Oleh ; Eko Budiono, SST.Par, M.Si.*
Momentum Maulid Nabi Muhammad SAW yang diIndoensia bisa diperiangat setiap 12 Rabiul Awwal, dan makin kuatnya gelombang Islamophobia (ketakutan terhadap Islam) di Prancis seolah-olah terjadi bersamaan. Inilah waktu yang paling tepat untuk meneguhkan semangat persatuan di antara semua umat Islam, dan mepertebal sikap ghirah atau cemburu, seperti yang disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indoensia (MUI) pertama yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Persatuan dari seluruh umat Islam menjadi kunci utama untuk menghadapi gelombang Islamophobia yang dikembangkan oleh Presiden Prancis Emmanuel Marcon.
Pekan lalu, Marcon berpendapat separatisme Islam adalah masalah. Ia mengatakan, masalahnya adalah ideologi yang mengklaim hukumnya sendiri harus lebih unggul dari yang ada di republik Prancis.
Macron mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) baru yang akan memperpanjang larangan lambang agama, yang terutama mempengaruhi wanita Muslim yang mengenakan jilbab atau kerudung, kepada karyawan sektor swasta yang menyediakan layanan publik. Negara bagian juga akan memiliki kekuasaan mengambil langkah di mana otoritas lokal membuat konsesi yang tidak dapat diterima bagi Muslim. Misalnya, kata dia, ‘menu religius’ di kantin sekolah atau akses terpisah ke kolam renang.
RUU tersebut mengusulkan pembatasan homeschooling untuk menghindari anak-anak ‘diindoktrinasi’ di sekolah tidak terdaftar yang diduga menyimpang dari kurikulum nasional. RUU tersebut diperkirakan akan dikirim ke parlemen awal bulan ini.
Menurut rencana kontroversial tersebut, beberapa organisasi non pemerintah (LSM) atau organisasi yang ‘bertindak melawan hukum dan nilai-nilai negara’ mungkin ditutup atau menghadapi audit keuangan yang ketat. Hal ini telah menuai kritik di mana beberapa perwakilan komunitas Muslim menggambarkan langkah tersebut sebagai islamofobia dan diskriminatif.
Prancis memiliki minoritas Muslim terbesar di Eropa, yang diperkirakan mencapai lima juta atau lebih dari populasi 67 juta orang. Prancis menjadi tempat dimana agama dan simbol keagamaan yang digunakan di tempat umum menjadi bahan kontroversi.
Selama bertahun-tahun, kelompok hak asasi berpendapat undang-undang sekuler Prancis menumbuhkan kebencian anti-Muslim dan mendiskriminasi wanita Muslim. Prancis melarang anak sekolah mengenakan pakaian yang khas secara agama pada 2004, menyusul kontroversi mengenai siswi Muslim yang mengenakan jilbab.
Negara ini juga menjadi negara pertama di Eropa yang melarang cadar, seperti burqa dan niqab, di tempat umum pada 2010. Pada 2014, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa mendukung larangan tersebut, nemun mereka mengatakan undang-undang tersebut dapat terlihat berlebihan dan mendorong stereotip.
Upaya Marcon itu bertepatan dengan langkah provokatif oleh Charlie Hebdo, majalah Prancis sayap kiri yang terkenal karena menerbitkan karikatur anti-Islam, yang telah menimbulkan kemarahan di seluruh dunia Muslim. Karikatur tersebut pertama kali diterbitkan pada 2006 oleh surat kabar Denmark Jylllands Posten, yang memicu gelombang protes.
Dalam sebuah pernyataan, Sekretaris Jenderal Dewan Kerjasama Teluk (GCC), Nayef al-Hajraf, menggambarkan pernyataan Macron terhadap Islam tersebut tidak bertanggung jawab dan telah menyebarkan budaya kebencian di antara masyarakat.
“Pernyataan Prancis seperti itu keluar pada saat upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan toleransi dan dialog antara budaya dan agama,” kata al-Hajraf .
Reaksi Turki dan Yordania
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebutkan istilah populer baru-baru ini seperti ‘Islam Prancis, ‘Islam Eropa’, dan ‘Islam Austria’ adalah contoh terbaru dari upaya serangan terhadap Islam dan Muslim. Menurut Erdogan, mereka mencoba memiliki sistem anti-Islam di mana agama hanya tinggal di dalam rumah, tanpa kelonggaran terhadap berbagai simbol dan prinsip agama di jalan-jalan, pasar, dan kehidupan sosial. Ia mengatakan, sistem tersebut dengan agama di bawah kendali negara diambil di bawah tekanan dan berusaha dibentuk.
