ILHAM PRASETYA GULTOM, S.H, M.Han
Advokat – Pemerhati Pertahanan
Wajah sumringah dan senyum lepas terlihat di wajah Menhan Prabowo dan Menhan Perancis Florence Palry. Meskipun dibalik masker, hal itu tidak bisa menyembunyikan kegembiraan mereka usai menyaksikan penandatangan kontrak pembelian pesawat DASSAULT RAFALE dan kapal selam kelas SCORPENE. Tepuk tangan dari kedua Menhan tersebut menunjukkan kelegaan usai perburuan panjang yang telah dilakukan Prabowo sejak setahun yang lalu. Sampai kemudian Indonesia setuju untuk membeli sebanyak 42 pesawat RAFALE secara bertahap, dimana 6 pesawat telah ditandatangani pembeliannya pada hari kamis (10/2/2022) kemarin di Kantor Kementerian Pertahanan RI.
Banyak pengamat militer dan internasional menilai bahwa pembelian pesawat tempur ini merupakan langkah strategis bagi Indonesia. Perlu diketahui bahwa dalam membangun sebuah sistem pertahanan nasional yang kuat, paling tidak membutuhkan pertimbangan pada empat hal berikut:
- Faktor geografis negara yang bersangkutan,
- Sumber daya nasional sebuah negara,
- Analisis terhadap kemungkinan ancaman yang akan muncul, dan
- Perkembangan teknologi informasi.
Begitu juga dengan kerjasama pertahanan yang tidak bisa terelakkan diakibatkan situasi lingkungan strategis yang tidak menentu dan kesamaan kepentingan strategis. Dalam konteks global saat ini ancaman terhadap kedaulatan negara telah berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Teknologi pertahanan selalu dianggap mewakili kekinian karena senantiasa didorong oleh kemampuan penangkalan untuk dapat menjawab tuntutan dan merespon ancaman yang selalu berubah. Oleh karena itu, produk pertahanan selalu menjadi state of the art. Dalam konteks tersebut, suatu negara yang memiliki industri pertahanan yang mapan dianggap memiliki sebuah keuntungan strategis dalam tatanan global.
Merujuk pada empat faktor diatas terkait faktor geografis udara Indonesia, menurut Prof. DR. Priyatna Abdurrasyid wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari satu pertiga daratan, dua pertiga perairan dan tiga pertiga adalah udara. Dengan komposisi seperti ini, maka perhatian kepada wilayah udara sebagai sebuah wilayah kedaulatan negara sudah sewajarnya patut memperoleh prioritas yang proporsional.
Meskipun untuk saat ini ancaman perang antara Indonesia dengan negara lain kecil kemungkinan terjadi, namun pembelian pesawat ini tidaklah semata mata dilihat dari pendekatan ancaman, namun lebih dominan dari pendekatan kapabilitas. Dengan wilayah udara yang sedemikian luas, Indonesia setidaknya harus memiliki 10-12 skuadron agar mampu mengcover wilayah udara sebagai wujud penegakan kedaulatan udara Indonesia. Melihat kemampuan dan kecanggihan tehnologi dari pesawat tempur RAFALE ini sepertinya sangat memuaskan, dan tentu saja kehadirannya akan menjadi kekuatan tambahan yang mampu meminimalisir terjadinya penerabasan ruang udara Indonesia dari pesawat pesawat negara lain, sekaligus menciptakan Deterrent effect bagi siapapun yang masih mencoba coba melanggar wilayah udara Indonesia.
LEGALITAS, AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI
Dikutip dari berbagai pemberitaan nasional maupun media internasional, pesawat RAFALE ini dipatok dengan harga per unit USD 115 juta (Rp 1,6 triliun). Harga RAFALE ini menjadi pesawat tempur keempat termahal dunia, hanya lebih murah dari Lockheed Martin F-35B (USD 135,8 juta), Eurofighter Typhoon (USD 124 juta) dan serta F-35C (USD 117,3 juta). Bila benar Indonesia serius membeli 42 pesawat, maka dibutuhkan 68 Trilyun Rupiah diluar biaya biaya lainnya. Sebuah pengeluaran cukup besar ditengah kondisi ekonomi Indonesia yang masih berjibaku mengatasi pandemi covid 19.
Untuk diketahui, dalam peraturan perundang undangan di Indonesia, pembelian pesawat dari negara lain dibenarkan oleh Undang Undang nomor 16 Tahun 2012 Tentang Industri Pertahanan, sebagaimana diatur dalam pasal 43 ayat (3) “Dalam hal Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
dapat dipenuhi oleh Industri Pertahanan, Pengguna dan Industri Pertahanan dapat mengusulkan kepada KKIP untuk menggunakan produk luar negeri dengan pengadaan melalui proses langsung antar pemerintah atau kepada pabrikan.
Namun untuk melaksanakan hal tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal 43 ayat (5) Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan produk luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan belum atau tidak bisa dibuat di dalam negeri;
- Mengikutsertakan partisipasi Industri Pertahanan;
- Kewajiban alih teknologi;
- Jaminan tidak adanya potensi embargo, kondisionalitas politik dan hambatan penggunaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dalam upaya
mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara;
- Adanya imbal dagang, kandungan lokal dan/atau offset paling rendah 85% (delapan puluh lima persen);
- Kandungan lokal dan/atau ofset sebagaimana dimaksud pada huruf e paling rendah 35% (tiga puluh lima persen) dengan peningkatan 10% (sepuluh persen) setiap 5 (lima) tahun; dan
- pemberlakuan ofset paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan
Agar tidak terjadi pelanggaran hukum dikemudian hari, sudah sepatutnya Kementerian Pertahanan RI berani bersikap akuntabel dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan untuk memastikan bahwa kekuasaan diarahkan guna mencapai tujuan nasional yang lebih luas dengan tingkatan efisiensi,efektivitas, kejujuran, dan kebijaksanaan tertinggi.
Dalam hal menjaga kepercayaan masyarakat atas pembelian pesawat ini, sejatinya persyaratan persyaratan yang sudah diatur dalam pasal 43 ayat (5) hendaknya bisa disampaikan secara terbuka. Terutama mengenai kewajiban alih tehnologi negara produsen, termasuk kepastian pelaksanaan imbal dagang dengan kandungan lokal paling rendah 85 Persen, serta offset paling rendah 35 Persen. Perancis sendiri menjanjikan transfer teknologi, serta kerjasama jangka panjang dengan melibatkan komponen bahan baku berupa kandungan dalam negeri hingga 20 Persen. Secara tehnologi, pesawat Rafale ini memiliki system radar yang lebih unggul dari Sukhoi 35. Sebagai jet tempur generasi 4,5 dengan tipe tertinggi yang telah dilengkapi dengan sensor yang mampu melacak target di darat, udara dan air sekaligus..
Untuk merealisasikan amanat Undang undang dalam Kerjasama pembelian pesawat Rafale ini, Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan mengikat Kerjasama antara lain: kontrak pembelian 6 pesawat tempur Rafale antara Kabaranahan Kemhan dengan Dassault, sebagai awal dari kontrak yang lebih besar untuk 36 pesawat tempur Rafale berikutnya. Lalu, MoU kerjasama di bidang research and development kapal selam antara PT PAL dengan Naval Grup, MoU kerjasama Program Offset dan ToT antara Dassault dan PT DI, MoU kerjasama di bidang telekomunikasi antara PT LEN dan Thales Group, dan kerjasama pembuatan munisi kaliber besar antara PT Pindad dan Nexter Munition.
Keterbukaan seperti ini tentu saja akan meningkatkan kepercayaan dan kepuasaan masyarakat akan kinerja Kementerian Pertahanan dibawah pimpinan Prabowo Subianto. Mengingat adanya pengalaman buruk dimasa lalu bagaimana pembelian alutsista hanya menjadi bancakan korupsi yang dilakukan segelintir oknum untuk memperkaya diri sendiri.