayakan dananya untuk dikelola oleh Bank-Bank Syariah.” pungkasnya.
Menurut Anis tingkat literasi adalah kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu (dalam hal ini ekonomi keuangan syariah).
“Dan tingkat inklusi adalah suatu kondisi dimana individu mampu memilih, menentukan dan mendapatkan akses yang efektif terhadap kredit, tabungan, sistem pembayaran dan asuransi dari penyedia layanan keuangan”, tambahnya.
Sebelumnya, visi besar pemerintah– Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah global tingkat dunia. Bahkan ekonomi keuangan syariah akan dijadikan arus baru dan sumber pertumbuhan ekonomi baru Indonesia.
Harapan ini didukung laporan Global Islamic Finance Report (GIFR) tahun 2019 yang menempatkan Indonesia berada nomor 1 dalam kepemimpinan dan potensinya dalam keuangan dan perbankan Islam. (BA/AM)