Cerita : Karpidol Anak Medan
Makronesia.id – Rentetan cerita Karpidul terasa seperti tak ada habisnya. Dari pendaftaran PPPK, ujian, pengumuman, hingga verifikasi berkas—semua itu seakan membentuk perjalanan panjang yang tak pernah ia duga.
Hari demi hari, Karpidul terus tenggelam dalam harapan yang terkadang terasa jauh, seperti melayang di atas angin.
Di suatu sore yang sunyi, ia duduk termenung di teras, memegang secangkir kopi yang sudah lama dingin, di tangan kirinya sebatang rokok yang mulai habis terbakar.
Baca juga : Pemberkasan Dengan “Orang Dalam”, Tapi Tak Terlalu Dalam
Pikiran-pikiran itu berputar-putar, membawa kembali kenangan masa lalu yang ia coba lupakan. Dalam kesunyian itu, ia teringat kata-kata ayahnya yang dulu pernah mengingatkannya dengan penuh kebijaksanaan:
“Ada ongkos untuk setiap impian. Kalau belum terwujud, mungkin ongkosnya yang kurang.”
Ayahnya selalu berbicara tentang ‘ongkos’—sesuatu yang tak pernah mudah didapatkan. Ada orang yang memiliki bohir, yang bisa dengan tenang mengejar impiannya tanpa memikirkan biaya yang harus dikeluarkan.
Baca juga : Dari ASN Jadi Zombie : Kisah Karpidol dan Ramuan Tetangga
Namun, bagi Karpidul, impian itu harus diperjuangkan, bukan hanya dengan usaha tapi juga dengan pengorbanan.
“Ada juga orang yang harus berjuang cari ongkos sendiri, membagi diri di antara pekerjaan dan mimpi-mimpi mereka,” ayahnya melanjutkan.
“Ada yang harus berhenti sejenak, mengumpulkan ongkos agar bisa melanjutkan perjalanan. Lambat, memang, tapi mereka yakin akan sampai.”
Baca juga : Ujian PPPK dan Gelas Pecah di Pagi Hari
Karpidul menelan pahitnya kata-kata itu. Terkadang, impian terasa begitu jauh, begitu mahal untuk diraih. Namun, ada saat-saat di mana ia merasa seolah harus berhenti sejenak. Bukan karena ia menyerah, tapi karena ia tahu bahwa setiap langkah perlu diukur, agar tak terjatuh terlalu jauh.
Tiba-tiba, jam menunjukkan pukul 4.10 pagi. Ia terbangun dari lamunan panjangnya. Dengan langkah yang tak tentu arah, ia masuk ke dalam rumah, menuju tempat tidurnya yang telah menunggu.
Di sebelah kiri, terlihat sosok perempuan yang selalu sabar menemaninya, dalam suka maupun duka. Ia menatap dengan penuh rasa terima kasih.
Di sebelah kanan, dua anaknya yang lelap tidur, tersenyum seolah sedang bermimpi tentang petualangan seru yang tak terbatas—Bakk, naik Rubicon di jalanan terbuka, rambut mereka tergerai diterpa angin, berdiri pada SunRoof Rubicon begitu bebas dan penuh harapan.
“Bismika Allahumma Ahya Wa Ammut,” ucap Karpidul pelan, membiarkan doanya mengalir. Matanya terpejam, namun hatinya masih berharap, pada hari esok yang penuh kemungkinan.
Pada keajaiban yang mungkin datang, pada pilihan “YA” yang mungkin akan membawa harapan-harapan itu terwujud.




