Toba Caldera UNESCO Global Geopark: Antara Kartu Hijau dan Ancaman Kartu Merah

Feature32 Dilihat

Makronesia.id, Sumatra Utara – Di tengah lanskap indah Kaldera Toba, selembar kartu dari UNESCO mengundang polemik. Masyarakat sekitar, yang selama ini hidup berdampingan dengan alamnya, tak pernah membayangkan bahwa konsep “geopark” akan menjadi topik hangat.

Namun, sejak status Toba Caldera sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark ditetapkan, isu tata kelola kawasan ini menjadi sorotan, terutama setelah badan pengelolanya mendapat “kartu kuning” dari UNESCO—peringatan yang berpotensi berujung pada pencabutan status bergengsi ini.

Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark (BP TC-UGGp), yang dibentuk Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, sejatinya bertugas menjaga keberlanjutan ekologi, geologi, dan budaya di kawasan ini.

Baca juga : Kaldera Toba: Empat Dimensi Perspektif Ungkap Keindahan dan Tantangan Alam serta Budaya

Namun, realitas di lapangan berkata lain. Banyak pihak menilai badan ini lamban, tidak efektif, bahkan kehilangan arah dalam menjalankan misinya. Akibatnya, bukannya menjadi pusat pemberdayaan dan edukasi, geopark ini justru terancam kehilangan statusnya di mata dunia.

Menyikapi kondisi ini, jaringan aktivis dan komunitas yang peduli terhadap Danau Toba berkumpul dalam sebuah diskusi terbuka yang diadakan oleh Rumah Karya Indonesia di Medan. Mengusung tema “Toba Caldera UNESCO Global Geopark, Kartu Hijau atau Kartu Merah?”, forum ini menjadi ajang refleksi dan kritik terhadap pengelolaan kawasan tersebut.

“Kita dulu bisa melakukan banyak hal di kawasan Danau Toba tanpa embel-embel geopark. Sekarang, seolah-olah semua menjadi lebih sulit, bahkan citra kawasan ini terlihat buruk,” ujar Jhon Robert Simanjuntak dari Rumah Karya Indonesia.

Baca juga : Merajut Kolaborasi: 100 Pakar Bersatu Demi Green Card UNESCO untuk Toba Caldera

Diskusi yang dipandu Avena Matondang ini menghadirkan Corry Panjaitan, mantan pengurus Badan Pengelola Geopark, yang mengupas berbagai aspek historis, sosiologis, dan kultural yang melatarbelakangi kondisi ini.

Kritik utama mengarah pada lemahnya tata kelola, kurangnya independensi, serta minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam kebijakan yang berdampak langsung pada mereka.

Menariknya, pengurus baru BP TC-UGGp turut hadir untuk mendengar langsung aspirasi publik. General Manager BP TC-UGGp, Azizul Kholis, dalam pernyataannya menegaskan komitmennya untuk memperbaiki pengelolaan geopark ini.

Baca juga : Pemprov Sumut Serahkan Dokumen Revalidasi Toba Caldera ke KNIU, Langkah Penting Menuju Penilaian UNESCO

“Kita harus menutup lembaran lama dan belajar dari kesalahan. Kami ingin bekerja lebih baik dan lebih transparan, dengan melibatkan komunitas dalam setiap langkah yang diambil,” ujar Azizul, didampingi manajer divisi lainnya.

Rumah Karya Indonesia berencana melanjutkan diskusi-diskusi tematik mengenai geopark ini, dengan harapan transparansi dan kolaborasi menjadi kunci dalam pengelolaan kawasan Danau Toba.

Sementara itu, BP TC-UGGp berjanji akan menggelar forum khusus untuk memaparkan rencana kerja mereka ke depan.

Kini, pertanyaannya tinggal satu: akankah Kaldera Toba berhasil mempertahankan statusnya dan mendapatkan “kartu hijau”, atau justru akan menerima “kartu merah” yang berujung pada pencoretan dari daftar UNESCO Global Geopark? Jawabannya ada pada langkah yang diambil oleh para pemangku kepentingan—terutama mereka yang bertanggung jawab atas kawasan ini. (EHS-01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *