JAKARTA, Makronesia.id – Sebagai Komisaris PLN (2018-2019), Darmawan sangat mengerti bisnis PLN yang amat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, sehingga dapat memberikan masukan akurat dengan orientasi meningkatkan efisiensi korporasi. Dalam posisinya, Darmawan berhasil menjaga dan mengawasi segala program on the track dan menjaga kondisi keuangan perusahaan.
Semasa tugasnya sebagai regulator yaitu di Kantor Staf Presiden menjabat Deputi Bidang Energi dan Infrastruktur (2015-2019), Darmawan berhasil mengelola dan melakukan berbagai debottlenecking Program Prioritas pemerintahan Jokowi.
Darmawan menjadi mitra strategis PLN dalam mengawal implementasi Program 35 GW. Dengan pengalamannya di bidang energi, Darmawan berhasil mengelola kebijakan energi dan infrastruktur yang menjadi pembeda penting pemerintahan Jokowi dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Karena kepiawaiannya, dia berhasil mengurai berbagai sumbatan di proyek-proyek mangkrak, mengawal, dan mengakselerasi jalannya Program Prioritas dengan komunikasi strategis dan konsolidasi multistekeholders dari lintas Kementerian/Lembaga, sampai level Daerah.
Tidak hanya itu, selama menjadi Wakil Direktur Utama PLN (2019-2021), Putera dari Almarhum Brigadir Jenderal TNI (Purn) Sadja Moeljoredjo, ini juga sukses mengemban amanah sebagai Chief Transformation Officer (CTO) yang bertugas untuk mengawal program-program transformasi PLN.
Awal Menjadi Ekonom
Ayah dari 3 orang anak ini juga sempat berbagi kisah perjalanannya menjadi seorang modeling ekonom kepada www.makronesia.id. Berawal dari 2003, Darmawan membeli radio bekas. Iseng-iseng dia diajak seorang pria pemabuk untuk mengotak-atik radio itu dan ternyata bisa dikoneksi memakai USB ke komputer. Sementara komputer itu pun bisa menjadi radio. Penjual radio yang bersama Darmawan itu adalah seorang pemabuk yang baru habis minum-minum.
“Saya ngobrol dengan orang ini dari pukul 19:00 WIB hingga 24:00 WIB. Saya tidak menyangka orang ini kok hebat dan ternyata dia adalah ekonom kandidat doktor dari Yugo. Saya terinspirasi oleh dia,” kata Darmawan mengisahkan.
Ketika sudah lulus kuliah S1 di Texas, Darmawan tidak langsung pulang ke Indonesia, melainkan bekerja di sebuah perusahaan kecil di sana. Pada suatu pagi, Darmawan bolos kerja dan mendatangi jurusan ekonomi Texas A&M. Dia bertemu dengan profesor ekonomi di sana dan mengutarakan niatnya yang ingin melamar menjadi mahasiswa ekonomi.
“Have you ever taken economic classes,” tanya sang professor.
“No,” jawab saya, yang selanjutnya ditanya oleh sang Professor, apakah dia mau ambil gelar Master?.
“No. Doctor,” tegas saya.
“Very strange. But, you are accepted,” ucap sang professor dengan raport di tangan melihat nilai-nilai ujian Darmawan yang rata-rata A dengan honor dan cum laude.
“You never take economic classes, but you are accepted. Welcome aboard,” kata professor dalam pembicaraan yang hanya sekitar 1 menit itu.
Dari sepenggal bincang-bincang itulah jejak langkah Darmawan menuju dunia ekonomi berawal. “Setelah pembicaraan itu saya langsung ke kantor dan bilang I quit.” “Saya ingin belajar financial economy karena saya ingin menjadi engineer di bidang finance, seorang ekonom,” ucap Darmawan.
Saat ujian pertama kali, hampir semua kawan-kawan sekelasnya adalah mahasiswa yang pernah mengambil S1 dan S2 di bidang ekonomi. Mereka baru ambil gelar doktor setelah 6 tahun di ekonomi. Sementara Darmawan sama sekali tak punya latarbelakang pendidikan ekonomi, dan dia harus menjawab semua formulasi dalam ujian tentang ekonomi yang sangat kompleks.
“Saya keluar dengan hati berkeping-keping karena tidak bisa menjawab satu pun. Kemudian saya mendapat nilai 25, satu level di atas posisi terakhir. Tertinggi mendapat score 99. Otomatis bakal di-DO karena kalau mendapat C di kelas doktor ekonomi adalah haram,” tuturnya.
Akhirnya selama semester itu tidak pernah pulang. Ia pulang hanya kalau mau makan. Tidur pun di kampus agar fokus ke semua remediasi dari S1 dan S2. Dalam tes ke-2, baru dia berhasil mendapat peringkat ke- 2 tertinggi dan tes ke-3 pun aman lancar. Namun anehnya setelah nilai dihitung, ternyata nilainya masih tetap C. Profesor yang memasukan namanya dalam program study pun memanggilnya secara pribadi.
“Darmawan, you shoud have got a C, but seeing your progress that you reach the second highest, that is not easy. I give you a B,” kata professor.
“Saya aman,” kata Darmawan.
Gara-gara Tak Ada Bea Siswa
Tapi ternyata di kelas financial economics itu tidak ada funding (bea siswa). Sebab bea siswa hanya untuk mereka yang sudah pernah ambil ekonomi dengan tujuan untuk mengajar.
Mau tak mau, Darmawan harus mencari cara agar kuliahnya ada yang mendanai. Akhirnya dia menemukan satu peluang di jurusan applied economy yang khusus untuk economic modelling. Mereka siap mendanai karena membutuhkan ahli operation research. Yang menawarkan program pendanaan pendidikan itu adalah Bruce McCall, seorang pemenang Nobel bidang economic modelling dan environmental modelling. Dia punya modeling secara global. Modelling economy dari AS, World Bank, IMF memakai hasil karya Bruce McCall. Darwaman bisa masuk dalam tim itu dan otomatis menjadi anggota tim elite economic modelling di AS.
Dalam pekerjaannya ini, Darmawan berinteraksi dengan orang-orang dari MIT, PBB, dan Bank Dunia karena mereka adalah teman satu lab. Akhirnya Darmawan memodelkan salah satu buku berjudul ‘Modelling Oil Fiscal System’ karena memang seorang economic modelling, risk analyst.
Wasiat Ayah
Sebelum meninggal, sang ayah berpesan “Darmawan, kamu harus mencari pengalaman sebanyak mungkin tetapi kalau sudah cukup, harus pulang”. Sang Ayah juga berkata “Salah satu tolak ukur dari kesuksesan bukanlah jabatan atau materi tapi seberapa besar ilmu yang dituntut selama ini bisa digunakan untuk kemaslahatan rakyat Indonesia.” Darmawan menuturkan, kisah kepulangannya dari Amerika ke Indonesia berawal dari pesan sang ayah yang meninggal pada 2005. “Sebelum meninggal, saya masih di AS. Selama 10 hari, saya dan beliau intens ngobrol. Beliau ingin memberi wasiat wejangan,” ucap Darmawan.
Ayah Darmawan itu adalah seorang militer dan mantan kepala SMA Taruna Nusantara. Dimata Darmawan, sang ayah adalah sosok patriotis yang benar-benar menginginkan bangsa Indonesia maju, menguasai dunia, ekonomi, teknologi, kebijakan, dan politik.
“Wan, kamu harus lulus doktor dan cari pengalaman sebanyak-banyaknya. Tapi kalau sudah cukup, kamu harus pulang. Salah satu tolok ukur dari kesuksesan bukanlah dari jabatan atau materi tapi seberapa banyak ilmu itu bisa digunakan untuk kemaslahatan rakyat Indonesia,” begitulah pesan sang ayah yang kerap berputar ulang di kepala Darmawan.
Dari obrolan itu Darmawan memang merasa terhantam telak. Dia menemukan ada sebuah idealism dari untaian kata-kata itu. Satu pertempuran bahwa beyond kesuksesan karir dan jabatan, ada yang lebih besar lagi. “Itulah wasiat terbesar Ayah saya. Padahal selama 2 tahun sebelumnya, karir saya sedang menanjak. Akhirnya, saya berkata kepada istri saya bahwa “it’s time to go home.”
Saat itu ada beberapa tawaran yang masuk. Saya ditawari oleh Bank Indonesia sebagai economic modelling, sekolah bisnis ITB mau buka MBA Energi, UGM mengincar ekonom energi dan saya ditawari jadi dosen. Yang sangat heroik adalah Prof Yohanes Surya. Tiap minggu telepon saya dan beliau berangkat ke AS untuk mencari saya. Saat saya tanya kenapa, beliau hanya menjawab: “You don’t have to know but I want you”.
“Untuk menjadi staf di ITB, UGM dan BI harus melalui bermacam-macam birokrasi. Tapi kalau di sisi saya cocok,” jawab saya dalam hati.
Begitulah perjalanan saya, dari seorang computer scientist, saya bertemu dengan orang Yugo yang mabuk dan akhirnya saya menjadi ekonom.
Bertemu Istri
Sepertinya pepatah yang mengatakan, “Dibalik kesuksesan seorang suami, ada seorang istri yang hebat” tepat jika ditujukan kepada Darmawan. Salah satu anggota tim reformasi mafia migas ini menceritakan, sang istri yang berasal dari Banyuwangi, harus menjalin hubungan jarak jauh karena Darmawan muda selalu bekerja dan tidak sempat berinteraksi dengan wanita.
Saat bekerja, saya bertemu dengan seseorang engineer, yang sekarang adalah kakak ipar saya. Sekarang dia adalah associate director di BP. Waktu itu saya masih kuliah, dan saya lihat dia orangnya low profile dan religius. Saya cek di friendster, ternyata dia punya adik perempuan yang penampilannya sangat cantik. Bagaimana karakternya, kakaknyalah yang saya lihat.
Saat itu Februari 2006. Kami saling berkirim email. Tiga minggu kemudian saya berani telepon dia. Komunikasi menjadi sangat intens. Saya katakan bahwa sebenarnya mencari seorang istri. Saya bismilah, bahwa dialah calon saya. Saya tanya dia. “kamu saya lamar mau nggak?” Padahal waktu itu kami belum pernah ketemu secara langsung. “Subhanallah, Allah maha suci. dia (si cewek) jawab OK.”
Pada 26 Mei, rombongan keluarga saya berangkat ke Jakarta untuk melamar. Dan pada 27 Mei terjadi gempa di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah, desa saya luluh lantak tapi tidak ada korban dari keluarga karena mereka semua berangkat ke Jakarta untuk ikut melamar calon istri saya. Buah pernihakan ini telah dikaruniai tiga orang anak. ***