Negara ini menurut Erddogan juga menjadi negara pertama di Eropa yang melarang cadar, seperti burqa dan niqab, di tempat umum pada 2010. Pada 2014, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa mendukung larangan tersebut, nemun mereka mengatakan undang-undang tersebut dapat terlihat berlebihan dan mendorong stereotip.
Prancis juga terlibat dalam perselisihan tentang larangan burkini, pakaian renang yang membalut seluruh tubuh yang dikenakan wanita Muslim di resor di sekitar Riviera. Erdogan juga menyoroti kebutuhan Muslim mengesampingkan perbedaan dan fokus pada masalah bersama untuk menyelesaikan masalah kritis yang telah menghancurkan negara-negara Muslim. Erdogan lantas mengkritik konsep Islam Eropa yang baru dibentuk karena berusaha menutup suara rakyat.
Dia berpendapat umat Islam dapat dengan mudah mengatasi masalah mereka dengan fokus pada kesamaan dan masalah bersama daripada perbedaan. Hampir 1.000 Muslim terbunuh setiap hari akibat terorisme atau kekerasan secara global.
Karena itu, Erdogan mengatakan konsep seperti rasialisme, nasionalisme, sektarianisme, dan terorisme menghancurkan Islam dari dalam. Namun demikian, ia menegaskan Turki tidak akan membiarkan imperialis memecah belah Islam dengan menggunakan label Sunni-Syiah, hitam-putih, Turki-Kurdi dan Arab-Persia.
“Umat agama yang memandang membunuh satu orang sama dengan membunuh manusia secara keseluruhan tidak dapat melakukan pembantaian apa pun,” ujarnya.
Dalam Islam, keutamaan terletak pada kedekatan dengan Allah dan bukan pada kekayaan atau ras. Karena itu, Erdogan mengatakan debat politik sehari-hari tidak boleh menutupi solidaritas komunitas Muslim.
“Jika orang tidak memenuhi kebutuhan agamanya dari sumber yang kredibel, mereka akan terjebak dalam kelompok bidat yang tidak ada hubungannya dengan Islam, seperti Daesh, FETO (Gulenist Terror Group), al-Shabaab dan Boko Haram,” katanya.
Sedangkan, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Yordania, Dhaifallah Fayez, juga menyuarakan kecaman negaranya atas penerbitan ulang kartun Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo atas klaim kebebasan berekspresi.
Charlie Hebdo adalah surat kabar satir yang memiliki reputasi untuk membela otoritas, menghadapi apa yang dianggap sakral atau mempertanyakan kelompok mana pun yang mengklaim supremasi.
Setelah menerbitkan kartun yang mengejek Islam dalam beberapa kesempatan, pada tahun 2015 majalah tersebut mencetak banyak gambar yang menghina Nabi Muhammad dalam sebuah gerakan yang memprovokasi umat Islam karena gambar Nabi dianggap menghujat dan dilarang dalam Alquran. Sederhananya, editor majalah yang tidak bertanggung jawab (kata-kata mereka sendiri) melukai perasaan orang-orang Islam.
“Praktik-praktik semacam itu melukai sentimen sekitar 2 miliar Muslim dan merupakan serangan terhadap simbol-simbol agama, kepercayaan, dan kesucian,” katanya, sambil memperingatkan bahwa praktik semacam itu memicu budaya ekstremisme dan kekerasan.
Selain Yordania, Kementerian Luar Negeri Kuwait juga menyatakan kekesalannya atas penerbitan ulang kartun anti-nabi di Prancis.
Dalam sebuah pernyataan, Kemenlu Kuwait memperingatkan bahwa penghinaan ini akan menyulut semangat kebencian, kekerasan dan permusuhan. “Dan akan membahayakan upaya komunitas internasional untuk menyebarkan budaya toleransi dan perdamaian di antara masyarakat di dunia,” jelasnya.
Sebenarnya, Prancis memiliki minoritas Muslim terbesar di Eropa, yang diperkirakan mencapai lima juta atau lebih dari populasi 67 juta orang. Prancis menjadi tempat dimana agama dan simbol keagamaan yang digunakan di tempat umum menjadi bahan kontroversi.
