Makronesia.id, Jakarta – Remisi bagi narapidana kembali menjadi sorotan setelah pernyataan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Prof. Laode M. Syarif, yang mengungkapkan adanya dugaan praktik jual beli remisi. Pernyataan ini langsung ditanggapi oleh Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), yang menegaskan bahwa pemberian remisi telah dilakukan sesuai aturan perundang-undangan tanpa praktik jual beli.
Staf Khusus Menteri Imipas, Abdullah Rasyid, menepis dugaan tersebut dan menegaskan bahwa di bawah kepemimpinan Menteri Agus Andrianto, Imipas menjalankan tugasnya sesuai dengan Asta Cita Presiden Prabowo. “Jika ada yang menyatakan bahwa remisi bisa diperjualbelikan, hal itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Kami memastikan bahwa Imipas bekerja sesuai aturan dan prinsip transparansi,” ujar Rasyid dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (29/1/2025).
Polemik ini bermula dari pernyataan Laode dalam sebuah diskusi di Aula Griya Gus Dur, Jakarta, sehari sebelumnya. Ia menyebut bahwa ada dugaan narapidana dapat membeli remisi dengan sejumlah uang. “Dengar-dengar, ada yang bisa membeli remisi, baik 10 hari, 1 bulan, bahkan 6 bulan,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Rasyid menilai pernyataan Laode sebagai tuduhan yang tidak berdasar. “Jika memang ada bukti, sebaiknya segera dilaporkan kepada kami, bukan sekadar menjadi isu yang berkembang di publik,” tegasnya.
Dalam penjelasannya, Rasyid mengungkapkan bahwa pemberian remisi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Dalam aturan tersebut, remisi merupakan salah satu hak narapidana yang diberikan berdasarkan perilaku dan syarat tertentu. Selain remisi, ada pula hak-hak lain seperti asimilasi, cuti bersyarat, pembebasan bersyarat, hingga cuti menjelang bebas.
“Pemberian remisi dilakukan dengan syarat ketat dan prosedur yang transparan. Tidak ada diskriminasi dalam sistem pemasyarakatan kita. Jika ada indikasi penyimpangan, kami siap menindaklanjutinya,” jelas Rasyid.
Lebih lanjut, ia mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan sistem pemasyarakatan. “Kami membuka diri terhadap kritik, tetapi harapannya, jika ada informasi mengenai penyimpangan, sebaiknya dilaporkan agar dapat ditindaklanjuti,” tambahnya.
Di tengah perdebatan soal remisi, pemerintah juga tengah menyiapkan kebijakan amnesti bagi sekitar 44.000 narapidana. Menteri Imipas, Agus Andrianto, menjelaskan bahwa amnesti ini diberikan kepada narapidana dengan kategori tertentu, seperti kasus politik, pelanggaran Undang-Undang ITE, narapidana yang mengalami gangguan jiwa, penderita HIV/AIDS, serta pecandu narkotika yang memerlukan rehabilitasi.
“Kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi kemanusiaan dan memperkuat rekonsiliasi nasional. Ini merupakan langkah konkret dalam mewujudkan visi Presiden Prabowo tentang keadilan dan hak asasi manusia,” ungkap Agus.
Dengan adanya kebijakan remisi dan amnesti ini, pemerintah berharap dapat menciptakan sistem pemasyarakatan yang lebih manusiawi dan adil. Namun, di sisi lain, transparansi dan pengawasan terhadap pelaksanaannya tetap menjadi tantangan yang harus dijawab oleh Imipas dan pihak terkait.
Apakah kebijakan ini benar-benar akan membawa keadilan bagi para narapidana, atau justru membuka celah bagi praktik yang merugikan hukum? Hanya waktu dan pengawasan publik yang bisa menjawabnya. (EHS-01)