Oleh : Dr. Chazali H. Situmorang. ( Ketua DJSN 2011-2015 dan Pemerhati Jaminan Sosial)
Persoalan besaran iuran, khususnya yang dibayarkan pemerintah dalam skhema PBI bagi orang miskin dan tidak mampu yang menjadi kewajiban pemerintah terus bergulir dan bahkan sudah melebar pada pemikiran yang anomali dalam melihat persoalan defisitnya Dana Jaminan Sosial JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.
Anomali berfikir oleh mereka yang seolah-olah mengerti kerangka dasar dan hakekat Jaminan Sosial yang terkandung dalam UU SJSN dan UU BPJS tentu membingungkan masyarakat.
Masyarakat di arahkan untuk berfikir segmentasi, partial, maaf kalau saya katakan tidak paham dengan pengertian gotong royong, dana amanat, non diskriminatif, portabilitas, dan dana jaminan sosial yang diperoleh dipergunakan seluruhnya dan sebesar-besar untuk pengembangan program dan kepentingan pelayanan peserta.
Sebagai contoh, adanya suara yang menyebutkan iuran PBI tidak perlu dinaikkan. Alasannya sederhana saja. Yaitu dana PBI yang disediakan oleh pemerintah pada tahun 2017 bersisa Rp. 4,6 triliun. Pekerja Penerima Upah (PPU) ASN dan swasta juga tidak merugi.
Yang merugi adalah PBPU ( Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Bukan Pekerja sebesar Rp. 16,6 triliun di tahun 2017. Ini katanya data dari Wamenkeu sewaktu paparan di DPR.
Dari 25 juta PBPU, yang rutin membayar iuran 52%, selebihnya menunggak atau tidak rutin membayar iuran.
Lantas, apakah dengan data diatas, kesimpulannya iuran cukup?. Buktinya PBI surplus, PPU surplus, yang minus cuma PBPU.
Pada saat yang sama, diakui juga bahwa PBPU rugi sedemikian banyak, salah satu faktor penyebab adalah tarif premi yang rendah dengan benefit package yang luas, disamping ineffisiensi pelayanan dan peserta yang tidak aktif.
Untuk yang tidak aktif, sudah ada treatment yang dilakukan BPJS Kesehatan dengan prinsip tetap melayani dengan keharusan membayar tunggakan pada saat ingin mendapatkan pelayanan dan membayar sejumlah denda tertentu.
Jadi pengakuan tarif premi rendah bagi PBPU, sedangkan PBI lebih rendah lagi, menjadi terkesan inkonsisten jika solusinya iuran PBI tidak perlu dinaikkan, karena surplus 4,6 triliun. Padahal surplus tersebut karena utilisasi yang dibawah 80%, dan ada persoalan distribusi kartu KIS yang kemungkinan tidak 100% diterima peserta PBI.
Kecenderungan utilisasi bergerak maksimum sedang berlangsung dan saat ini informasinya sudah semua kartu KIS di pegang peserta PBI, dan adanya _adverse selection_ yang melanda peserta baik PBI dan non PBI, apakah berani kita katakan premi iuran saat ini cukup?.
Hakekatnya, dalam menghitung besaran iuran, UU SJSN dan BPJS sudah memberikan panduannya. Intinya bukan menghitung besaran iuran POPB terlebih dahulu, tetapi diproyeksikan lebih dahulu tingkat utilisasi manfaat pelayanan kesehatan yang menjadi hak peserta.
Disamping utilisasi, juga batasan manfaat pelayanan yang disebutkan pelayanan medis mulai pomotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Definisi ini batas atasnya “langit” sehingga kuncinya perlu adanya SOP dan _Clinical Pathway_ di faskes FKTP maupun FKTL.
Untuk pengendalian biaya manfaat pelayanan JKN tersebut, maka pola pembayaran yang diterapkan dengan kapitasi dan atau Ina CBGs. Tidak lagi _fee for service_.