Selama bertahun-tahun, kelompok hak asasi berpendapat undang-undang sekuler Prancis menumbuhkan kebencian anti-Muslim dan mendiskriminasi wanita Muslim. Prancis melarang anak sekolah mengenakan pakaian yang khas secara agama pada 2004, menyusul kontroversi mengenai siswi Muslim yang mengenakan jilbab.
Negara ini juga menjadi negara pertama di Eropa yang melarang cadar, seperti burqa dan niqab, di tempat umum pada 2010. Pada 2014, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa mendukung larangan tersebut, nemun mereka mengatakan undang-undang tersebut dapat terlihat berlebihan dan mendorong stereotip.
Prancis juga terlibat dalam perselisihan tentang larangan burkini, pakaian renang yang membalut seluruh tubuh yang dikenakan wanita Muslim di resor di sekitar Riviera.
Penting untuk dicatat bahwa Presiden Macron membenarkan kebijakan yang represif, bersumpah untuk melawan ‘separatisme Islam’. Ungkapan tersebut melabeli Muslim Prancis .sebagai warga negara kelas dua, mencakup orang-orang yang taat yang berhati-hati dalam mengonsumsi makanan ‘halal’ dan wanita Muslim yang mengenakan jilbab, menjadikan mereka ‘permainan yang adil’ bagi negara.
Sikap Prancis yang membatasi Muslim, yang dimulai dengan pelarangan burkini dan cadar dan dilanjutkan dengan undang-undang tentang sekularitas dan simbol-simbol agama yang mencolok di sekolah yang disetujui parlemen pada 2016, berdampak pada kehidupan sekitar 6 juta warga Muslim.
Yahudi adalah target rasisme sayap kanan di Eropa 100 tahun yang lalu, dan sekarang, Muslim menghadapi rasisme di Eropa. Fakta bahwa Macron, yang partainya mengalami kekalahan telak dalam pemilihan lokal pada bulan Juni, telah menargetkan Muslim adalah bukti bahwa masalah tersebut tidak lagi terbatas pada sayap kanan.
Jadi, lonceng peringatan harus berbunyi mengingat Muslim adalah target terbaru dalam sejarah panjang praktik rasis Eropa, beberapa di antaranya masih berlangsung kurang dari seabad yang lalu.
Di sii lain, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif angkat bicara soal polemik kehidupan Islam di Prancis. Ia menyoroti akar masalah: kartun Nabi Muhammad sebagai bentuk kebebasan berbicara. Ia tak sepakat dengan sudut pandang itu.
Membuat kartun Nabi Muhammad adalah penghinaan terhadap umat Muslim, katanya. Dan penghinaan adalah penyalahgunaan dari kebebasan berbicara itu sendiri.
Javad Zarif menambahkan, pernyataan tersebut jadi petunjuk yang jelas terhadap ucapan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap kritis terhadap Islam. “Muslim adalah korban utama dari ‘kultus kebencian’,” katanya.
“Menghina 1,9 miliar Muslim dan kesucian mereka untuk kejahatan menjijikkan dari ekstremis semacam itu adalah penyalahgunaan kebebasan berbicara. Itu hanya memicu ekstremisme,” tambahnya.
Tidak seperti beberapa negara Muslim. Para pemimpin ulama Iran tidak menyerukan pemboikotan barang-barang Prancis. Tetapi beberapa pejabat dan politisi Iran, termasuk kepala parlemen dan pengadilan ikut mengutuk Macron karena dianggap turut menyebar Islamofobia.
Ali Shamkhani, sekutu dekat otoritas tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei mengatakan “perilaku irasional” Macron menunjukkan “kekasarannya dalam politik.”
“Kalau tidak, dia tidak akan berani memeluk Islam dalam pencariannya untuk kepemimpinan di #Eropa,” kicau Shamkhani, sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.
“Saya menyarankan agar dia membaca lebih banyak sejarah dan tidak bersukacita dalam mendukung Amerika dan Zionisme yang mengalami penurunan.”
Akar Islam di Prancis
Prancis dikenal sebagai Francia, Kekaisaran Frank sebuah kekuatan kekaisaran terkemuka di Eropa dan kerajaan barbar pertama dan terbesar yang muncul dari Zaman Kegelapan setelah jatuhnya Roma. Kerajaan yang sama yang suatu hari akan melahirkan Prancis dan Jerman.
Charles Martel, salah satu pahlawan tertua di Prancis memiliki momen kejayaannya menyatukan Francia dalam pertarungan melawan Muslim Andalusia, ketika dia mengalahkan mereka dalam pertempuran yang menghancurkan Tours yang oleh banyak orang Eropa dipandang sebagai penolakan Islam pertama di benua itu. Ketika itu puluhan ribu orang tewas.
