Cerita : Karpidol anak Medan
Makronesia.id – Hari itu, Karpidol duduk santai di teras rumahnya, menggerutu pelan sambil menggulir layar ponsel. Sebagai orang kampung yang dikenal punya “jaringan luas” dari warung kopi hingga kantor pemerintah, ia merasa percaya diri menghadapi pemberkasan ASN. Tapi ternyata, nasibnya hari itu agak bernuansa komedi tragis.
Awalnya, ia menghubungi juniornya di kampus yang sekarang jadi dokter. “Hallo, apa kabar adinda?” sapa Karpidol dengan nada penuh percaya diri. Padahal, ia masih punya utang ke juniornya itu sejak zaman kuliah, dan belum juga lunas.
“Kabar baik, abangda. Ada apa nih?” balas si junior sambil merasa deg-degan. Dalam benaknya, ia sudah menebak-nebak: jangan-jangan abang ini mau pinjam duit lagi.
Baca juga : Haruskah Karpidul Menyerah pada Pilihan Selain “YA” di Akun SSCN?
“Adinda tahu nggak, abangmu ini sudah lulus jadi abdi negara! Tapi ya begitulah, negara ini kurang percaya abang sehat. Diminta surat MCU segala,” ucap Karpidol dengan nada bangga yang dibumbui curcol.
“MCU? Apa saja yang diminta, bang?” Juniornya mulai khawatir, takut ini proyek minta tolong tanpa pamrih—atau malah pamrih besar.
“Biasalah, surat bebas narkoba, bebas sakit jiwa, bebas penyakit keras. Nah, berapaan itu kira-kira? Abang pikir murah lah kalau lewat adinda,” Karpidol menatap layar ponselnya penuh harap.
Baca juga : Dari ASN Jadi Zombie : Kisah Karpidol dan Ramuan Tetangga
Juniornya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Kalau MCU, ya di kisaran lima ratus sampai enam ratus ribu, bang. Tapi coba abang ke RS … biasanya agak murah di sana,” jawabnya sambil mengucap doa semoga abang ini tidak minta “jalur sakti”.
“Ah, gag ada mitra dinda di sana, ya? Mana tau abang bisa tanpa antri, dapat diskon, atau langsung keluar surat MCU tanpa diperiksa?” tanya Karpidol tanpa rasa malu, seolah adiknya ini punya kekuatan level superhero.
“Bang, aku lagi nggak dinas di RS itu. Tapi ya coba aja abang datang. Biasanya sih cepat kalau nggak ramai,” jawab si junior, yang mulai menyesali kenapa tadi ia angkat telepon.
Baca juga : Ujian PPPK dan Gelas Pecah di Pagi Hari
Karpidol pun mengelus dada. “Alamak… pupus sudah harapan.” Tapi ia tidak menyerah. Kini targetnya adalah mantan atasannya yang kebetulan pejabat di BNN.
“Assalamualaikum, kakak awak yang manis. Apa kabar, kakak?” sapanya dengan nada ceria khas Medan, ala-ala orang mau meminjam uang.
“Walaikumsalam, adek kakak. Tumben nih, ada angin apa?” balas si kakak dengan nada curiga.
“Begini, Kak. Kantor awak minta semua pegawai tes narkoba. Padahal, awak kan pernah bantu kakak nangkep pabrik sabu terbesar di Bogor. Gag cukup yakin mereka sama rekam jejak awak?” Karpidol mulai mengeluarkan jurus nostalgia sambil berharap harapan tipis.
Balasannya? Hanya emotikon senyum.
“Eh, berapaan sih biaya tes narkoba itu, Kak?” tanya Karpidol, kali ini langsung to the point. Wajahnya penuh harap.
“Biasanya dua ratus ribuan,” jawab si kakak. Pendek, padat, menohok.
“Gag ada diskon, Kak? Mungkin setengah harga lah, kan adik kakak ini dulu bantu-bantu,” tanyanya, mencoba peruntungan terakhir.
“Itu uang negara, Dek. Mana bisa didiskon. Nggak ada subsidi nostalgia,” balas si kakak tegas.
Karpidol menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Dua kali ia mencoba “orang dalam,” dua kali pula ia gagal. “Orang dalam ini ternyata nggak dalam kali,” gumamnya sambil menggaruk kepala. Dalam hati, ia sadar: mungkin inilah saatnya bayar full, bukan bayar pakai kenangan masa lalu.