Setelah diketahui estimasi total besarnya pembiayaan manfaat pelayanan kesehatan JKN untuk 1 tahun, maka dibagi dengan proyeksi peserta ( tanpa memisahkan PBI dan non PBI), didapatlah besaran iuran perpeserta pertahun, ditambah 10% untuk dana cadangan. Sebab UU mengharuskan adanya dana cadangan. Sehingga claim ratio yang diperkenankan adalah 90%. Lantas, dibagi 12 bulan, maka dapatlah besaran iuran POPB (PerOrang PerBulan).
Sampai disini, sebenarnya urusan sudah selesai. Karena standar pelayanan medis yang diterima peserta sama. Jika rawat inap juga disebut kelas STANDAR. Jadi hanya dikenal satu jenis kelas saja.
Kenyataan di FKTL berbeda. Setiap FKTL dibagi kelas I,II, dan III, untuk pengertian standar ( lihat Perpres JKN). Akibatnya harus dihitung berapa besar iuran untuk masing-masing kelas. Dan karena kebijakan pemerintah untuk PBI, hanya boleh di kelas III dan tidak boleh pindah kelas, maka besar iuran dihitung lebih kecil dari non PBI untuk kelas yang sama (kelas III).
Jika misalnya kelas standar dimaknai setiap kelas perawatan untuk 12 orang, orang miskin, maupun non miskin peserta JKN akan menikmati ruang kelas yang sama untuk 12 orang. Karena besar iuran sama.
Jika peserta mampu ingin mendapatkan kelas perawatan yang lebih baik (VIP), silahkan! pasti pihak RS akan senang melayanani. Selisih biaya manfaat pelayanan dikelas VIP dengan haknya di kelas standar sebagai peserta JKN, dibayar langsung ke pihak RS atau dengan pola COB melalui asuransi kesehatan swasta. Kalau ini yang terjadi tentu akan lebih kondusif situasi pelayanan di RS.
Kita harus jujur mengakui. Kondisi yang terjadi saat ini, adalah dalam menghitung ratio iuran dengan manfaat yang diuraikan diatas, tidak berdasarkan hitungan nilai keekonomian, tetapi berdasarkan uang yang ada. Khususnya untuk PBI yang menjadi kewajiban pemerintah membayarnya sampai saat ini “kemampuan” membayar Rp.23.000.-/POPB. ( hasil kajian DJSN sebesar Rp.36.000.-/POPB, akan diuraikan pada chapter berikutnya).
Disinilah awal “mala petaka” munculnya “ghost” defisit DJS JKN yang sedang terjadi saat ini.
Kondisi tersebut, diperparah lagi dengan adanya pemikiran “nyeleneh” dengan menyarankan kepada pemerintah, agar JKN untuk orang miskin dan tidak mampu (penerima PBI), harus dipisahkan manfaat pelayanannya di faskes dari non PBI. Ide ini bukan menyelesaikan persoalan, tetapi menimbulkan persoalan baru.
Jelas ide tersebut, menabrak UU SJSN dan UU BPJS, dan membuat pertentangan kelas dalam mendapatkan manfaat pelayanan. Hakekat gotong-royongnya tidak terpenuhi. Dan tidak dapat dihindari peserta PBI akan didorong untuk bermental inferior.
UU SJSN dan UU BPJS menegaskan bahwa hak peserta tidak kecuali untuk orang miskin, orang kaya, suku apa, agama apa, umur berapa, kulit hitam, kuning, sawo matang, akan mendapatkan manfaat pelayanan medis yang sama, komprehensif, mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, sepanjang berindikasi medis.
Perbedaan besaran iuran atau premi yang dibayarkan, lebih pada kelas perawatan yang bersifat non medis, dengan pilihan kelas I, II dan III sesuai besaran iuran yang dibayarkan.
Ini jelas dan clear. RS ( FKTL) yang melakukan kerjasama dengan BPJS Kesehatan jika FKTL melakukan diskriminatif pelayanan medis, pihak BPJS Kesehatan dapat memutus perjanjian kerjasama dengan FKTL terkait. (bersambung di Makronesia.id)