Aneksasi Palestina dan Sikap Politik Indonesia
Oleh : Eko Budiono, SST.Par.Msi.*, Pengamat Kebijakan Publik dan Dunia Islam
Derita tiada akhir mungkin untaian kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi bangsa Palestina di Bulan Juli 2020. Betapa tidak , keputusan negara zionis Israel yang didukung Amerika Serikat (AS) untuk melakukan aneksasi kawasan Tepi Barat, telah menghancurkan impian untuk hidup merdeka.
Meski Israel telah menunda aneksasi, namun ancaman itu menjadi lampu merah yang harus dijadikan pelajaran bagi seluruh faksi atau kelompok di Palestina seperti Hamas, Fatah, dan Jihad Islam.
Presiden Israel Benjamin Netanyahu awalnya berencana memulai proyek pencaplokan ini pada 1 Juli. Israel bahkan juga telah memiliki nama untuk permukiman yang nanti akan dibangun di lahan yang dicaplok.
Amerika Serikat belum memberikan lampu hijau bagi Israel untuk melaksanakan rencana itu. Selama beberapa pekan terakhir, Uni Eropa melancarkan kampanye diplomatik menentang rencana aneksasi itu. Salah satunya dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas ke Jerusalem belum lama ini untuk mengampanyekan kekhawatiran tentang meningkatnya konflik dan gangguan keamanan di kawasan.
Namun, di antara negara-negara Eropa sendiri tidak ada kesepakatan yang bulat soal ini. Pemerintah Israel sejauh ini belum mengeluarkan pernyataan apa pun terkait pernyataan bersama keempat menlu Empat negara tersebut.
Namun, dalam sebuah pernyataan terpisah, kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebutkan bahwa dirinya telah berdiskusi dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan tetap pada komitmennya pada rencana Trump yang dinilainya realistis bagi kawasan dan Israel.
Seperti dilansir harian Repubilka, rencana aneksasi terhadap wilayah Tepi Barat dengan membangun permukiman Yahudi diumumkan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, setidaknya, pada April lalu. Rencana itu kembali mengemuka belakangan ini, menjelang waktu pembahasan lebih lanjut oleh Israel dan Amerika Serikat (AS) yang dijadwalkan pada 1 Juli mendatang.
Amerika Serikat (AS), khususnya di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, adalah pihak pengusung proposal perdamaian untuk konflik Palestina-Israel, Kesepakatan Abad Ini (Deal of the Century), yang ditolak Palestina karena dianggap hanya menguntungkan Israel, dan ditindaklanjuti dengan rencana aneksasi.
Dalam kondisi Palestina yang terancam oleh aneksasi dari Israel, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengajak masyarakat internasional untuk terus menunjukkan kesatuan dalam melakukan penolakan secara kolektif terhadap rencana aneksasi di wilayah Tepi Barat, Palestina.
Retno juga menyampaikan, PBB melalui beberapa organnya seperti Dewan Keamanan, Majelis Umum, dan Dewan HAM serta Mahkamah Pengadilan Internasional, harus bisa bertindak untuk mempertahankan tatanan dan norma internasional yang telah dibangun secara susah payah sejak berakhirnya perang dunia ke-2.
Menurutnya, komunitas internasional, harus juga memberikan perhatian khusus bagi Palestina dalam menghadapi pandemi Covid-19 khususnya pengungsi Palestina selama pandemi terjadi. Terlebih, krisis finansial di tengah pandemi Covid-19 tengah dialami Badan PBB untuk Pengungsi Palestina, UNRWA.
Retno menyampaikan Indonesia telah menyampaikan komitmen bantuan baik kepada pemerintah Palestina, maupun kepada UNRWA masing-masing sebesar 1 juta doalr AS dan 500 ribu dolar AS melalui Komite Palang Merah Internasional (ICRC).
Pemerintah Indonesia juga meningkatkan kontribusi rutin untnuk pengungsi Palestina melalui UNRWA. Dengan begitu Indonesia tidak saja memberikan dukungan politik tetapi juga dukungan keuangan dan dukungan dalam bentuk lain termasuk pemberian capacitly building kepada saudara-saudara kita.
Selain kontribusi itu, lebih dari 1 dekade lalu Indonesia telah memberikan bantuan pengembangan kapasitas. Indonesia telah melaksanakan sebanyak 170 jenis pelatihan kepada lebih dari 2.000 masyarakat Palestina di berbagai macam bidang. Misalnya pertanian, diplomatik, kesehatan pariwisata, pemberdayaan perempuan, perindustrian, demokrasi, dan tata kelola pemerintahan.
Sedangkan profesor dari Universitas Islam Gaza (IUG) yakni Nasruddin Shodiq El Mezaini mengapresiasi kepedulian umat Islam terhadap Palestina. Dia menyebut kondisi negaranya yang dikepung penjajah Israel seperti penjara terbuka.
Profesor Nasruddin mengatakan kawasan Palestina yang saat ini terus dijajah Israel itu tak hanya milik warganya semata, melainkan milik seluruh kaum Muslimin secara keseluruhan. “Palestina itu ada masjidil Aqsha disana, karena itu milik semua kaum Muslimin,” ujar Nasruddin Shodiq El Mezaini Profesor yang merupakan warga asli Gaza itu sempat menyinggung sejarah Palestina yang dimulai pada tahun 1947 Masehi. Pada saat itu di Palestina hanya ada sebagian kecil kaum Kristiani dan Yahudi. Dengan tegas dia menyatakan tidak ada negara dengan nama Israel.
Hingga akhirnya setelah Perang Dunai II berakhir, atas kewenangan Britania Raya (Inggris) penganut Yahudi dari seluruh dunia diperkenankan untuk memasuki wilayah Palestina. “Inggris mempersilahkan bahkan mendorong orang Yahudi dari berbagai belahan dunia, dari Eropa, Amerika, Afrika untuk masuk ke Palestina,” jelasnya.
Kecaman terhadap rencana aneksasi Palestina juga disampaikan Raja Yordania, yang memperingatkan Israel tentang kemungkinan pecahnya konflik besar-besaran jika negara Zionis itu melanjutkan rencana untuk menganeksasi sebagian besar Tepi Barat yang diduduki.
Israel telah bersumpah untuk mencaplok permukiman Yahudi dan Lembah Yordan, yang berarti berakhirnya proses perdamaian yang telah lama terhenti dengan membuat hampir mustahil untuk mendirikan negara Palestina.
Aneksasi wilayah Tepi Barat tentu tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa Israel menaklukkan Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur pada perang Juni 1967, pemerintah Israel mulai membangun permukiman di wilayah tersebut. Awalnya berjumlah sedikit, permukiman itu dengan cepat semakin meluas di wilayah Palestina yang diduduki.
Hari ini, sekitar 620 ribu pemukim Israel tinggal di lebih dari 200 permukiman, atau sekitar 11 persen dari total populasi Yahudi di tanah Palestina.
Pemindahan penduduk ke dalam wilayah yang diduduki adalah jelas bentuk pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional dan Konvensi Jenewa Keempat. Seluruh permukiman Israel di wilayah Palestina ditetapkan ilegal di bawah hukum internasional.
Dampak dari pembangunan permukiman tersebut meluas. Penutupan jalan, pos pemeriksaan, dan desain pembangunan infrastruktur lainnya untuk melindungi pemukim, seperti pemisahan jalan, dan sangat membatasi pergerakan warga Palestina.
Sementara itu, perampasan sumber daya tanah dan air untuk permukiman tersebut menyebabkan petani kehilangan sumber mata pencaharian, dan membatasi pengembangan perkotaan bagi kota-kota di Palestina.
Kekerasan oleh para pemukim, banyak dari mereka bersenjata, melawan penduduk sipil Palestina juga hal rutin setiap harinya, dengan aksi pembakaran lahan pertanian dan pelemparan batu ke mobil.
Beberapa bulan setelah perang Juni 1967, permukiman Israel pertama, Kfar Etzion, dibangun di Tepi Barat. Permukiman awalnya dibangun di wilayah strategis utama atas dalih militer tapi berpenduduk jarang.
Orang-orang Yahudi yang dulu menduduki permukiman itu meyakini Tanah Israel sebagai tanah yang dijanjikan oleh Tuhan untuk mereka, sebagai pembenar misi mereka untuk menjajah Palestina. Pada 1968, penghasut sayap kanan Israel, Rabbi Moshe Levinger menyelundup ke Hebron dengan para pengikutnya dari Gerakan Tanah Israel untuk merayakan Paskah dan menolak untuk kembali dari sana.
Dipindahkan oleh pasukan Israel ke dekat pangkalan militer, pemerintah akhirnya mengizinkan pembangunan permukiman Kiryat Arba di pinggiran kota Hebron – menggambarkan gelombang pertama pemukin ideologis di Tepi Barat.
Di tahun yang sama, Dewan Keamanan PBB mengumpulkan 13 suara dan 2 abstain untuk mengadopsi Resolusi 252 “menegaskan kembali bahwa pencaplokan wilayah oleh penaklukan militer tidak dapat diterima”.
Selama periode yang sama, gerakan Gush Emunim mulai dikenal setelah perang Arab-Israel tahun 1973, mengorganisir unjuk rasa, pawai dan aksi mendukung pembangunan permukiman. Gerakan ini memenangkan pencapaian penting pada 1975 ketika pemerintah mengizinkan Eilon Moreh dibangun dekat Nablus.
Tahun 1977, Perdana Menteri Yitzhak Rabin menyetujui pembangunan permukiman Maale Adumim, yang akhirnya menjadi pusat industri utama dengan lebih dari 30.000 orang.
Permukiman itu, yang menjadi kota pada 1991, merupakan bagian dari kebijakan utama Israel untuk memisahkan Yerusalem dari Tepi Barat, dan mencegah kota yang diperebutkan itu terpecah. Pada 1978, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Jimmy Carter menganggap bahwa permukiman Israel “tidak konsisten dengan hukum internasional”.
Partai sayap kanan, Likud yang dipimpin Menachem Begin mulai berkuasa dan secara aktif membangun permukiman di Tepi Barat dan Jalur Gaza, menyiapkan bantuan keuangan dan kelonggaran pajak untuk pertama kalinya demi mendorong orang Yahudi Israel pindah ke tanah Palestina yang mereka duduki.
Tahun 1980, 13 tahun setelah penaklukan Yerusalem Timur, Israel mengesahkan UUD: Yerusalem, Ibu Kota Israel, yang dinyatakan dalam Pasal 1 bahwa “Yerusalem, lengkap dan bersatu,” adalah ibu kota Israel, meresmikan pencaplokannya atas tanah Palestina.
Tahun 1982, Israel menyelesaikan pengembalian Semenanjung Sinai ke Mesir di bawah perjanjian damai 1979, memindahkan 7 ribu pemukim Israel dari wilayah itu. Di akhir kekuasaan Likud pada 1983, populasi pemukim Israel di wilayah Palestina sekitar 23.700.
Pada saat Kesepakatan Oslo ditandatangani tahun 1993, populasi pemukim Israel sebanyak 116.300. Permukiman meluas melingkupi wilayah-wilayah utama seperti Lembah Jordan, yang membentuk sepertiga Tepi Barat dan merupakan wilayah pertanian dan keamanan yang vital.
Meskipun disuarakan oleh para negosiator Palestina pada Konferensi Perdamaian Madrid 1991, masalah permukiman – bersama dengan Yerusalem dan para pengungsi – dikesampingkan dalam Kesepakatan Oslo untuk perundingan di masa depan.
Aktivitas permukiman Israel hampir berlipat ganda di tahun-tahun mendatang, dengan populasi pemukim berjumlah 198.300 pada tahun 2000.
Tahun 2002, Israel mulai membangun tembok pemisah yang kontroversial. Dengan panjang 670 kilometer, 85 persen rutenya berada di dalam Tepi Barat dan mengelilingi blok permukiman utama Israel.
Tahun 2005, PM Israel garis keras, Ariel Sharon, penggagas gerakan pemukim, secara sepihak menarik 8.500 pemukim dari Jalur Gaza. Sejak 1967, Israel telah membangun lebih dari 21 permukiman Yahudi di wilayah pesisir. Lebih dari setengah warga Israel menentang evakuasi.
Presiden AS Donald Trump mulai berkuasa pada 2017, dan segera mengeluarkan kebijakan lama Amerika tentang solusi dua negara. Dia menunjuk David Friedman sebagai duta besar AS untuk Israel. Friedman dikenal sebagai penyokong pembangunan permukiman Israel.
Israel menyetujui permukiman baru pertama di Tepi Barat yang diduduki selama dua dekade pada 2017 di dekat kota Nablus, Palestina. Kemudian tahun 2017, Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, menolak klaim Palestina atas kota tersebut.
Sekarang ada lebih dari 200 ribu pemukim Israel di Yerusalem Timur. Israel meluncurkan proyek pembangunan pemukiman terbesar dalam beberapa tahun terakhir, membangun ribuan rumah.
Pada bulan Maret 2019, Trump secara resmi mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan yang diduduki, disita dari Suriah pada tahun 1967.
Akhirnya, dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh Palestina, dan kondisi sebagian besar Negara Islam yang masih terkena dampak Covids-19, masih ada setitik harapan untuk menghadapi aneksasi dari Isreal.
Harapan itu adalah semangat ukhuwah atau persaudaraan dari bangsa lain yang bersimpati terhadap perjuangan Palestina.Semoga.