Tata Niaga Karbon untuk Kemajuan Ekonomi Indonesia

0
61
Oleh :
Indra Rinaldhi,
Chief Of Operation – PT Avogadro Inovasi Indonesia
Bobby Fachrizal Assiddiq,
Pemerhati Isu Lingkungan – PT Labsistematika Indonesia
Jakarata, Makronesia.Id – Indonesia telah menetapkan komitmen yang kuat dalam mengurangi emisi karbon sebagai bagian dari upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Dalam NDC (nationally determined commitment) yang diperbarui, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi 29% emisi karbonnya pada tahun 2030. Ini setara dengan pengurangan sebesar 834 juta metrik ton CO2. Dengan dukungan internasional, Indonesia bahkan berambisi mencapai pengurangan 41% emisi karbon, yang setara dengan 1.185 miliar metrik ton CO2.
Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa inisiatif untuk mencapai target tersebut seperti menekan kebakaran hutan, rehabilitasi hutan, akselerasi ekosistem energi terbarukan, akselerasi ekosistem mobil listrik, pembentukan ekosistem perdagangan karbon, insentif dan pajak bagi industry, dan beberapa inisiatif lainnya
Dua dari inisiatif yang digunakan untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, adalah perdagangan karbon dan pajak karbon. Keduanya bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memitigasi perubahan iklim. Akan tetapi perdagangan karbon dan pajak karbon memiliki mekanisme yang berbeda dan tantangannya masing-masing.
Perdagangan Karbon Indonesia
Untuk memfasilitasi perdagangan emisi karbon di Indonesia sudah dibentuk bursa karbon Indonesia (IDXCarbon), yang diluncurkan pemerintah pada akhir 2023 lalu. Dengan adanya Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Harga Karbon di Indonesia adalah langkah penting dalam pengembangan bursa karbon. Bursa ini merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memenuhi komitmennya dalam perjanjian internasional, seperti Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Keberadaan bursa karbon ini bertujuan untuk memberikan insentif ekonomi bagi perusahaan untuk mengurangi emisi karbonnya. Dengan sistem ini, perusahaan yang berhasil mengurangi emisi di bawah ambang batas yang ditentukan dapat menjual kelebihan izin emisi kepada perusahaan lain yang membutuhkan lebih banyak izin. Platform ini diharapkan dapat mendukung pencapaian target pengurangan emisi nasional Indonesia, yang ditetapkan dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC, nationally determined commitment) di bawah Perjanjian Paris.
Pada tahap awal akan dilaksanakan pada sektor-sektor yang memiliki potensi emisi tinggi dan dampak besar terhadap perubahan iklim seperti energi, industri dan transportasi. Implementasi sistem perdagangan karbon memerlukan infrastruktur yang kompleks seperti sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi yang andal. Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi Indonesia untuk mengembangkan dan memperkuat infrastruktur tersebut. Banyak perusahaan dan pihak terkait belum sepenuhnya memahami cara kerja sistem perdagangan karbon dan manfaatnya. Pendidikan dan pelatihan tambahan mungkin diperlukan.
Dari data bulanan yang diterbitkan oleh IDX Carbon, sepanjang tahun 2024 hingga bulan Agustus 2024 telah tercatat transaksi sebesar di Rp. 511,386,600,- regular market, Rp 76,770,000,- di marketplace, dan Rp 5,551,058,864,- di negotiated market. Angka ini dapat dibilang sangat kecil dibandingkan potensi yang ada di Indonesia
Pajak karbon adalah platform lain untuk menanggulangi emisi dengan cara menetapkan pajak berdasarkan jumlah emisi yang dihasilkan oleh entitas. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan tentang penerapan pajak karbon sebagai bagian dari reformasi perpajakan dan kebijakan lingkungan, dengan rencana pengenalan bertahap pada sektor-sektor tertentu. Pajak karbon diperkirakan akan mulai diterapkan pada sektor energi dan emisi tinggi, dengan tujuan untuk memberikan insentif bagi pengurangan emisi dan transisi menuju teknologi bersih.
Untuk implementasi ini pajak karbon diperlukan penyesuaian dalam sistem perpajakan yang ada dan penerimaan dari berbagai pemangku kepentingan. Pajak karbon bisa meningkatkan biaya operasional bagi perusahaan, yang mungkin berdampak pada harga barang dan jasa. Adanya kekhawatiran mengenai dampak ekonomi dan sosial perlu diminimalisir, terutama bagi sektor-sektor yang sangat bergantung pada emisi tinggi. Pemerintah perlu merancang mekanisme kompensasi untuk meringankan dampak negatif pada konsumen dan sektor ekonomi tertentu. Tantangan utamanya adalah menetapkan tarif pajak yang adil dan efektif, serta memastikan pengelolaan dan penegakan yang baik. Oleh karena itu diperlukan adanya sistem untuk memastikan bahwa pajak dikenakan secara adil dan bahwa dana yang terkumpul digunakan untuk tujuan yang mendukung pengurangan emisi.
Untuk mengatur dan mengawal proses ini semua, diperlukan badan khusus yang mengelola perubahan iklim dan tata niaga karbon. Badan ini akan berperan penting dalam implementasi kebijakan terkait perubahan iklim dan sistem perdagangan karbon. Badan ini akan berkordinasi dengan kementrian dan badan lainnya yang terkait dengan isu perubahan iklim dan tata niaga karbon seperti, KLHK, Kemenkeu, BPDLH, BRIN, ESDM, Kemenhub dan lainnya. Badan ini harus diberikan kewenangan untuk dapat menentukan arah kebijakan Indonesia terkait perubahan iklim dan perdagangan karbon. Dalam praktiknya akan mengambil beberapa kewenangan kementrian dan/atau badan terkait untuk mempercepat tercapainya target NDC 2030 dan net nero 2060. Dan dalam prosesnya juga akan membawa keuntungan ekonomi bagi Indonesia dan masyarakatnya.
Artikulli paraprakAkuisisi PT ASDP Indonesia oleh PT Jembatan Nusantara: Langkah Strategis Meningkatkan Layanan Pelayaran Nasional
Artikulli tjetërBuka Hub Space 2024, Wapres Dorong Pengembangan Transportasi Efisien dan Terintegrasi Setiap Daerah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini