Oleh: Eko Budiono
Pemerhati hubungan internasional
Tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba olitisi dari partai nasionalis Hindu di India mengeluarkanpernyataan menghina Nabi Muhammad Shallallhu ‘alayhi Wassalam (saw) . Akibatnya, negeri berpenduduk sekitar 1,38 Miliar itu diterpa demonstrasi oleh minoritas muslim yang berjumlah 195 juta orang atau sekitar 14,1 Persen.
Nupur Sharma merupakan sosok wanita yang berperan sebagai juru bicara nasional untuk partai nasonalis Hindu yakni Partai Bharatiya Janata atau BJP. Tak lama setelah berdebat di televisi, Nupur diberikan sanksi berupa pemecatan dari keanggotaan utamanya dari partai.
Ia adalah JuruBicaraPartaiBharatiyaJanata (BJP) yang telah diskors akibat pernyataannya tentang Nabi Muhammad SAW dalam sebuah acara televisi.
Sharma sendiri tidak segera menanggapi permintaankomentar.Namun, Sharma sempatmengatakan di Twitter bahwa pendapatnya tentang nabiitusebagaitanggapanatas “penghinaandanketidakhormatan yang terus-menerus” terhadapdewa Hindu selamadebat TV, tetapidiatelahmenarikpernyataannya.
Sedangkan politisi lain yang juga menghina Nabi Muhammad SAW yakni Naveen Kumar Jindal
Menurut pandangan penulis, penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dapat menjadi akhir dari sekulerisme yang diperjuangkan oleh Perdana Menteri pertama India yakni Jawaharlal Nehru.
Ideologi sekuler yang berarti paham atau kepercayaan yang memisahkan agama dari urusan politik, negara, atau institusi publik.
Seperti dilansir straits times dan bbc, Nehru dijuluki “arsiteknya India” yang sekuler.Nehru mendasarkan sikapnya pada kenyataan bahwa India terdiri dari masyarakat yang multikultur secara keyakinan dan masing-masing agama memiliki sejarah yang panjang. Model negara yang didasarkan pada agama mayoritas hanya akan menindas kelompok agama minoritas. Tantangannya: mengartikan “sekularisme” itu sendiri pekerjaan yang tidak sederhana. Bhikhu menyatakan pandangan sekularisme ala Nehru masih kompleks dan agak kabur, terutama pembahasan tentang dunia spiritual, kaitannya dengan moralitas, hingga soal intervensi negara terhadap agama. Bukan Berarti Anti-Agama Yang jelas Nehru sangat kritis terhadap agama—termasuk Hindu, agama yang ia anut.
Ia menyatakan agama di tangan yang keliru bisa mendorong ketidakpedulian, sikap takhayul, mengekang sains dan rasionalitas, hingga akhirnya menghambat kemajuan bidang sosial dan ekonomi. Nehru menegaskan agama kerap menjadi sumber peperangan brutal karena melahirkan “keegoisan yang mendalam”. Alih-alih bersifat humanis, Nehru menilai praktik keagamaan yang seperti itu justru bersifat anti-humanis. “
Arsip Kongres Nasional India mencatat salah satu penjelasan mengenai topik ini sebab Nehru melihat banyak orang yang memahami sikap sekulernya berarti menabuh genderang perang dengan kelompok agama. “Kita bicara soal negara sekuler di India. Bahkan mungkin tidak ada padanan kata ‘sekuler’ dalam Bahasa Hindi. Beberapa orang berpikir [sekuler] artinya sesuatu yang berlawanan dengan agama. Itu tentu saja salah. Artinya adalah negara menghormati semua agama secara setara dan memberikan kesempatan yang sama. Bahwa negara tidak membiarkan dirinya terikat pada satu keyakinan atau agama—yang artinya kemudian menjadi agama negara.” India hingga hari ini tidak menetapkan agama resmi atau agama nasional. Nehru mencoba bermain dengan secantik mungkin.
Misalnya ia mengecam partai berbasis agama, tapi tidak melarang keberadaan mereka. Ia juga menjaga jarak dari para pemimpin agama maupun kegiatan-kegiatannya. “Sekularisme Selektif” Sejumlah sejarawan hingga analis politik mengkritik konsep sekularisme Nehru sebagai sistem yang tidak jelas patokannya, sehingga praktiknya kerap menunjukkan inkonsistensi. Konsekuensinya gampang terlihat di realitas, mengingat kultur masyarakat India sendiri tidak (atau belum) sesekuler yang Nehru imajinasikan. Meski ada reformasi sosial, politik dan ekonomi, masyarakat India tetap berpegang pada prinsip-prinsip komunitas agamanya (komunalisme). Misalnya soal aturan pernikahan dan warisan, Nehru membolehkan kelompok muslim untuk menjalani prosedurnya sesuai aturan hukum syariah.
Menariknya, meski Nehru seorang sekuler sejati, ia dan aktivis pro-kemerdekaan lain justru bersepakat untuk tidak mencantumkan kata “sekuler” dalam pembukaan konstitusi India.
Kata “sekuler” baru dicantumkan ke dalam konstitusi pada 1976, ketika kursi perdana menteri diduduki anak Nehru, Indira Gandhi. Cita-cita Nehru sejak saat itu tidak hanya berbentuk penjiwaan filosofis, tapi secara tegas dicantumkan dalam dasar negara. Sayangnya, hingga dunia bergerak ke abad 21, India masih saja diguncang konflik antarkelompok agama, antarkasta, dan antarsekte. Korban meninggalnya banyak. Penyintas yang diguncang trauma tidak sedikit.
Selain faktor penghinaan terhada Nabi Muhamamd SAW, sekulerisme di India berpotensi akan berakhir dengan makin menguatnya kelompok ekstrem kanan atau nasionalis Hindu dengan ideology Hindutva—ideologi sektarian di India yang ingin mendirikan negara Hindu.
Seperti dilansir the Wire, Hindutva—istilah yang dicetuskan pada 1923 oleh penulis, penyair dan politikus Vinayak Damodar Savarkar. Ideologi ini menyerukan menciptakan tanah air Hindu yang bebas dari pemeluk agama lain. Meski secara resmi ditolak oleh pemerintah nasional, ideologi Hindutva tetap memengaruhi beberapa kebijakan pemerintah di tingkat negara bagian. Lahirnya gerakan ini tak lepas dari narasi masuknya Islam ke India. Pada tahun 1000-an, gelombang pertama invasi muslim menyapu Afghanistan, dataran Indus hingga India. Kuil-kuil umat Hindu dihancurkan termasuk Somnath yang menjadi salah satu kuil terbesar untuk Dewa Siwa yang terletak di Gujarat. Sekitar 50.000 orang Hindu dibunuh. Kolonisasi Inggris pada abad ke 18 menyisakan sejumlah umat Islam di India dan menuai perlawanan umat Hindu pada awal 1900-an. Pamflet bertajuk ‘Hindu: A Dying Race’ pun tersebar. Isinya: pesan-pesan ketakutan bahwa Hindu akan segera menjadi minoritas dan Muslim jadi mayoritas di India. Baca juga: Pria dari Kasta Terendah Jadi Presiden Baru India Seorang pemimpin senior dari Vishwa Hindu Parishad (Dewan Hindu Dunia) Praveen Togadia angkat bicara bahwa perlu adanya peningkatan persentase orang Hindu dari 82 persen menjadi 100 persen. Sejak 1925, kelompok Hindu nasionalis Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) mulai melancarkan propaganda Hindutva. Pamflet lain juga muncul pada 1923 dari seorang Vinayak Damodar Savarkar, ideolog terkemuka Hindutva yang menulis ‘Who is a Hindu’ atau ‘Essentials of Hindutva.’ Dalam pamflet itu tertulis bahwa orang Hindu adalah ‘penduduk asli’ kawasan Himalaya hingga Samudera Hindia. Tempat-tempat ini diklaim sebagai tanah air (pitrubhumi) dan tanah suci (punyabhumi) umat Hindu. Selain Hindu, hanya penganut agama-agama lain yang berasal dari India-lah—Sikhisme, Jainisme dan Budhisme—yang boleh jadi warganegara.
Sedangkan penganut Zoroaster, Kristen, Islam dan Yudaisme dianggap “pendatang” karena memiliki tanah suci di luar wilayah tersebut. Gerakan nasionalis India yang sekuler dan demokratis mengecam pamflet ini. Mereka ingin semua warga negara, minoritas, etnis dan agama, diperlakukan setara. Baca juga: Ekonomi India Moody di Bawah Modi Salah satu yang menentang Hindutva adalah Mahatma Gandhi. Ia percaya berbagai kelompok atau agama dapa hindup damai di sebuah negara. Gandhi sendiri mengecam pemisahan antara India (Hindu) dan Pakistan (Islam) yang berdasarkan agama.
Tokoh Hindu yang juga menghormati ajaran Islam dan Kristen ini bahkan ditembak mati oleh seorang Hindu garis keras yang menuduh Gandhi “pembela Islam”.
India yang plural kian retak setelah kebangkitan Hindutva pada 1990an yang dibarengi kemunculan kelas menengah yang lebih konservatif. Radikalisme dan revivalisme Islam di belahan dunia lain turut memperkuat kebangkitan Hindutva di India. Ideologi Hindutva kian mengakar seiring menguatnya organisasi-organisasi sayap kanan seperti Rashtriya Swayamsevak Sangh, Bharatiya Janata (partai politik yang menaungi Narendra Modi), Vishwa Hindu Parishad (organisasi propagandis Hindutva) dan Bajrang Dal (sayap paramiliter Vishwa Hindu Parishad). “Negara kami bukan lagi sekumpulan orang (dari berbagai kelompok). Kami adalah sekumpulan gejala kebencian dan dendam….” tulis Shiv Visvanathan, profesor dari Jindal Global Law School. Minoritas Islam dan Kristen kerap jadi bulan-bulanan kekerasan para simpatisan Hindutva.
Pada 2002, kelompok Hindu nasionalis menyerang pemukiman Muslim di Gujarat dan menewaskan 1000 orang setelah sebuah kereta yang membawa para aktivis Hindu terbakar dan menewaskan 60 orang. Narendra Modi, waktu itu menjabat Menteri Utama Gujarat, diduga terlibat dalam insiden ini. Tak hanya terhadap Muslim, serangan terhadap orang-orang Kristen di India juga meningkat secara signifikan sejak Bharatiya Janata Party (BJP) yang merupakan partai sayap kanan anti-Islam dan anti-Kristen ini mulai memerintah di New Delhi pada Maret 1998, menurut laporan HRW.
Kini kekuatan Hindutva menguat lantaran Narendra Modi beberapa waktu lalu mengangkat pendeta Hindu anti-Islam, Yogi Adityanath sebagai Menteri Utama di Uttar Pradesh, negara bagian India dengan penduduk terpadat. Adityanath sendiri adalah pemuka agama yang populer di Uttar Pradesh. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa Adityanath dipilih untuk memperkokoh dukungan Modi di Uttar Pradesh dalam pemilu 2019 mendatang. Di sisi lain, naiknya pemimpin Hindutva adalah ancaman bagi kaum minoritas. Meski kerap dikecam karena terlibat dalam aksi-aksi kekerasan sektarian yang semakin meningkat, hingga kini pemerintah India tak berdaya menyelesaikan persoalan ini.