*Eko Budiono
Maraknya ketakutan atau kebencian terhadap Islam-Islamofobia- di tanah air tidak serta merta hadir, namun memiliki rekam jejak yang panjang, tepatnya sejak era imperialisme Belanda di abad ke-17 Masehi.
Saat itu, Kongsi Dagang Belanda (VOC) memiliki ketakutan terhadap kerajaan Islam seperti Aceh, Banten,dan Demak, sehingga melakukan politik adu domba.
Selain itu, VOC juga selalu menyebut para pejuang kemerdekaan khususnya umat Islam dengan sebutan ekstrimis.
Pemberian label ekstrimis atau radikal dari Belanda itu terhadap para pejuang kemerdekaan ternyata sampai era saat ini ternyata masih terus berlanjut.
Di era orde lama dan orde baru, para penguasa memberikan sebutan ekstrim kanan untuk kelompok Islam yang dianggap melawan kebijakan, serta ekstrim kiri untuk gerakan komunis.
Seiring waktu, di era milenial tepatnya 2001 usai tragedi 911 di New York, Amerika Serikat, kampanye Islamofobia makin kuat di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Seperti pernah disampaikan oleh mantan Ketua PBNU almarhum KH.Hasyim Muzadi dalam tulisannya di Republika menyatakan, harmoni umat terancam tercabik-cabik lagi gara-gara diterbitkannya sebuah buku yang di beberapa halaman memuat hinaan serta pelecehan membabi buta terhadap Nabi Muhammad SAW. Beruntung aparat kepolisian segera mengambil tindakan dan pihak penerbit menyatakan penyesalan mendalam. Sehingga dengan begitu, kasusnya langusng diproses secara hukum.
Kini, sebagaimana selalu kita yakini akan datangnya kebenaran, terbitnya buku tersebut justru menunjukkan belangnya sendiri bahwa tudingan intoleransi Dewan HAM PBB kepada Indonesia tidak benar karena yang terjadi malah sebaliknya.
Sudah barang pasti peristiwa ini secara signifikan telah menyadarkan umat Islam bahwa Islamofobia (kebencian terhadap Islam) memang riil adanya. Tidak bisa dibantah dan akan terus terjadi tiada henti.
Menurut KH.Hasyim Muzadi, tahun 1963-1964, misalnya, betapa Allah SWT, Alquran, Rasulullah SAW dihujat habis-habisan secara terbuka melalui panggung lembaga kesenian rakyat —dilakukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), organisasi underbow PKI— yang kemudian melahirkan UU No 1/1965 tentang larangan penodaan agama.
Setelah Orde Lama, di zaman Orde Baru pun pernah terjadi penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Seorang pekerja pers pernah menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan ke-11, tepat satu peringkat di bawah namanya sendiri dalam kategori orang yang paling dikagumi.
Di zaman reformasi pun kita menemui, antara lain, usaha gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar UU No 1/65 dicabut berdasarkan HAM, sehingga menodai agama tidak dikenakan sanksi hukum. Islamofobia tidak akan hilang sepanjang masa, serta dilakukan secara komprehensif, sistematis, terukur dengan cermat, serta berkualitas sangat tinggi.
Kita perlu menyadarkan umat Islam secara terus-menerus tentang hal ini dengan jalan menyeimbangkan antara prinsip tasaamuh alias toleransi d lam bermuamalah dengan tetap menjaga tingkat kewaspadaan agar kita tidak diadu domba.
Meski masing-masing elemen dalam masyarakat Islam berbeda langkah tetap harus tetap memiliki kesamaan pandang dalam menghadapi persoalan yang akan menjadi warisan abadi kalau tidak ditangani dengan serius ini. Kita membutuhkan langkah aksi-mereaksi.
Tetapi, tentu saja cara mereaksinya haruslah lebih pintar, cerdas, dan tidak gegabah, karena begitu kita salah dalam mereaksi pancingan mereka, karena mereka telah menyiapkan jebakan baru yang lebih menyengsarakan umat dengan tuduhan-tuduhan baru juga.
Terlalu banyak angka untuk dideretkan apakah tudingan itu ditujukan untuk Islam atau semata kepada para pemeluknya. Satu yang pasti, kita akan selalu berdiri di garda terdepan membela kemurnian agama Islam.
Terlebih, aksi serangan Islamofobia bukan hanya menyangkut serangan terhadap ajaran Islam, namun juga pada bidang ekonomi, politik, pendi dikan, dan budaya, serta militer, bahkan membuat disintegrasi dan separatisme di sebuah negara NKRI yang dihuni mayoritas kaum Muslimin.
Bagi mereka menghujat agama merupakan bagian dari HAM, namun sebaliknya kalau kita menolak ateisme dianggap melanggar HAM. Aksioma serta frame pemikiran semacam ini harus terus dibendung. Kalau tidak, lama-lama tudingan itu akan berulang secara berkala pada forum yang sama, sesuai kebutuhan mereka yang terang-terangan membeci Islam dan pemeluknya.
Dalam kaitan mereaksi tudingan dan serangkaian rekayasa buruk mereka terhadap Islam, maka yang paling penting untuk mendapatkan perhatian kita semua adalah caranya aliasthoriqah. Salah dalam memilih dan menggunakan cara, bisa sangat jauh kita melenceng dari tujuan awal.
“At-Thoriqatu ahammu minal maddah—cara lebih penting dari materi.” Kalau tujuan kita menghindarkan Islam dari tindak pelecehan, maka pantang kita menggunakan cara yang sama untuk menghindar dari aksi penghinaan.
Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nasher,menuturkan orang makin terbuka mengolok-olok Islam dan umat Islam di negeri Indonesia tercinta. Negeri yang mayoritas penduduknya muslim, bahkan tercatat sebagai negara muslim terbesar di dunia.
Mengapa sebagian orang begitu terbuka menunjukkan ketidaksukaan terhadap Islam dan umat Islam? Ketika sejatinya Islam dan mayoritas kaum Muslim Indonesia menampilkan diri dengan sikap moderat yang mengedepankan damai, toleran, menyatu, maju, dan meng-Indonesia!
Islam dikatakan agama impor, “penjajah”, dan “agama perang” dengan nada sinis dan apologi. Menghina Alquran dan mengganti sebutan Allah dengan “yang lain”.
Menghina Nabi Muhammad dengan berbagai julukan buruk, bahkan disebut “pendusta” dan “berteman jin”. Umat Islam juga dilecehkan dengan nama “kadrun” (kadal gurun) dan sebutan lain yang merendahkan.
Kalau sebutan Islam dan umat Islam sebagai “radikal”, “ekstrem”, dan “teroris” sudah lama dan membuana. Mengukur kebenaran ajaran Islam dengan paradigma lain yang sejatinya memang tidak sejalan dan bertentangan dengan Islam.
Auranya semua bermuatan pada penyakit lama, Islamofobia, yaitu sinisme, prasangka buruk, salah paham, ketidaksukaan, dan kebencian terhadap Islam dan umat Islam.
Sama halnya, pelecehan dan narasi kebencian juga sering menimpa agama lain di negeri manapun. Menghina agama dan pemeluknya. Pelakunya mirip, yakni oknum pindah agama, dari pemeluk agama yang sama, maupun dari penganut beda agama.
Mengukur agama lain dengan agamanya sendiri. Inilah masa ketika orang sangat terbuka dan leluasa menista agama dan pemeluk agama.
Islamofobia masif
Islamofobia adalah pandangan dan sikap yang mengandung prasangka, ketakutan, dan kebencian terhadap Islam dan orang-orang Islam. Istilah ini sudah lama berkembang awalnya di Barat dan dalam era mutakhir menguat menjadi pandangan global setelah tragedi serangan teroris 11 September 2001.
Pelaku teror itu beragama Islam. Sejak itu berkembang Islamofobia yang mendiskriminasi umat Islam bukan hanya dalam hal beragama, tetapi dalam aspek kehidupan lain di ruang publik.
Islamofobia merupakan pandangan anti Islam, baik yang dilakukan secara terbuka maupun tersembunyi.
Di Tanah Air Indonesia kecenderungan alergi dan anti Islam ini bercampur aduk dengan berbagai masalah yang tidak sederhana. Termasuk terkait dengan kontestasi politik aliran.
Kehadiran media sosial makin membuka ruang segala ekspresi dalam kehidupan beragama, berbangsa, bernegara, dan relasi antar manusia secara global, sehingga setiap orang atau kelompok seolah boleh bependapat dan berbuat apa saja. Sebagian orang bahkan sengaja berbuat kontroversi, termasuk menghina agama dan pemeluknya, demi mengejar viral untuk popularitas dan kepentingan diri secara menerabas.
Medsos menjadi sumber masalah baru dalam relasi antarmanusia yang sering menyebarkan sentimen-sentimen keagamaan, kesukuan, ras, dan golongan atau SARA.
Islamofobia makin menguat dan memperoleh tenpat dalam multikulturalisme yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan toleransi sebagai ideologi dunia yang saat ini dominan. Menurut Derya Iner (2018), kelompok Islamofobia ada yang secara fanatik anti Muslim dengan mengampanyekan antimasjid, antimakanan halal, dan segala atribut keislaman. Sebagian ada pula yang tidak terang-terangan dalam menunjukkan sikap tidak suka terhadap Islam dan orang-orang Islam.
Islamofobia itu secara sosiologis masif, berimpitan dengan alam pikiran liberalisme-sekuler atau humanisme-sekuler. Di antara orang yang menunjukkan pandangan dan sikap anti atau tidak suka pada Islam tidak mengakui sebagai penganut Islamofobia.
Kelompok anti Islam atau Islamofobia tidak selalu terbuka dan verbal, mereka terselebung bermantelkan paham multikulturalisme yang naif seperti paham toleransi, pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia yang memandang Islam dan pemeluknya sebagai sumber masalah kekerasan, terorisme, dan intoleransi dengan tolok ukurnya sendiri.
Di Barat maupun di Indonesia, Islamofobia sering berimpitan dengan isu melawan “radikalisme Islam”, yang memandang Islam dan Muslim sebagai sumber atau terkait intoleransi, ekstremisme, terorisme, dan kekerasan. Mereka yang menganut paham anti terhadap radikalisme Islam sering terjebak pada Islamofobia.
Di Barat maupun di Indonesia Islamofobia sering berimpitan dengan isu melawan “radikalisme Islam”.
Respons Islam
Penganut Islamofobia dalam teori maupun praktik tidak otomatis mereka yang beragama non Islam, agnotis atau alergi terhadap Islam bahkan ateis, boleh jadi dilakukan pula oleh mereka yang beragama Islam.
Islamofobia, baik yang terpisah maupun terkait melawan “Islam radikal” merupakan pandangan bias dan sarat prasangka buruk terhadap Islam mesti diakhiri, sebab tidak menguntungkan siapa pun. Pendukung multikulturalisme tidak diuntungkan oleh Islamofobia.
Sebab, arus utama Islam dan kaum Muslim di dunia lebih-lebih di Indonesia prodemokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi sehingga dapat saling mendukung dan bekerja sama. Kuncinya berdialog agar tidak saling memaksakan alam pikirannya secara absolut dan membuka garis toleransi ketika satu sama lain berbeda.
Umat Islam tentu dirugikan oleh Islamofobia karena menjadikan dirinya sebagai objek diskriminasi dan perlakuan buruk. Padahal Islam pada dasarnya agama damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal yang rahmatan lil-‘alamin.
Namun, Islam juga penting dihormati ketika memiliki dan menyebarluaskan nilai ajarannya yang khusus yang boleh jadi berbeda dengan alam pikiran multikulturan, liberalisme, dan humanisme sekuler. Cara berpakaian Muslimah yang khas, antiminuman keras, hukum pernikahan, dan praktik Islam lainnya yang sejatinya ajaran-ajaran Islam itu untuk menjaga atau memelihara kehidupan yang berkeadaban.
Namun, kaum Muslim dalam menghadapi Islamofobia tentu mesti dengan sikap cerdas dan pandangan luas sesuai dengan ajaran damai Islam. Sejauh yang mengangkut penghinaan, kebencian, penodaan, dan segala bentuk penistaan terhadap Islam, Nabi, dan segala aspek keislaman maka dapat dilakukan melalui jalur hukum yang semestinya.
Jauhi sikap main hakim sendiri yang bertentangan dengan hukum dan nilai luhur kemanusiaan semesta. Bersamaan dengan itu penting terus mempromosikan dan manampilkan pandangan serta praktik Islam yang mencerdaskan, mendamaikan, menyatukan, mencerahkan, dan menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Kuncinya berdialog agar tidak saling memaksakan alam pikirannya secara absolut dan membuka garis toleransi ketika satu sama lain berbeda.
Menurut Keskin & Tuncer (2018), dalam konteks radikalisme-ekstremis, misalnya, narasi keagamaan yang menyimpang yang berakar dalam teologi Islam tidak dapat diabaikan sebagai faktor yang berkontribusi dalam terjadinya sebuah tindakan kekerasan.
Menganalisis masalah dari sudut pandang teologis menjadi sebuah keharusan untuk memahami pola pikir yang ada di balik skenario ini. Namun hal ini sama sekali tidak membuat hubungan langsung antara Islam dan penyebab .
Sejumlah kajian menunjukkan munculnya Islamofobia tidaklah berada dalam kondisi yang vakum. Bagi pihak yang memang pada dasarnya sudah tidak suka kepada Islam, maka Islamofobia akan terus tereproduksi.
Bagi kaum Muslimin sendiri penting untuk saksama dan waspada. Hadapi pandangan negatif tentang Islam seperti Islamofobia dan isu radikalisme-ekstremis Islam dengan orientasi muwajahah (aksi konstruktif) baik dalam ranah pemikiran maupun praktik berislam.
Penting terus menyuarakan dan mempraktikkan keteladanan Islam yang berkeadaban mulia dan rahmatan lil ‘alamin sebagaimana misi kerisalahan Nabi akhir zaman. Umat Islam melalui para mubaligh, ulama, dan tokohnya penting makin bijak dan saksama dalam menarasikan pesan-pesan Islam agar tidak menjurus atau membawa muatan-muatan keagamaan yang radikal-ekstrem, yang membenarkan tudingan pihak lain dalam bias radikalisme Islam dan Islamofobia.
Solusi Hadapi Islamofobia
Menurut penulis, kunci utama menghadapi Islamofobia di bumi nusantara ini adalah persatuan dari seluruh umat Islam, apapun latar belakangnya. Tanpa persatuan, justru gelombang Islamofobia akan terus menguat dengan berbagai metode atau cara.
Selain itu, umat Islam wajib menahan diri dan tidak terprovokasi oleh sikap kelompok atau orang yang menyerang Islam.Seperti pernah disampaikan Pahlawan Nasional yang juga Mustasyar PBNU Almarhum KHR.As’ad Syamsul Arifin bahwa umat Islam jangan mudah dipercah belah oleh “serigala berbulu domba” atau provokator.wallahu ‘alam
*Pendiri World Islamic Issue