Pemilu pertama di Palestina sejak 15 tahun akhirnya dibatalkan oleh Fatah-kelompok Palestina- di Ramallah, menyusul sikap Israel menolak pencoblosan di Yerusalem Timur.
Seperti dilansir laman deutche welle, penundaan pemilu diputuskan demi mencegah kemenangan Hamas- kelompok perlawanan penjajahan Israel- yang menguasai Jalur Gaza.
Pemilihan legislatif yang sedianya digelar pada 22 Mei 2021 diundur. Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza kini menyatakan menolak penundaan pemilu, dan mendesak Israel agar mengizinkan pencoblosan suara di Yerusalem Timur.
Hingga saat ini otoritas Israel belum memenuhi permintaan Palestina untuk menggelar pemilu di wilayah timur Yerusalem yang dihuni warga Arab. Status kota itu menjadi titik api antara kedua negara, di mana Israel mengklaim Yerussalem sebagai ibu kota. Sementara Palestina menetapkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara.
Wasel Abu Youssef, penasehat Abbas dan anggota Komite Eksekutif PLO, mengatakan kepada Reuters, pihaknya mempertimbangkan penundaan pemilu. “Setiap bentuk rintangan atau gangguan pada penyelenggaraan pemilu membenarkan penundaan,” kata dia seperti dilansir afp.
Pembagian kawasan pemukiman Arab-Palestina dan Yahudi-Israel di Yerusalem Timur.
Namun demikian, pemantau asing meyakini isu Yerussalem sebagai alasan penundaan hanya merupakan dalih, karena minimnya peluang bagi Fatah memenangkan pemilu usai terbelah menjadi dua faksi. Dalam jajak pendapat terakhir, dua pertiga responden menyatakan tidak puas atas kinerja Presiden Abbas.
Pemilu di Palestina diharapkan bisa mendorong rekonsiliasi antara kedua organisasi paling berpengaruh itu. Pemulihan hubungan antara Hamas dan Fatah diyakini bakal membuka jalan bagi perundingan baru dengan Israel terkait solusi dua negara. Hamas sendiri dikategorikan sebagai organisasi teror oleh AS, Israel dan Uni Eropa, sebabnya tidak bisa dijadikan mitra negosiasi.
Mencegah kemenangan Hamas?
Seperti dilansir reuters, saat ini nasib Fatah di ujung tanduk menyusul perpecahan internal yang dipicu oleh pemilu. Sejumlah tokoh Fatah secara sepihak mengumumkan daftar kandidatnya sendiri yang berbeda dengan daftar resmi partai.
Perpecahan itu kini mengancam kekuasaan Fatah di Tepi Barat Yordan. Ironisnya kisruh internal pula yang ikut menyebabkan kekalahan Fatah dalam pemilu sebelumnya.
Hamas akan memenangkan pemilu?
Hamas sebaliknya menolak penundaan pemilu dengan argumen isu Yerusalem Timur. Menurut juru bicaranya, Hazem Qassem, hambatan yang muncul bisa diatasi, dan tidak seharusnya menunda penyelenggaraan pemilihan.
“Tidak ada peluang kami akan membahas penundaan. Apa yang seharusnya kita bahas adalah bagaimana menyelenggarakan pemilu di Yerusalem Timur,” kata dia. Menurut catatan resmi, sebanyak 6.300 warga Arab-Palestina terdaftar sebagai pemilih resmi di sana. Sementara sekitar 150.000 warga Arab lain diizinkan mencoblos di luar kota, sesuai perjanjian dengan Israel.
Di sisi lain, faksi politik di Palestina yang terpecah, Hamas dan Fatah, dan faksi lain telah bersatu menentang langkah Israel yang ditengahi Amerika serikat (AS) yang menjalin hubungan diplomatik dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab pada 2020.
Faksi-faksi di Palestina bersatu dalam pembicaraan multilateral untuk memulihkan persatuan dan memperbaiki pemisahan antara Jalur Gaza dan Tepi Barat dalam negosiasi yang jauh lebih menjanjikan daripada upaya sebelumnya.
Pembentukan kelompok kepemimpinan bersama dan kemajuan dalam pembicaraan persatuan intra-Palestina terjadi setelah pertemuan yang telah lama ditunggu-tunggu antara Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Ismail Haniya dari Hamas, ketua Jihad Islam Ziyad al-Nakhala, dan para pemimpin dari berbagai entitas di Palestina. Pertemuan diadakan di Ramallah di Tepi Barat yang diduduki dan Beirut, Lebanon.
Hamas dan partai Palestina lainnya telah bertahun-tahun menuntut agar pertemuan tersebut dilakukan. Namun demikian, Abbas selalu menolak langkah itu, dan menyerukan Hamas untuk menghormati pakta persatuan sebelumnya terlebih dahulu.
Kendati demikian, oleh karena perjuangan Palestina akhir-akhir ini dalam menghadapi begitu banyak tantangan Abbas kemudian setuju untuk mengadakan diskusi. Tantangan tersebut yang paling penting adalah normalisasi antara negara-negara Arab dan Israel.
Penyelesaian Konflik Palestina
Tidak bisa dinafikan, hanya dengan bersatunya kelompok Hamas yang menguasai wilayah Jalur Gaza serta Fatah di Ramallah akan menjadi awal terwujudnya negara Palestina yang merdeka dari penjajahan Israel.
Saat ini hanya Hamas saja yang mampu menghadapi agresi militer dari Israel, sedangkan Fatah yang mengutamakan diplomasi cenderung berdamai dan “tunduk” dengan Israel.
Memang masih ada kelompok lain di Palestina seperti Jihad Islam, namun perannya masih relatif tidak sebesar Hamas yang aktif melawan penjajahan Israel.
Upaya lain yakni, semua negara yang tergabung dalan Organisasi Konferensi Islam (OKI) wajib mendukung pembentukan negara Palestina dengan Yerussalem Timur sebagai ibu kota.
Sejauh ini, sejumlah negara seperti Indonesia yang juga anggota OKI telah aktif menyuarakan perjuangan Palestina di forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Iran dengan kemampuan militernya yang cukup maju juga turuk aktif membantu persenjataan serta pendanaan terhadap Hamas.
Selain itu, Qatar juga aktif dalam mendukung diplomasi dan keuangan terhadap Palestina, bahkan sejumlah pemimpin Hamas seperti Khaled Messal saat ini tinggal di Doha, Qatar.
Akhirnya, keberhasilan Palestina menuju kemerdekaan dengan Yerussalem Timur sebagai ibu kota, sangat ditentukan sejauh mana kesungguhan semua kelompok untuk bekerja sama menghadapi penjajahan Israel.
*Founder World Islamic Issues
Tinggal di Kabupaten Bogor