Jakarta, Makronesia.id — Presidium INDEF School Political Economy-Business and Intelligence Network (ISPE-BIN) sejak awal pekan kemarin terus mengkampanyekan optomalisasi Bank tanah demi kemakmuran rakyat.
Hal itu dkungkapkan, Ketua Presidium ISPE-BIN Anggawira melalui program diskusi bertema “Bank Tanah: Peluang dan Tantangan Agenda Reformasi Agraria”, pada Ahad, (22/8).
Anggawira menjelaskan rasionalisasi pengambilan isu Bank Tanah dalam diskusi kali ini didasarkan pada peran pengawasan dari masyarakat terkait amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Melalui pasal tersebut ditegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Tanah sebagai sebuah aset produktif ini harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuranrakyat. Program yang pernah dicanangkan oleh Soekarno mengenai reforma agraria yang saat ini belum tuntas, karena kami menilai banyak di antaranya tanah ini dikuasai oleh masyarakat tertentu atau konglomerat,” ujar Anggawira dalam pembukaan diskusi.
Tagline diskusi berjudul ‘Polemics (Political Economics) Talk ini menghadirkan Dr. Anggawira, MM (Ketua Presidium ISPE-BIN), Dr. Mardani Ali Sera, M.Eng (Anggota Komisi II DPR RI), Prof. Dr. Drs. Endriatmo Soetarto, MA (Guru Besar Agraria IPB University), dan Dr. Yagus Suyadi, S.H, M.Si (Staf Ahli Bidang Hukum Agraria dan Masyarakat Adat Kementerian ATR/BPN).
Diketahui, landasan hukum Bank Tanah sudah tertuang dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dan PP Nomor 64 tahun 2021. Meskipun demikian, Kementerian ATR/BPN sejauh ini masih menunggu hadirnya Perpres untuk pembentukan kelembagaan bank tanah tersebut. Bank Tanah sendiri bertujuan untuk menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, kepentingan umum, sosial, pembangunan, pemerataan ekonomi, konsolidasi tanah, dan reforma agraria.
“Kita berharap dengan adanya Perpres Bank Tanah yang ditargetkan beroperasi pada tahun ini, dapat memberikan iklim positif meskipun kita belum tahu pada prakteknya akan seperti apa penggunaan dari bank tanah ini,” ucap Angga.
Dari sisi akademis, Prof Endriatmo Soetarto menerangkan, pasca-reformasi ini akumulasi sumbersumber daya agraria berjalan parallel dengan akumulasi kemakmuran finansial. Yaitu, 56 persen aset nasional yang berkaitan dengan tanah hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk Indonesia.
“Jadi segelintir orang mendapatkan konsensi tanah yang luar biasa banyaknya, padahal sebagian besar masyarakat kita berada dalam posisi yang miskin bahkan tunawisma atau landless yang tidak punyatanah,” ujar Prof Endriatmo.
Data tahun 2018, yang dihimpun dari berbagai institusi resmi, jelas Prof Endriatmo, menerangkan terjadi peningkatan konflik agraria yang sangat signifikan, meliputi lebih dari 400 Desa di 200 kabupaten/kota yang terdampak, serta ribuan rumah tangga petani. “Jadi konflik ini ada benang merah, baik dari sebab, aktor, sektor wilayah yang terjadi konflik agraria,” jelas Prof Endriatmo.
Meskipun demikian, Prof Endriatmo mengkritisi status tanah yang berstatus legal Hak Pengelolaan Lahan (HPL) sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja. Bentuk HPL ini merupakan khazanah baru hukum agrarian dan pertanahan di Indonesia.
“HPL tidak dikenal dalam UU Pokok Agraria (UU PA) dan berpotensi gesekan dengan terminologi Hak Menguasai Negara yang ada dalam konstitusi,” tegas Prof Endriatmo.
Sejalan dengan Prof Endriatmo, Yagus Suyadi menerangkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pembangunan nasional, pemerintah membutuhkan tanah dengan luasan yang cukup signifikan. Baik untuk kebutuhan infrastruktur, industri, kawasan perumahan, dan lain-lain. Selama ini, menurut Agus, kehadiran negara masih dirasa kurang dalam pengelolaan sumber daya tersebut.
Di sisi lain, pemberian tanah kepada pelaku usaha ternyata ditelantarkan. Akhirnya, pemanfaatan penggunaannya ditelantarkan dan telah melanggar kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam UU PA Pasal 15.
“Sehingga, dengan kehadiran UU Ciptaker khususnya di pasal 125-136 memberikan aturan baru supaya ada kehadiran pemerintah khususnya Kementerian ATR/BPN yang dulunya land regulator sekarang land manager. Perlu ada penegasan di sini bahwa yang dikelola oleh negara itu hanya tanah negara, bukan tanah ulayat dan yang lain. Tanah negara yang berasal dari bekas hak, bahwa banyak kita jumpai banyak tanah yang tidak lagi dikelola baik oleh pemegang haknya dan tidak dilakukan perpanjangan haknya,” jelas Yagus.
Ditambahkan Mardani Ali Sera, bahwa Komisi II DPR RI saat ini juga sedang membahas RUU Pertanahan, di mana sebagian besar porsinya sudah masuk dalam UU Ciptaker. DPR berharap, adanya Badan Bank Tanah ini dapat memenuhi amanat UUD 19 Pasal 33 dan juga Sila Kelima Pancasila untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
“Tentu kita punya beberapa kekhawatiran di samping sisi positifnya, Bank Tanah bisa jadi alat bagi penguasa ketika tidak dikontrol baik untuk melakukan ‘nasionalisasi’ dan juga adanya kepentingan politik praktis untuk insentif elektoral. Karena itu bank tanah yang tujuannya baik itu harus dikontrol. Cara kontrolnya bukan hanya UU Ciptaker tapi juga peraturan turunannya,” papar Politisi PKS ini.
Dari penilaian Komisi II DPR RI, setidaknya terdapat sembilan catatan terkait Bank Tanah, khususnya dalam PP Nomor 64 tahun 2021. Mulai dari pasal 3 ayat 2 huruf d, pasal 7 huruf i, termasuk juga pasal 26 ayat 6 huruf d yaitu dalam hal kepentingan tertentu, non kepentingan sosial dan reforma agraria, besaran tarif pemanfaatan tanah dapat diterapkan sampai 0 Rupiah sesuai kebijakan komite.
“Masalahnya tadi dewan pengawas masuk dalam struktur bank tanah, ini harusnya di luar. Ini membuka ruang bagi investor untuk memanfaatkan tanah yang dikelola bank tanah secara gratis. Tentu saja ini berpotensi menimbulkan kerugian bagi pemasukan negara dan pemda. Sembilan poin ini menjadi catatan kami yang sudah disampaikan agar pemerintah betul-betul mengecek ulang mengenai PP yang sudah dibuat ini,” pesan Mardani.
Diskusi Polemics Talk ISPE-BIN ini direncanakan hadir tiap bulannya dengan mengangkat tematema tertentu berdasarkan tren isu di publik. Dengan demikian, fungsi kontrol dan hadirkan gagasan baru dari masyarakat dapat terpenuhi demi Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. (AM/BA)