Charles Martel, tokoh utama dalam melawan Muslim Andalusia. Tapi ini hanyalah awal dari cerita Prancis. Martel menjadi sorotan menyelamatkan umat Kristen dari bangsa Moor.
Cucunya, Charlemagne diidolakan tidak hanya di Prancis tetapi di seluruh Eropa sebagai tokoh pan-Eropa pertama, menjadi Kaisar Romawi Suci pertama yang memproklamirkan diri di Eropa Barat setelah melancarkan perang yang tak terhitung jumlahnya melawan orang-orang Arab Saracen dan Moor.
Tindakan Martel dan cucunya memunculkan Prancis dan mempersepsikan Islam sebagai ancaman.
Pandangan dunia yang disebarkan ini akan memandu perang kolonial Prancis, dan akibat dari kolonisasi Timur Tengah itu sendiri.
Di Prancis saat ini, Muslim Prancis sering menjadi subjek perdebatan sengit yang mengabaikan keragaman agama dan budaya. Seruan umum tetap adalah bahwa Muslim di Prancis belum mengadopsi cara, budaya, dan norma Prancis. Sebaliknya, makna sebenarnya dari apa artinya menjadi orang Prancis digambarkan oleh para pakar dan politisi sayap kanan.
Tetapi hanya sedikit yang mempertanyakan alasan kurangnya integrasi Muslim, atau hanya sejarah rasisme, kolonialisme, dan faktor sosial, yang sering diabaikan arus utama.
Abdelmalak Sayad, sosiolog Aljazair-Prancis terkenal dan penulis The Suffering of Immigrants menjelaskan berbagai alasan mengapa Muslim terpinggirkan di Prancis, khususnya orang Afrika Utara.
Di garis depan adalah sikap laissez-faire Prancis dan sikap tidak menyesal memiliki kekuatan kolonial dan penakluk brutal rakyat,” kata Sayad.
“Ini termasuk dehumanisasi, penyiksaan, pemerkosaan, eksploitasi dan genosida langsung, seperti dalam kasus lebih dari lima juta orang Aljazair yang terbunuh selama 132 tahun pemerintahan kolonial Prancis.”
Seringkali hilang dari banyak pakar dan analis modern, sejarah kolonial Prancis yang eksploitatif meninggalkan warisan pahit bagi banyak Muslim. Di Aljazair misalnya, para pemukim menguasai kota, lahan luas dari tanah pertanian terbaik yang dapat ditanami, dan sering kali menyewakan petak tanah kepada orang Aljazair dengan harga yang mahal.
Tidak ada batasan tersisa pada aktivitas pemukim di Aljazair. Dalam salah satu serbuan lahan terbesar yang tercatat dalam sejarah, struktur, kekayaan, dan masyarakat Aljazair secara efektif diberantas. Warga Aljazair tidak diberikan pendidikan, karena kemungkinan hal itu akan menyebabkan perlawanan atau tuntutan akan upah yang lebih tinggi.
Faktor Global Penyebab Islamofobia
Musabab kenapa banyak terjadi pelecehan kepada Islam secara global adalah karena makin kuatnya hegemoni peradaban Barat yang mengusung Sekulerisme-Liberalisme. Menurut Prof. Syed Naquib Al Attas, problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuwan sekular Barat yang mengarah kepada kehancuran umat manusia.
Menurut Syed Naquib Al Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif (relativisme) diterima sehingga tidak ada kepastian.
Konsekuensinya adalah penegasian Tuhan dan akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. Berbagai problem kemanusiaan akhirnya muncul sebagai hasil dari kacaunya nilai-nilai yang dibawa oleh sekulerisme Barat tersebut. (Adian Husaini; Wajah Peradaban Barat hal. 03).
Sekularisme dan liberalisme memiliki ciri khas utama berupa desakralisasi kepada ajaran agama dan menceraikan antara urusan agama dengan duniawiah. Sehingga pengusungnya akan merasa gerah manakala melihat masih ada pengagungan kepada syiar atau simbol sebuah agama.
Dan dalam pandangan Barat, satu-satunya kelompok yang paling kuat dalam pengagungan kepada simbol agamanya adalah umat Islam. Sebab mereka sampai hari ini masih istiqomah dalam mengagungkan kitab sucinya, nabinya, dan ajaran agamanya.
Sejarah membuktikan bagaimana Salahuddin Al Ayyubi bisa menyatukan barisan umat Islam yang berbeda-beda Mazhab dalam satu shaf lewat pengajaran kembali sirah Nabi Muhammad ﷺ sehingga umat Islam saat itu bisa bersatu dan berjaya dalam Perang Salib.
Sehingga tidak mengherankan jika saat ini berbagai kelompok sayap kanan di Eropa selalu menebarkan fitnah dan ketakutan akan kebangkitan kembali Islam. Islam akan menguasai Eropa, menghapus budaya asli Eropa, menyingkirkan pribumi dan menggusur keyakinan kristiani mereka. Itulah “jualan” yang sering dijajakan para kelompok sayap kanan di Eropa.
Dan itulah salah satu penyebab Islamofobia masih marak di Barat hingga kini. Dan pembunuhan karakter Nabi Muhammad ﷺ adalah salah satu jalan untuk menghadang Islamisasi terhadap masyarakat Eropa.
Sebab titik sentral agama Islam adalah Nabi Muhammad ﷺ. Dan Barat paham akan hal itu. Sehingga berbagai cara digunakan untuk melecehkan Nabi Muhammad ﷺ. Mulai dari mendistorsi sejarahnya (Siroh) hingga membunuh karakternya. Agar masyarakat skeptis kepada beliau.
Kebencian itu kian menjadi-jadi manakala Eropa melihat tren konversi masyarakat Barat ke dalam agama Islam kian meningkat dan ditambah lagi dengan makin masivnya gelombang imigran Timur Tengah yang masuk ke daratan Eropa yang dalam pandangan para Ultra Nasionalis Sayap Kanan Eropa akan menjadi beban baru bagi ekonomi negara-negara Uni Eropa. Wal hasil kebencian Barat (Eropa) kepada Islam memang merupakan rahasia umum di dalam sejarah dunia ini. Kebencian itu berangkat dari berbagai sisi, mulai dari negasi budaya, akidah, tradisi dll.
Negara-negara Eropa yang bisa saling beda bahkan saling bermusuhan pada suatu hal tertentu nyatanya bisa saling bersatu dalam memusuhi objek yang sama yakni Islam. Ini sesuai dengan pendapat yang ditulis oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya Clash Of Civillization (Benturan Peradaban).
“..Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah: 3).
Sejarah Islam di Prancis
Di Prancis, Islam berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 M. pada 1922, telah berdiri sebuah masjid yang sangat megah bernama Masjid Raya Yusuf di ibu kota Prancis, Paris. Hingga kini, lebih dari 1.000 masjid berdiri di seantero Prancis. Di negara ini, Islam berkembang melalui para imigran dari Afrika, seperti Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania, dan lainnya.
Sekitar 1960-an, ribuan buruh Arab berimigrasi (hijrah) secara besar-besaran ke daratan Eropa, terutama di Prancis. Saat ini, jumlah penganut agama Islam di Prancis mencapai tujuh juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, Prancis menjadi negara dengan pemeluk Islam terbesar di Eropa. Menyusul kemudian negara Jerman sekitar empat juta jiwa dan Inggris sekitar tiga juta jiwa.
Peran buruh migran asal Afrika dan sebagian Asia membuat agama Islam berkembang dengan pesat. Mereka mendirikan komunitas atau organisasi untuk mengembangkan Islam.
Secara perlahan- lahan, penduduk Prancis pun makin banyak yang memeluk Islam. Karena pengaruhnya yang demikian pesat itu, Pemerintah Prancis sempat melarang buruh migran melakukan penyebaran agama, khususnya Islam.
Pemerintah Prancis khawatir organisasi Islam yang dimotori para buruh tersebut akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat dalam beberapa kelompok etnik. Sehingga, dapat menimbulkan disintegrasi dan dapat memecah belah kelompok masyarakat. Tak hanya itu, pintu keimigrasian bagi buruh-buruh yang beragama Islam pun makin dipersempit, bahkan ditutup.
Meski demikian, masyarakat Arab yang ingin berpindah ke Prancis tetap meningkat. Pintu ke arah sana semakin terbuka. Pelajar Muslim Pada tahun 1970-an, imigran Muslim kembali mendatangi negara pencetus trias politica itu. Kali ini, para pelajar Mus lim yang datang ke Prancis untuk menuntut ilmu. Kedatangan para pelajar ini menjadi faktor penting yang mengambil peran besar dalam mendorong penyebaran Islam di jantung negeri Napoleon Bonaparte ini.
Solusi
Islam sebenarnya memiliki akar yang kuat yang secara khusus bisa kita lacak mulai dari era perang Salib. Dan tentunya secara umum kebencian mereka itu adalah watak khas para Kafirin yang sudah dijelaskan di dalam Al Qur’an yang menyatakan,
“Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran[3]: 118).
Di dalam karyanya yang fenomenal Islam At The Crossroads (1935), Muhammad Asad menulis satu bab khusus yang berjudul Bayangan Perang Salib. Penulis kelahiran Austria yang bernama asli Leopold Weiss itu dengan sangat apik menjelaskan alasan mengapa Eropa benci kepada Islam.
Permusuhan Eropa kepada Islam adalah warisan dari budaya lama Eropa yang berasal dari Yunani Kuno dan Romawi. Dua peradaban kuno itu memiliki pandangan rasis yang menganggap bahwa hanya mereka sendirilah yang beradab sedangkan bangsa di luar mereka terutama yang berada di timur Laut Tengah adalah barbar atau biadab.
Sejak saat itulah orang-orang Barat percaya bahwa kelebihan ras mereka di atas segala bangsa manusia lainnya merupakan bukti yang tak terbantah. Dan bersifat rasis kepada bangsa-bangsa selain mereka telah menjadi sifat khas peradaban mereka hingga saat ini.
Tapi ini saja tidak cukup untuk menerangkan perasaan-perasaan Eropa terhadap Islam. Rasa ketidaksenangan mereka terhadap Islam lebih pekat dari perasaan ketidaksenangan mereka terhadap berbagai agama dan kultur asing lainnya.
Peperangan salib adalah yang pertama dan paling utama yang menentukan sikap Eropa terhadap Islam untuk abad-abad panjang kemudian.
Dengan tidak hendak terseret kepada kelebihan-kelebihan yang tidak patut, kita dapat mengatakan bahwa Eropa modern lahir dari semangat peperangan salib. Sebelum waktu itu terdapat Anglo- saxon dan Jerman, Perancis dan Normandia, Italia dan Denmark; tetapi selama peperangan salib konsep baru dari “Peradaban Eropa” satu tujuan yang sama bagi seluruh bangsa-bangsa Eropa, telah diciptakan; dan kebencian terhadap Islam lah yang tegak seperti Tuhan- Bapak dibalik ciptaan baru itu
Sementara itu, Buya Hamka dalam bukunya berjudul Ghirah: Cemburu Karena Allah yang ditulis sejak tahun 1980-an. Dalam buku tersebut terdapat delapan bagian yang masing-masing memiliki pembahasan yang berkaitan dengan judul besarnya, Ghirah.
Pembahasan yang langsung menyinggung soal ghirah, misalnya terdapat pada bagian satu sampai empat. Di sini, Buya Hamka melekatkan makna ghirah sebagai “cemburu”. Tentu saja, cemburu dalam konteks yang luas.
Begitu luasnya Buya Hamka memaknai ghirah dalam buku ini. Mulai dari ghirah terhadap keluarga, kesukuan, bangsa, hingga agama. Bagi Buya Hamka, ghirah itu mesti ada dalam setiap pribadi manusia. Terlebih, manusia yang hidup sebagai orang Timur. Menurut Buya Hamka, budaya Timur membuat manusianya memiliki ghirah dalam dirinya, berbeda dengan budaya Barat.
Buya Hamka menggarisbawahi bahwa begitu pentingnya ghirah untuk setiap individu atau kaum dalam mempertahankan harga diri dan kehormatannya.
Cemburu yang kemudian disematkan sebagai padanan ghirah oleh Hamka di sini memiliki spektrum makna yang berlapis. Pertama, cemburu sebagai konsekuensi dari pengakuan akan kecintaan terhadap sesuatu, termasuk juga rasa memiliki.
Kedua, cemburu sebagai dasar atau dorongan bagi setiap orang atau kaum untuk melakukan sesuatu. Ketiga, bagi Hamka, cemburu itulah yang membuat manusia itu ada dan mengada.
Semoga dengan makin kuatnya semangat persatuan dari umat Islam di seluruh dunia, bisa menghadapi gelombang Islamophobia di Eropa, khususnya di Prancis. Wallahu a’lam (Allah Maha Mengethaui)
*Pengamat Kebijakan Publik dan Dunia Islam, Founder World Islamic Issues)
Tinggal di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.