Dirangkai Oleh : Eko Budiono *
Lebanon- kawasan wisata di timur tengah di era 70 an, memiliki kekayaan budaya.
Negara ini ternyata menyimpan banyak cerita menarik untuk dibagikan, bukan hanya mengenai keindahan alamnya, tapi juga sejarah dan budayanya.
Namun, saat ini
Lebanon secara resmi memiliki pemerintahan baru sejak 11/9/2021. Kabinet 24 menteri pimpinan Najib Mikati
Karenanya, agaknya tidak berlebihan jika diplomat top Amerika Serikat, John C. Whitehead membuat judul “Lebanon as Paradise Lost” untuk artikel terbarunya yang dimuat di situs resmi Brookings Institution pekan ini.
Dalam artikelnya, dia mengangkat guyonan lawas yang menyebut bahwa Tuhan menganugerahkan Lebanon dengan gunung-gunung yang indah, pantai yang menakjubkan, sumber daya air tawar, tanah yang subur dan dataran penuh dengan buah-buahan serta orang-orang yang kreatif dan menarik. Anugerah tersebut bak surga duniawi. Namun kemudian Tuhan menyadari bahwa surga harusnya dicadangkan untuk di akhirat. Karena itulah Tuhan menciptakan tetangga Lebanon yang tidak bersahabat.
Meski begitu, “surga yang hilang” itu agaknya masih tersisa di Lebanon hingga saat ini.
Perancisnya Timur Tengah
Seperti dilansir RMOL, meski terletak di kawasan Timur Tengah, Lebanon tidak sama dengan negara-negara Arab lainnya di kawasan tersebut. Negara ini menjunjung tinggi kebebasan. Di negara ini, kebebasan pers, kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi hingga kebebasan beragama sangat dijaga, layaknya negara-negara di kawasan Eropa.
Bukan hanya soal kebebasan, jika menengok kembali ke pertengahan tahun 1970an, sebelum pecahnya perang saudara, kota Beirut bahkan pernah mendapat julukan “Parisnya Timur Tengah”. Bukan tanpa alasan, melansir City Journal, Beirut pada masa itu masih menjaga dengan baik sejumlah arsitektur peninggalan mandat Prancis. Gaya berbusana penduduknya juga pada umumnya modis dan mengikuti tren pada masanya.
Sayangnya, hal tersebut dirusak dengan perang saudara yang terjadi sejak tahun 1975.
Bukan hanya itu, negara ini juga memiliki kedekatan yang intim dengan Prancis, melansir media Inggris Express, kedua negara menikmati hubungan yang baik karena ada pengaruh Prancis di Lebanon yang tertanam setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama.
Pada akhir perang, Lebanon diduduki oleh pasukan Sekutu dan ditempatkan di bawah pemerintahan militer Prancis. Kemudian pada tahun 1920, Liga Bangsa-Bangsa atau League of Nations secara resmi memberikan mandat untuk Lebanon dan Suriah kepada Prancis.
Saat Prancis memegang mandat tersebut, Lebanon menjadi negara yang “hidup” dalam hal pergerakan ekonomi dan perdagangan. Dampaknya, kualitas hidup warga Lebanon pada saat itu meningkat secara signifikan.
Tapi kemudian pada tahun 1943, Prancis sepakat untuk mengalihkan kekuasaan kepada pemerintah Lebanon. Dengan kata lain, Prancis memberikan Lebanon kemerdekaan untuk memerintah sendiri.
Meski begitu, Prancis tidak lantas meninggalkan Lebanon begitu saja. Perancis kerap kali menjadi negara yang maju paling pertama untuk mengulurkan tangan pada Lebanon di masa sulit.
Selama Perang Saudara Lebanon, Prancis memberikan bantuan militer kepada negara tersebut dan memberikan suara secara konsisten untuk resolusi PBB yang akan menguntungkan negara tersebut.
Setelah perang saudara, Prancis terus mendukung Lebanon dan melakukan investasi langsung di negara itu.
Terlepas dari beberapa bagian kelam di masa lalu, Lebanon berhasil bangkit menjadi negara yang modern yang konsisten memegang teguh kebebasan. Ideologi kebebasan ini agaknya tidak bisa dilepaskan dari warisan Prancis.
Karena itu, bukan hal yang aneh jika media-media di Lebanon kerap memuat berita yang mengkritik keras pemerintah. Selain itu, tidak jarang juga karikatur mengkritik tokoh atau pemerintah dimuat di media.
Peliputan televisi pun tidak dibatasi. Televisi bebas menyiarkan secara langsung unjuk rasa atau pembahasan mengkritik kinerja pemerintah.
