***EXCLUSIVE*** NEWCASTLE UPON TYNE, UNITED KINGDOM - FEBRUARY 28: People at Pegida Rally on February 28, 2015 in Newcastle Upon Tyn, England. PHOTOGRAPH BY George Bosnyak / Barcroft UK Office, London. T +44 845 370 2233 W www.barcroftmedia.com USA Office, New York City. T +1 212 796 2458 W www.barcroftusa.com Indian Office, Delhi. T +91 11 4053 2429 W www.barcroftindia.com

oleh: Eko Budiono*

Keberhasilan kelompok pejuang Taliban merebut Ibu Kota Afghanistan, Kabul, dan sebagian provinsi pada 15 Agustus 2021, membuat Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) khawatir dan dihantui kembali oleh Islamofobia.

Meski Taliban sudah menyatakan  akan membuat pemerintahan yang moderat, inklusif, dan menjunjung hak-hak warga negara, terutama bagi perempuan. Di antaranya, perempuan bakal diperbolehkan untuk berperan di ruang publik dan tidak diwajibkan mengenakan pakaian burka dan bisa mendapat pendidikan tinggi.

Namun janji tersebut tetap tidak mendapat respon positif dari Uni Eropa dan AS.

Menurut catatan, kata “Islamophobe” dalam bahasa Prancis ditemukan pertama kali pada 1912. Sementara, istilah “Islamophobia” dalam bahasa Inggris baru mulai dikenal satu dekade sesudahnya tepat pada 1922.

Definisi awal dari konsep Islamofobia diperkenalkan oleh Étienne Dinet dan Sliman Ben Ibrahim pada 1918. Lewat buku La Vie de Mohammed, Prophete d’Allah (Kehidupan Muhammad, Sang Nabi Allah), kedua penulis itu menggambarkan Islamofobia sebagai garis politik resmi Prancis ketika menghadapi tentara-tentara Muslim dalam Perang Dunia Pertama.

Selama 20 tahun berikutnya, Dinet dan Ibrahim berulang kali memublikasikan istilah Islamofobia dalam berbagai karya tulis mereka, termasuk ketika membahas sikap politik resmi Prancis dalam melakukan misi penjajahannya di Aljazair.

Dari hal di atas tidak mengherankan jika  Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengalami Islamofobia dan beralasan  ingin menguatkan hukum sekuler Prancis untuk melawan Islam.

Sementara itu,   sejarawan Amerika Serikat  Samuel P  Huntington menulis sebuah artikel, berisi teori “Clash of Civilizations” yang mendorong kelompok militan Alqaeda mendeklarasikan jihad (Perang) melawan barat, terutama Amerika.

Dalam teorinya, Huntington berpendapat bahwa “Islam secara inheren anti-Barat dan peradaban Islam adalah ancaman bagi peradaban Barat.” Akibatnya, masyarakat Barat mulai membangun narasi bahwa Muslim persis seperti yang digambarkan Huntington, yaitu bahwa mereka tidak beradab dan tidak demokratis dan bahwa mereka tidak peduli dengan hak asasi manusia, norma atau nilai.

Faktor Hamas

Makin tingginya Islamofobia juga disebabkan oleh kuatnya gerakan Hamas di Palstina.

Harakah al-Muqawamah al-Islamiyyah (Hamas), atau dikenal dengan Gerakan Perlawanan Islam, adalah organisasi anti pendudukan Israel di Palestina yang sangat dikenal dikalangan masyarakat Palestina terutama di Jalur Gaza.

Hamas adalah organisasi Islam Palestina yang didirikan oleh Sheik Ahmed Yassin tahun 1987. Tahun 1988, Piagam Hamas menegaskan bahwa organisasi itu  berdiri untuk membebaskan negara Palestina dari pendudukan Israel.

Meski Hamas dalam pemilu terakhir yang diadakan pada  2006 menempatkan Hamas menang telak, namun  tetap tidak dianggap oleh UE dan AS.

Akibat perlawanan yang kuat terhadap penjajahan Israel itu, sehingga sekuta utama Israel yakni AS dan UE  menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris.

Nasib Islamofobia dan Populasi

Makin kuatnya Islamofobia di AS dan UE justru membawa berkah dengan dengan makin banyaknya populasi umat Islam di dua wilayah itu.

Dalam 30 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di seluruh dunia telah meningkat pesat. Data statistik yang dikeluarkan Pew Research Center, menunjukkan, pada 1973 penduduk Muslim dunia sekitar 500 juta jiwa. Namun, saat ini jumlahnya naik sekitar 300 persen menjadi 1,57 miliar jiwa. Tercatat, satu dari empat penduduk dunia beragama Islam. Dalam studinya yang berjudul Memetakan Populasi Muslim Global: Sebuah Laporan Tentang Jumlah dan Distribusi Populasi Muslim Dunia, Pew Research Center ini mengindikasikan bahwa seperlima kaum Muslim (300 juta) tinggal di negara-negara non-Muslim.

Populasi Muslim di sana sering kali cukup besar. Hasil studi yang dirilis awal Oktober 2009 ini juga menemukan bahwa Eropa memiliki sedikitnya 38 juta Muslim yang membentuk lima persen dari total populasi benua tersebut. Sebagian besar terkonsentrasi di Eropa Tengah dan Timur. Rusia memiliki lebih dari 20 juta Muslim, dan terbesar di Eropa. Menurut studi tersebut, Jerman memiliki pemeluk Muslim sebanyak 4,5 juta, Prancis sebesar 3,5 juta jiwa, Inggris sekitar dua juta orang, dan Italia sebanyak 1,3 juta jiwa.

Sisanya tersebar di beberapa negara Eropa lainnya seperti Portugal, Swedia, Belanda, dan Swiss. Namun demikian, jumlah ini diperkirakan bertambah lagi. Sebab, sebuah hasil studi di Rusia menyebutkan, jumlah pemeluk Islam di negara Beruang Merah tersebut mencapai 25 juta jiwa, atau sekitar 18 persen dari total populasi yang mencapai 145 juta jiwa. Studi tersebut mengatakan bahwa hampir 4,6 juta Muslim berada di Benua Amerika.

Di negara super power, Amerika Serikat, agama Islam dipeluk oleh sekitar 2,5 juta orang. Bahkan, di lokasi sekitar reruntuhan World Trade Center (WTC) itu akan di bangun sebuah Masjid. Sementara itu, di Kanada jumlah pemeluk Islam mencapai 700 ribu orang.

*Penulis adalah pendiri World Islamic Issues

 

Artikulli paraprakHanya 20 persen UMKM Di Indonesia Mampu Optimalisasi Teknologi Digital
Artikulli tjetërBakti Nusantara Bangun Puskesmas Pembantu di Lombok Barat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini