JAKARTA, MAKRONESIA.id – Rencana kenaikan iuran kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai bukan solusi untuk menutupi defisit anggaran BPJS Kesehatan, yang mengalami defisit hingga Rp 20 triliun pada 2019 ini.
Menurut Staff Riset dan Advokasi Isu Kesehatan dan Perburuhan Indonesia for Global Justice (IGJ) Muhammad Teguh Maulana, akar permasalahan defisit BPJS Kesehatan sendiri tidak pernah diselesaikan.
Meskipun pemerintah mengklaim bahwa kenaikan iuran tersebut dilakukan untuk mengatasi defisit, namun hal itu tidak akan serta-merta menyelesaikan masalah.
Sebab kata dia, sejak awal program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut dicanangkan, model pembiayaan yang dipilih memiliki potensi untuk mengalami kerugian yang besar.
“Seharusnya pemerintah meninjau ulang model pembiayaan JKN, khususnya BPJS Kesehatan saat ini yang menggunakan sistem iuran atau pembayaran premi asuransi,” tegas Teguh dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Sebab, dengan membebankan biaya jaminan kesehatan kepada masyarakat, pemerintah seperti melepaskan kewajibannya untuk menjamin akses kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat.
“Bahkan dengan menggunakan model saat ini juga, pemerintah tidak ada bedanya dengan menerapkan logika ekonomi pasar yang menganggap bahwa jaminan kesehatan merupakan suatu komoditas jasa yang dapat difinansialisasikan,” jelas Teguh.
Menurut Teguh, skema pembiayaan BPJS Kesehatan sejak awal berpotensi rugi. Pada awalnya ditarik ke rendahnya anggaran kesehatan Indonesia. Dari 2.200 triliun rupiah di APBN tahun 2018, anggaran untuk kesehatan hanya Rp 110 triliun.
Sedangkan jika dihitung berdasarkan proporsinya terhadap GDP, anggaran kesehatan hanya 2,8% dari GDP. Sehingga setiap orang di Indonesia hanya memperoleh pembiayaan kesehatan sebesar 112 USD perkapita. Sedangkan idealnya proporsi anggaran kesehatan terhadap GDP itu sekitar 10%.
Karena itu, IGJ mengusulkan mengurangi anggaran belanja obat-obatan. Dimana belanja obat BPJS Kesehatan mencapai Rp 36 triliun pada 2018 atau 40% dari belanja kesehatan secara keseluruhan (alat, fasilitas dan tenaga kesehatan). Bahkan meskipun pemerintah telah mengucurkan dana Rp 10,5 triliun untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan.
Menurut BP Farmasi BPJS Kesehatan masih memiliki utang yang belum dibayar untuk pembelian obat berjumlah Rp 3,6 triliun kepada produsen obat. Dari Rp 10 triliun, hanya 6 hingga 10 persen yang digunakan untuk pembayaran obat-obatan atau hanya mendapat pembayaran Rp 300 miliar dari BPJS Kesehatan.
Namun, IGJ pertama, tetap menolak kenaikan iuran premi hingga 100% karena telah melanggar pasal 34 (2) dimana diharuskan Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Apalagi kondisi kemiskinan di Indonesia masih sebesar 25,14 juta jiwa.
Kedua, mendesak Presiden untuk menarik usulan mengenai kenaikan premi hingga 100%, karena dianggap tidak memiliki indikator yang jelas dalam kenaikan tersebut
Ketiga, mendesak kepada DPR untuk memberikan rekomendasi kepada BPK untuk melalukan investigasi dengan cara melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu, atau menunjuk BPKP melakukan audit investigasi secara kuantitatif maupun kualitatif
Keempat, mendesak Presiden melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap sistem pengelolaan BPJS yang telah berjalan secara komprehensif, serta segera mungkin memperkuat sistem koordinasi antara lembaga yang diberi kewenangan dalam pengelolaan tersebut
Kelima, mendesak kepada Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan untuk melakukan transparansi dalam pengelolaan jaminan kesehatan kepada publik. (SP/BA)