Bukan hanya dari sisi pers, masyarakat Lebanon juga diberi kebebasan untuk berekspresi dan berbicara.
Prinsip-prinsip kebebasan yang dianut Lebanon kerap dituangkan dalam kitab atau buku-buku yang banyak dicetak di negara tersebut.
Atas dasar itulah, tidak berlebihan jika Lebanon juga disebut sebagai kota buku bagi dunia.
Menuju Kebangkitan
Lebanon secara resmi memiliki pemerintahan baru pada 11 September 2021. Kabinet 24 menteri pimpinan Perdana Menteri Najib Mikati itu dipastikan bakal melewatkan bulan madu politik, dan sebaliknya bergegas menangkal keruntuhan ekonomi yang kian dekat.
Selama 13 bulan masa kebuntuan, mata uang Pound Lebanon merosot sebanyak 90 persen dibandingkan Dolar Amerika Serikat. Sementara angka inflasi yang meroket memaksa warga menyimpan uang, yang semakin mempersulit pemulihan.
Saat ini pemerintah tidak lagi mampu membiayai berbagai aneka subsidi terhadap bahan pokok dan energi. Akibatnya harga bahan bakar dan obat-obatan meroket, ketika pasokan listrik dibatasi dua jam per hari.
Namun, analis menebar keraguan terhadap kabinet baru Lebanon. Analis politik, Sami Nader, misalnya menilai situasi tidak akan berubah, selama dinamika politik seputar negosiasi susunan kabinet masih mendominasi.
“Kelanjutan politik bagi-bagi kekuasaan dan percekcokan seputar langkah-langkah reformasi,” tidak mengurangi rintangan yang dihadapi pemerintahan selanjutnya. “Pemerintahan ini pun digodok oleh orang-orang yang sama,” kata dia.
Rekor historis keterpurukan ekonomi
Bank Dunia menyebut situasi di Lebanon sebagai salah satu krisis ekonomi paling parah di dunia sejak dekade 1850an. Keruntuhan ekonomi separah itu biasanya merupakan dampak perang, tulis Bank Dunia pada 31 Mei lalu.
Tapi di Lebanon, krisis dipicu oleh pengeluaran negara yang eksesif dan menjerat Lebanon dalam tumpukan utang, serta praktik perbankan yang tidak berkesinambungan.
“Prioritas utama pemerintah adalah untuk mencegah negara kolaps,” kata Maha Yayha, direktur lembaga penelitian, Carnegie Middle East Center. Subsidi harus direvisi ulang, dan jaring sosial hanya diberikan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Untuk itu, kabinet baru Lebanon didesak untuk melancarkan putaran baru perundingan dengan Dana Moneter Internasional, demi membuka keran bantuan senilai miliaran dolar AS. Sejauh ini negosiasi antara kedua pihak terbentur klausul soal siapa yang akan menanggung risiko kerugian.
Lebanon berada dalam situasi pelik sudah sejak sebelum menyatakan diri tak sanggup membayar utang pada Maret 2020 silam. Negara-negara donor dan IMF menyaratkan reformasi menyeluruh, dan audit ketat terhadap bank sentral sebelum dana bantuan dikucurkan.
Tahun lalu, pemerintah Lebanon mengumumkan serangkaian kebiijakan sentral, antara lain reformasi di sektor listrik, restrukturisasi perbankan dan mencabut ikatan dengan mata uang dolar AS, yang sejak 1997 mengatrol nilai tukar Pound Lebanon.
Namun sejauh ini, rencana itu baru berupa janji politik.
Status quo bagi raja-raja kecil
Khususnya sektor perbankan sejauh ini pelit berbagi data audit dengan alasan menjaga kerahasiaan nasabah. Namun menurut ekonom Lebanon, Mike Azar, reformasi di sektor perbankan dan restrukturisasi layanan publik bersifat krusial untuk memadu sepakat dengan IMF.
“Tidak ada yang bisa Anda tawarkan selain dua restrukturisasi besar ini,” kata dia kepada AFP.
Meski demikian, kelompok elit yang mendominasi Lebanon sejak Perang Saudara 1975-1990, diyakini berkepentingan merawat sistem perekonomian yang ada saat ini. “Merestrukturisasi perusahaan negara akan berdampak besar pada partai-partai politik, karena sudah menjadi sumber keuangan mereka,” kata dia.
“Bagaimana mungkin mereka akan bersedia menerima reformasi?” imbuhnya.
Sejak ledakan di pelabuhan Beirut pada 2020 yang memaksakan lengsernya pemerintahan Perdana Menteri Hassan Diab, lebih dari setahun lalu, Lebanon diperintah oleh kabinet transisi dengan Diab sebagai pelaksana tugas kepala pemerintahan.
Saat mengumumkan bubarnya kabinet transisi, Agustus silam, dia menyebut masalah terbesar Lebanon adalah “sistem korupsi” yang tidak hanya “mengakar kuat di semua lembaga negara” tetapi juga menjadi “lebih besar ketimbang negara,” dan sedemikian kuat sehingga negara “tidak lagi mampu melawannya,” kata dia seperti dilansir New York Times.
Strategi Hizbullah Tarik Dukungan
Sementara itu, Hizbullah-kelompok militer dan politik-mulai memasok bahan bakar dari Iran ke Libanon melalui Suriah pada hari Kamis, 16 September 2021, di tengah ancaman sanksi Amerika Serikat.
Hizbullah, kelompok Muslim Syiah yang dekat dengan Iran, menyatakan pasokan itu akan meredakan krisis energi yang saat ini terjadi di Lebanon.
Belasan truk yang membawa bahan bakar minyak Iran memasuki timur laut Lebanon dekat desa al-Ain, di mana bendera kuning Hizbullah berkibar di tiang lampu.
Beberapa orang mengibarkan bendera Hizbullah, sementara seorang wanita dan anak laki-laki melemparkan kelopak bunga ke salah satu kendaraan.
Hizbullah mengatakan kapal yang membawa bahan bakar itu berlabuh di Suriah pada hari Minggu karena pendaratan di Libanon berisiko mendapat sanksi AS.
Washington menegaskan bahwa sanksi AS terhadap penjualan minyak Iran masih berlaku. Tetapi tidak disebutkan apakah mereka akan menindak Hizbullah, yang mereka sebut sebagai kelompok teroris.
Pemerintah Lebanon tampaknya tutup mata dengan menyatakan, tidak ada permintaan izin untuk mengimpor bahan bakar. Sebuah sumber keamanan mengatakan truk-truk tangki itu melewati perbatasan tidak resmi.
Hizbullah mengatakan akan menyumbangkan bahan bakar minyak ke institusi yang membutuhkan termasuk rumah sakit pemerintah dan panti asuhan, serta menjualnya dengan “harga yang pantas” kepada orang lain termasuk rumah sakit swasta, fasilitas penyimpanan medis dan pabrik tepung.
Krisis energi Libanon akibat dari krisis keuangan sejak 2019, merontokkan mata uang sekitar 90 persen dan menyebabkan dari tiga perempat penduduk jatuh dalam kemiskinan.
Pasokan bahan bakar nyaris terhenti karena Libanon tidak memiliki mata uang yang cukup untuk menutupi impor bahkan yang vital, memaksa layanan penting termasuk beberapa rumah sakit untuk mengurangi layanan dan memicu banyak insiden keamanan.
Seperti dilansir reuters, Hizbullah menyatakan telah mematahkan “pengepungan Amerika”.
Sistem keuangan Libanon hancur akibat pemborosan dan korupsi selama beberapa dasa warsa.
Di sisi lain, warga Lebanon masih berdemonstrasi menuntut reformasi. Sementara negara-negara donor internasional hanya akan mengucurkan duit pinjaman jika pemerintah mau menjalankan restrukturisasi ekonomi.
Semua itu terjadi ketika wabah corona kembali mencuatkan angka penularan.
Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, menepis tuduhan pihaknya mengontrol pemerintah Lebanon atau memiliki cukup kursi di parlemen untuk bertindak sesuka hati. Tapi ucapannya itu tidak mampu menghentikan tren muram yang dihadapi Hizbullah, kata seorang sumber yang dekat dengan partai-partai Kristen yang beraliansi dengan kelompok Syiah tersebut.
“Dengan mendapat mayoritas di parlemen dan seorang presiden di sisi mereka, mereka berpikir sudah mengontrol negara ini. Tapi apa yang terjadi sekarang adalah, Hizbullah dan sekutunya memang mendapat kekuasaan, tapi mereka kehilangan seluruh negeri dan penduduknya.”
Hizbullah belakangan dihujani kritik lantaran gagal memenuhi janji reformasi sejak memenangkan pemilu legislatif pada 2018 silam. Oleh Badan Moneter Internasional, bantuan keuangan yang bisa menyelamatkan Lebanon keluar dari resesi, dikaitkan dengan restrukturisasi ekonomi dan politik.
Namun upaya pemerintah mencairkan dana IMF menemui jalan buntu lantaran sikap blokade Hizbullah.
“Ada terlalu banyak masalah di tubuh pemerintah, di luar ledakan di pelabuhan,” kata Magnus Ranstorp, seorang pengamat Hizbullah. “Negeri ini sedang ambruk.”
Kegagalan Hizbullah
Fawaz Gerges, peneliti Timur Tengah di London School of Economis, menambahkan krisis teranyar “merupakan salah satu tantangan paling fundamental yang dihadapi Lebanon sejak merdeka dari Perancis pada 1943. Saat ini Lebanon dan Hizbullah sedang menghadapi beberapa krisis sekaligus.”
“Saya khawatir, putusan pengadilan (dalam kasus Hariri) akan menjadi pemantik. Negara yang sudah terpecah ini akan menjadi semakin terpolarisasi di sepanjang batas sektarian, bukan lagi garis politik atau ideologi.”
Amarah penduduk Lebanon pasca ledakan mematikan di pelabuhan Beirut ikut mengarah kepada Hizbullah yang dianggap melindungi elit politik. Seusai ledakan, pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, berpidato menolak tanggungjawab dan mengancam demonstran yang berniat makar.
Mohanad Hage Ali, peneliti di Carnegie Middle East Center, mengatakan Hizbullah sudah “gagal total” memenuhi janji politiknya untuk memerangi korupsi. “Mereka sama sekali tidak melakukan apapun. Sekarang kampanye antikorupsi yang mereka buat dijadikan untuk bahan olok-olokan.”
“Seperti juga yang menimpa elit politik lain, Hizbullah dalam sejarahnya belum pernah berada dalam posisi selemah sekarang,” imbuhnya.
Di sisi lain, ledakan di pelabuham Beirut pada 2020 yang menewaskan lebih dari 220 orang dan membuat 300.000 penduduk kehilangan rumah ikut menambah tekanan politik terhadap kelompok binaan Iran itu.
Hizbullah diyakini ikut bertanggungjawab menyeret Lebanon ke jurang krisis, menurut Fawaz Gerges dari London School of Economics.
“Apa yang tidak dipahami Hizbullah dari ledakan, amarah penduduk dan aksi protes adalah bahwa masyarakat sekarang melihat organisasi ini sebagai manifestasi terbaru dari elit korup dan bahwa Hizbullah bertanggungjawab melindungi kaum elit ini,” kata Gerges.
“Mereka sudah kehilangan opini publik di Lebanon,” kata dia.
Prioritas Hassan Nasrallah
Situasi bertambah runyam ketika Nasrallah berbicara di depan televisi setelah ledakan di Beirut. Dalam pernyataannya itu dia menolak Hizbullah bertanggungjawab dan memperingatkan demonstran, setiap bentuk serangan terhadap negara dan para pemimpinnya akan ditindak dengan tegas.
“Anda bisa berharap dia akan menghadap publik dan berusaha meyakinkan akan melakukan segala upaya buat mencari tahu apa yang terjadi, bahwa ‘kami bersama rakyat’,” kata Gerges.
Namun prioritas utama Nasrallah diyakini adalah merawat status quo di Beirut. Tugas itu kian sulit usai pengadilan mengaitkan Hizbullah dengan pembunuhan Rafiq Hariri.
“Semakin banyak negara yang akan melihat Hizbullah sebagai organisasi teror paramiliter,” kata Fawaz Gerges.
Adapun pengamat Hizbullah, Magnus Ranstorp, meyakini upaya Amerika Serikat meredam pengaruh Iran di Irak, Surah dan Lebanon akan ikut memojokkan Hizbullah. Saat ini satuan-satuan yang bernaung di bawah Nasrallah di Suriah berulangkali dibombardir jet tempur Israel. Sementara milisi-milisi sekutu Hizbullah di Irak sedang tertekan oleh perubahan politik.
Solusi untuk Lebanon
Menurut penulis, keberhasilan Lebanon agar terbebas dari krisis ekonomi dan politik adalah dukungan rakyat dan parlemen terhadap pemerintahan Najib Mikati.
Saat ini rakyat Lebanon dalam kondisi yang sulit dan kehilangan kepercayaan terhadap parlemen dan pemerintah.
Selain itu, tiga negara yakni Amerika Serikat, Iran, dan Suriah serta kelompol Hizbullah harus mulai mengurangi campur tangan terhadap urusan dalam negeri Lebanon. Jika tiga negara masih aktif melakukan campur tangan, dipastikan derita warga Lebanon yang pernah dijuluki Surga di Timur Tengah akan makin berat.
Sedangkan Hizbullah dengan kemampuan militernya juga harus menghormati pemerintahan Lebanon agar terwujud stabilitas politik.
*Pendiri World Islamic Issues