Ilham Prasetya Gultom,S.H,M.Han, Advokat, Pemerhati Pertahanan, Alumni Universitas Pertahanan
DUNIA masih bergelut hebat menghadapi peliknya pandemi Covid 19. Ratusan negara berjibaku memberikan perlawanan untuk segera menyudahi penyebaran virus Covid 19 yang telah meluluhlantakkan tatanan kehidupan manusia modern saat ini. Tragedi kemanusiaan terjadi. Virus Corona seharusnya dipandang sebagai musuh bersama, yang menjadi ancaman bagi setiap umat manusia tanpa melihat latar belakang negaranya. Namun hal itu sepertinya tidak berlaku bagi Amerika Serikat dan China. Ditengah pertempuran hebat semua negara menghadapi Corona, Amerika Serikat dan China membuka “front” baru di Laut China Selatan.
Bulan April 2020 lalu, US Navy telah mengerahkan USS America (LHA-6), kapal serbu amfibi, bersama dengan kapal penjelajah rudal berpemandu kelas Ticonderoga USS Bunker Hill (CG-52) dan kapal perusak kelas Arleigh Burke USS Barry (DDG- 52) ke wilayah Laut China Selatan untuk unjuk kekuatan. Hanya dalam waktu satu bulan, