Oleh : Eko Budiono, SST.Par, M.Si.
Konflik Suriah yang telah berlangsung sejak 2011 atau sudah sembilan tahun tidak menunjukkan tanda akan berakhir. Tidak terhitung juga ratusan ribu korban jiwa akibat perang saudara di wilayah yang dahulu bernama Syam itu.
Meski ada pernyataan sederhana yang beredar: “Assad menang”. Namun rezim Assad bertahan hanya karena dukungan politik, ekonomi, dan militer dari Rusia, Iran, dan Hizbullah. Sekarang sepenuhnya tergantung pada mereka.
Dan Assad hanya menguasai sebagian dari Suriah. Kelompok oposisi, meski sangat bergantung pada perlindungan Turki, menguasai sebagian besar wilayah barat laut, dan mereka juga—untuk saat ini—mengendalikan wilayah di selatan sepanjang perbatasan Yordania. Kelompok-kelompok Kurdi telah mengambil sebagian besar wilayah utara dan timur Suriah setelah menekan balik yang disebut Negara Islam (IS) atau ISIS.
Bahkan di dalam wilayah-wilayah yang telah direbutnya, kekuasaan rezim pemerintah Assad lemah. Rezim harus berhadapan dengan banyak warga sipil yang tidak mendukung pemerintahannya, dan selalu ada kemungkinan pemberontakan. Di negara yang kehilangan 75% dari PDB, “rekonstruksi” adalah, untuk saat ini, mimpi di siang bolong. Pendukung Assad tidak mempunyai sumber daya selain untuk pemulihan paling dasar, dan pendukung-pendukung Asad sudah mulai mencari bagian mereka dari yang tersisa dari ekonomi Suriah.
Dengan militernya yang didukung Rusia dan Iran, polisi dan penjara rahasianya, dan saluran propagandanya, Assad tetap menjadi presiden. Tapi presiden sebuah negara yang telah kehilangan lebih dari 500.000 karena pembunuhan, setidaknya 11 juta orang mengungsi, dan lebih banyak lagi dengan hati dan pikiran yang terluka.
Di Suriah, negara yang kehilangan 75% dari Produk Domestik Bruto (PDB), “rekonstruksi” dan perdamaian untuk saat ini ibarat mimpi
Menurut akademisi Natasha Ezrow dari University of Essex,pendekatan Amerika Serikat ke Suriah membingungkan dan tidak menentu. Sepanjang kampanyenya dan memasuki tahun pertamanya di kantor kepresidenan, Donald Trump mengklaim bahwa dia “berkomitmen” untuk mengalahkan ISIS, yang masih memiliki kehadiran kecil di Suriah pada saat itu. Secara simultan, pemerintahannya berjanji untuk menarik diri dari Suriah, dan Trump mengkritik pendahulunya yang mengambil tindakan militer sebelumnya.
Sementara Trump memerintahkan serangan terbatas di Suriah pada April 2017 dan mengungkapkan bahwa total 2.000 tentara sebenarnya di lapangan, pemerintah secara keseluruhan tidak mempertahankan kehadiran yang kuat di Suriah. Kontradiksi ini terus berlanjut sejak itu: hanya beberapa minggu yang lalu, dilaporkan bahwa Pentagon memiliki rencana untuk menambah jumlah pasukan—tapi Trump segera secara terbuka menyatakan bahwa pasukan AS akan kembali pulang “segera”, membuat militer bingung.
Setelah serangan terbaru, yang diyakini merupakan serangan kimia terhadap warga sipil, oleh rezim Assad (meski Rusia menyalahkan oposisi atas serangan itu), Trump beraksi lagi dan menghukum Rusia secara terbuka. Trump pertama mengklaim bahwa AS akan mengirim lebih banyak rudal, mengejek Rusia dengan serangkaian cuitan, sebelum meratapi bahwa hubungan antara AS dan Rusia berada di titik terendah. Dan sekarang, serangkaian serangan rudal terbatas yang bekerja sama dengan sekutu AS telah menargetkan lokasi yang diduga menjadi tempat produksi dan penyimpanan senjata kimia.
Secara keseluruhan, tidak jelas ke arah mana AS akan mengambil langkah selanjutnya. Dan bahkan ketika militer tampaknya ingin memperluas perannya, preferensi Trump masih tidak dapat diprediksi.
Sebagaimana Rusia memandang Suriah adalah hal yang penting untuk dipahami. Di Dewan Keamanan PBB, Rusia secara konsisten memveto resolusi yang dapat mengulangi intervensi terhadap Libya pada 2011, ketika zona larangan terbang secara bebas ditafsirkan untuk membenarkan perubahan rezim.
Rusia melindungi Assad bukan karena hubungan ekonomi atau militer yang signifikan, tapi karena dua alasan spesifik lainnya. Pertama, bagi Rusia struktur pemerintahan Suriah yang kuat adalah benteng melawan alternatif Islamis radikal. Tapi pada tingkat lain, intervensi militer Rusia telah menjadikannya sebagai lawan bicara geopolitik yang tak terhindarkan bagi seluruh dunia.
Sejak September 2015, nasib Assad semakin terikat lebih dekat dengan perencanaan kebijakan Rusia, dan telah memaksa Barat untuk berbicara dengan Rusia sebagai “Kekuatan Besar”, yang dianggap sebagai pembentuk aturan politik internasional seperti AS.
Perlu diketahui, Negara Suriah modern didirikan setelah Perang Dunia I sebagai mandat Prancis. April 1946, Suriah merdeka sebagai sebuah negara republik parlementer. Pasca kemerdekaan itu, Suriah mengalami kekacauan yang sebagian besar disebabkan oleh upaya kudeta, pada periode 1949—1971. Hafez Al-Assad, kemudian disetujui sebagai Presiden Suriah, melalui referendum (1971—2000).
Setelah Hafez Al- Assad meninggal pada 2000, transisi pemimpin segera digantikan oleh putranya, Bashar Al-Assad, 17 Juli 2000 sampai sekarang. Rezim Assad didukung oleh Partai Ba’ath yang didirikan pada 7 April 1947 di Damaskus.
Total luas wilayah Suriah adalah 185.180 km2 persegi dengan mayoritas gurun. Letaknya yang strategis dengan limpahan potensi kekayaan alam menjadikan Suriah sebagai negara yang diperebutkan berbagai kekuatan politik regional dan global. Mayoritas suku di Suriah adalah Arab dengan persentase 90,3%, sisanya suku Kurdi, Armenia dan lain-lain dengan persentase 9,7% menurut The World Factbook CIA.
Dari seluruh penduduk Suriah, pemeluk Islam ada 87% (Sunni 74% dan Syiah 13%, yang menguasai pemerintahan rezim Assad) penganut Kristen sekitar 9%, dan pengikut Druze berjumlah 3-7%. Suriah adalah negara merdeka dengan perekonomian terpusat tanpa neoliberalisme dan dominasi ekonomi Barat, menjadikannya sebagai negara mandiri yang patut dicontoh.
Perang Suriah adalah salah satu fenomena Arab Spring yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Mengutip dari Jurnal berjudul The Roots and Causes of the 2011 Arab Uprisings, Arab Spring merupakan gelombang revolusi berupa aksi demonstrasi dan protes yang dilakukan oleh rakyat sipil. Aksi demonstrasi ini pertama kali dilakukan oleh warga negara asal Tunisia bernama Mohammed Bouazizi.
Bouazizi adalah seseorang yang melakukan aksi bakar diri sebagai tindakan bentuk protes kepada pejabat Tunisia. Aksi Bouazizi ini beredar di media dan membangkitkan amarah rakyat Tunisia atas kematian Bouazizi, sehingga masyarakat Tunisia akhirnya melakukan protes. Aksi Bouazizi ini merupakan titik awal kemunculan Arab Spring di Tunisia dan menyebar di kawasan Timur Tengah lainnya.
Setiap konflik memiliki akar yang berbeda-beda seperti yang terjadi di beberapa konflik di Timur Tengah. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan fenomena Arab Spring yang menjadi penyebab perang Suriah, antara lain;
- Karena Timur Tengah memiliki kultur budaya yang sama yaitu bangsa Arab.
- Negara-negara Timur Tengah meskipun telah menjadi negara yang merdeka, namun sebenarnya masih belum seutuhnya merdeka. Kebebasan masyarakat dibatasi dengan sistem pemerintahan yang otoriter dan penguasa diktator.
- Beberapa negara di Timur Tengah masih mengalami kemiskinan dan masalah pengganguran yang tinggi terlepas dari kondisi wilayahnya yang merupakan ladang minyak bumi.
- Pemberlakuan undangundang darurat oleh pemerintah yang berkuasa. Ini memberikan keleluasaan kepada aparat pemerintah untuk menangkap dan menahan warga sipil tanpa proses peradilan terhadap segala tindakan yang dapat mengancam keamanan nasional.
Fenomena Arab Spring yang terjadi di Suriah merupakan dorongan rakyat yang terinspirasi dari negara-negara seperti Mesir dan Tunisia. Fenomena ini kemudian terjadi di Suriah dan menjadi konflik internal Suriah.
Mengutip dari thesyrianinstitute.org, permasalahan yang terjadi dalam konflik Suriah antara lain revolusi, proxy war, civil war, state collapse, international armed conflict, terrorist insurgency, dan humanitarian crisis.
Penyebab perang Suriah berawal dari keinginan warganya untuk membentuk negara yang lebih demokratis. Warga Suriah menginginkan perubahan sistem pemerintahan, terutama pada kekuasaan rezim Assad yang telah menjabat sejak 1962. Selama masa Hafez Al Assad berkuasa, rezim yang totaliter diberlakukan. Presiden Hafez menggunakan tindakan kekerasan untuk menghilangkan segala bentuk ancaman yang dapat mengancam posisinya dalam pemerintahan Suriah.
Pada masa ini juga hak untuk berpendapat bagi masyarakat sangat dibatasi oleh pemerintah atau disebut Emergency Law. Kemudian pada 2000 Hafez Al Assad turun dari jabatannya sebagai Presiden. Berakhirnya kepemimpinan Hafez bukan berarti berakhirnya kepemimpinan rezim Assad. Pada 10 Juli 2000, Bhasar Al Assad, putra dari Hafez Al Assad memenangkan sekitar 97% suara dalam pemilu dan menetapkan Bhasar Al Assad sebagai presiden Suriah menggantikan posisi Hafez Al Assad.
Peristiwa Arab Spring serta kejatuhan para pemimpin negara Timur Tengah mulai terdengar hingga sampai ke rakyat Suriah. Semangat revolusi yang diperlihatkan para aktivis dan demonstran di Tunisia dan Mesir yang tersebar melalui media sosial belum mampu menurunkan kekuatan yang dimiliki rezim al-Asad karena pihak keamanan menekan para aktivis tersebut agar tidak melakukan demonstrasi.
Awal konflik di Suriah ini terjadi ketika terdapat sebuah protes terhadap penangkapan 15 pelajar di kota kecil Daraa yang melakukan aksi menulis slogan anti-pemerintah. 15 pelajar tersebut lalu ditangkap dan dipenjara. Akibatnya, terjadilah aksi protes yang menuntut pembebasan anak-anak tersebut.
Namun, reaksi tentara terhadap protes tersebut tidak manusiawi, mereka menembaki para pendemo dan mengakibatkan 4 orang korban meninggal. Akibat respon kekerasan tersebut, akhirnya aksi protes berlanjut dan kemudian menyebar ke kota-kota lain di Suriah.
Suriah juga menjadi bagian tridak terpisahkan dari buku yang Bassam bin Khalil Ash Shafadi dalam bukunya “Tanda-tanda Kiamat di Negeri Syam”. Pendapat Bassam merujuk pada hadits Rasulullah SAW dari Muawiyah bin Abdullah yang artinya :
“Apabila penduduk Syam telah rusak maka tidak ada lagi kebaikan di tengah-tengah kalian. Sekelompok dari umatku akan senantiasa mendapat pertolongan. Tidaklah membahayakan mereka orang yang mengabaikan mereka hingga kiamat terjadi.”
Atas karunia inilah, kata Bassam, pantaslah penduduk negeri Syam bersyukur, dengan tetap menjaga kualitas iman dan takwa demi Allah SWT tetap menempatkan Syam menjadi negara tempat tinggal.
“Selamat untuk kalian, penduduk Syam atas karunia yang Allah SWT berikan karena kalian adalah neraca adil sebagai pengukur umat Islam, kalian adalah benteng kokoh umat Islam, dan kalep rasa aman yang menangkal menyingkap umat,” katanya.
Ulama fiqih dari Mazhab Syafi’I, Muhammad bin Abdullah Hadi At-Tahtawi Nuruddin as-Sanadi berkata, “Sabda Nabi SAW, “Apbila penduduk Syam telah rusak maksudnya menyimpang dari ketaatan terhadap Iman. Sabda beliau maka tidak ada lagi kebaikan di tengah-tengah kalian,” Khitab dalam hadits ini ditujukan pada manusia pada masa itu ketika terjadinya banyak fitnah di tengah-tengah mereka. Ini mengisyaratkan era kekuasaan muawiyah. Kemungkinan-kemungkinan yang dimaksud adalah rusaknya penduduk Syam disebabkan karena banyak kemaksiatan, kesewenang-wenangan, dan meninggalkan jihad, karena sabda beliau, “Maka tidak ada lagi kebaikan di tengah-tengah kalian” ditujukan kepada umat manusia secara keseluruhan bukan hanya untuk orang-orang Pada masa itu saja di mana sebagian diantara mereka hadir ketika Nabi menyampaikan sabda ini.
Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua karena lafal hadits ini bersifat umum dan nabi tidak mengkhususkan yang untuk waktu tertentu ataupun untuk orang-orang tertentu sehingga hadits ini lebih utama diartikan secara umum.
Sementara ahli fiqih lain Alqari berkata sabda beliau, “Apabila penduduk Syam telah rusak maka tidak lagi kebaikan di tengah-tengah kalian” maksudnya untuk tinggal di sana dan pindah ke sana.
Sedangkan Krisis politik yang terjadi di Suriah dewasa ini nampaknya sudah mencapai anti klimaks, terutama dengan semakin meningkatnya kontak senjata antara pemerintah Basyar Asad dengan kubu pemberontak di beberapa kota. Sejak meletusnya revolusi puluhan ribu orang tewas serta ribuan lainnya harus mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Turki, Yordania dan Lebanon. Sampai saat ini baik PBB, OKI maupun Liga Arab belum mengambil sikap tegas terkait kekejaman rezim al-Asad bahkan terkesan terombang ambing oleh kebijakan Uni Soviet dan Amerika Serikat (AS) yang selama ini dinilai sarat kepentingan baik politik maupun ekonomi.
Seperti dilansir dari lipi,, sama halnya dengan negara-negara Timur Tengah lainnya, Suriah merupakan negara yang juga terimbas badai revolusi. Sudah setahun revolusi yang dimotori para aktivis pro-perubahan tersebut berlalu. Namun, situasi politik di Suriah belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Bahkan Basyar Asad bersikeras akan tetap mempertahankan kekuasaannya walaupun harus menggunakan jalur kekerasan. Sikap otoriter rezim Basyar Asad tersebut akhirnya memunculkan gelombang demonstrasi yang menuntut Presiden Basyar Asad mundur dari jabatannya. Para demonstran tersebut menuntut Presiden Basyar Asad untuk melakukan langkah-langkah terkait reformasi politik dan pelaksanaan Pemilu dalam waktu dekat. Tuntutan para demonstran tersebut dijawab pemerintah dengan merombak struktur parlemen dan pemerintahan, namun rakyat tetap menolak karena mereka menganggap struktur pemerintahan masih dijabat orang-orang lama yang tidak lain adalah sekutu dekat Asad. Suhu politik di Suriah pun semakin memanas setelah pemerintah melakukan operasi militer di beberapa kota termasuk di wilayah Khalidiyah provinsi Homs yang telah menewaskan ribuan orang. Kekejaman yang dilakukan pemerintah pemerintah Suriah tersebut mendorong PBB melalui dewan keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi terhadap Suriah. Namun, resolusi tersebut gagal setelah Cina dan Rusia menolaknya. Sementara itu, negara-negara Barat seperti AS, Perancis dan Inggris menyatakan bahwa pemerintah Suriah tidak lagi sah dan menuntut Presiden Asad melepaskan jabatannya. Reaksi internasional tersebut ditanggapi oleh pihak oposisi di Suriah dengan membentuk Dewan Nasional Suriah sebagai wadah pemersatu bagi gerakan oposisi Suriah termasuk gerakan oposisi terbesar Ikhwanul Muslimin. Guna menandingi kekuatan militer rezim Al-Asad dan melindungi para demonstran, Riyadh Al-Asad yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin angkatan udara Suriah membentuk Tentara Pembebasan (Al-Jays Al-Hurr) Pembentukan Tentara Pembebasan tersebut jelas semakin memperuncing konflik antara pendukung rezim Al-Asad dengan kubu oposisi.
Dewan Nasional Suriah yang sejak semula bertujuan untuk menggalang aspirasi kelompok oposisi belum sepenuhnya berfungsi malah semakin menemui banyak rintangan baik dalam tataran nasional, regional maupun internasional. Di dalam negeri pemerintah Basyar Asad yang didukung Rusia dan Cina terus melakukan penyerangan terhadap kelompok oposisi di beberapa daerah. Rusia dan Cina merupakan dua negara yang mempunyai kepentingan di Suria. Kota Latakia dan Tartus merupakan basis armada laut Rusia. Karenanya, baik Rusia mapun Cina tidak menginginkan jika hegemoni AS dengan demokrasi Liberalnya masuk ke Suriah yang dapat mengganggu kepentingan Rusia. Sementara itu Israel yang merupakan sekutu dekat AS sangat diuntungkan dengan berlarutnya konflik yang terjadi di Suriah.
Sementara itu, sebanyak 14.423 orang didokumentasikan telah disiksa sampai mati sejak dimulainya perang saudara Suriah pada tahun 2011, sebuah kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Inggris telah mengungkapkan. Lebih dari 98 persen korban terbunuh oleh rezim Presiden Bashar Al-Assad.
Menurut Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia, semua pihak utama dalam konflik Suriah bersalah atas penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Namun, rezim Assad sejauh ini adalah pelakunya yang terburuk, menewaskan setidaknya 14.249 orang melalui penggunaan penyiksaan yang luas.
Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi bertanggung jawab atas 52 kematian akibat penyiksaan, sementara oposisi resmi atau Tentara Nasional Suriah (SNA) bertanggung jawab atas 43 kematian; kelompok teroris Daesh bertanggung jawab atas pembunuhan 32 orang dengan penyiksaan, dan kelompok-kelompok oposisi Islam seperti Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) bertanggung jawab atas 26 orang yang terbunuh dengan cara ini. 21 orang yang tersisa dibunuh oleh pihak lain.
Termasuk dalam jumlah ini adalah 64 wanita dan 179 anak-anak, hampir semuanya disiksa dan dibunuh oleh dinas keamanan rezim Assad.
“Rezim Suriah menerapkan penyiksaan untuk membalas dendam pada oposisi,” kata organisasi itu dalam sebuah laporan bulan lalu. Mereka mencatat 72 metode penyiksaan fisik, psikologis dan seksual yang digunakan oleh rezim terhadap mereka yang ditahan.
Mereka yang ditahan oleh rezim menderita kondisi sanitasi yang buruk, dengan sebagian besar kompleks penjara menampung 50 orang di sel-sel yang, rata-rata, hanya 24 meter persegi ruang lantai.
Maraknya pemberitaan tidak berimbang dan kabar hoax terkait konflik di Suriah membuat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Damaskus, Suriah memberikan sejumlah verifikasi atas pemberitaan yang tidak berimbang terkait Suriah. Mereka meminta masyarakat Indonesia untuk tidak mudah terprovokasi oleh berita yang tidak jelas sumbernya terkait konflik di negara tersebut. Menurut Susilo Priyadi sebagai ketua PPI Damaskus Suriah konflik di Suriah bukanlah konflik sektarian. Melainkan konflik yang berkaitan erat dengan berbagai kepentingan politik regional dan global. Suriah, merupakan negara sekuler-sosialis, multi-etnis, sekaligus multi-agama & sekte. Di negara tersebut terdapat etnis yang berasal dari, antara lain, Arab, Kurdi, Armenia, dan Turkman. Sementara itu, para penduduknya merupakan penganut Sunni, Syi’ah, Kristen Katolik, Ortodox Timur, Ortodox Syria, Protestan, dan Druze. Terdapat pula penduduk yang atheis di negara tersebut. Oleh karenanya, Tentara Nasional Suriah merupakan tentara yang terdiri dari berbagai suku dan agama. “Kehidupan beragama di Suriah cukup moderat dan sangat toleran,” kata pernyataan dari PPI tersebut. Sebelum konflik yang terjadi pada tahun 2011, Suriah termasuk dalam 5 besar kategori negara-negara dengan tingkat kriminalitas terendah. Kebutuhan pokok masyarakat seperti listrik, air dan roti disubsidi oleh pemerintah. Selain kebutuhan pokok, pendidikan dan pelayanan kesehatan di rumah sakit negeri pun juga mendapatkan subsidi penuh dari pemerintah. Terkait Aleppo, PPI Suriah mengatakan, secara geografis, letak provinsi tersebut sangat strategis dan merupakan kota terbesar kedua setelah ibukota Damaskus yang terkena imbas konflik paling parah. Hal ini membuatnya diperebutkan oleh kelompok-kelompok yang terlibat konflik. Mereka juga menghimbau agar pemerintah RI mewaspadai WNI yang pernah terlibat konflik Suriah dan melakukan kordinasi dengan Perkumpulan Alumni Syam Indonesia (AL-SYAMI) sebagai wadah resmi alumni PPI Suriah di tanah air.
Di sisi lain, seperti dilansir Republika, jika ditelusuri jejak masa lalu, Suriah menjadi negara penting dalam perkembangan Islam. Suriah merupakan negeri pertama yang dibuka kaum Muslimin. Juga, menjadi negeri pertama yang menerima Islam di luar Haramain Saudi. Selain itu, Suriah menjadi pusat pemerintahan Islam setelah Madinah. Suriah dikenal pula sebagai sang juru damai.
Pembukaan Islam di Suriah terjadi di sekitar 630-an Masehi. Namun sebenarnya, Rasulullah sudah beberapa kali berkunjung ke Suriah, bahkan sebelum diangkat Allah sebagai seorang Rasul.
Suriah merupakan negeri perdagangan yang acap kali dikunjungi para pedagang Arab, termasuk Rasulullah. Syam atau Bilad As-Syam, demikian nama negeri yang ramai menjadi perdagangan Arab tersebut. Suriah merupakan satu bagian dari Negeri Syam, selain Lebanon, Palestina, dan Yordania.
Nama Syam sendiri disebut-sebut mengacu pada salah satu nama putra Nuh yang selamat dari musibah banjir, Sam. Banyak nabi lahir di negeri ini. Dari Syam pula lahir bangsa Semit yang melahirkan agama Ibrahimiyyah, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam. Tak seperti negeri Arab lain yang dikelilingi gurun pasir, tanah Syam jauh lebih subur dan banyak meninggalkan peradaban manusia.
Akhirnya, kunci utama agar konflik Suriah bisa segera berakhir adalah kemauna politik dari para actor utama di luar Suriha yakni Amerika Serikat dan sekutunya serta Rusia.
Jika dua negara adikuasa itu mau untuk berdamai, tentu harapan perdamaian di bumi Surih-tanah yang diberkahi-akan tercapai. Insha Allah.
*( Eko Budiono adalah salah satu Pengamat Kebijakan Publik dan Dunia Islam di Indonesia, ia juga salah satu Founder World Islamic Issues)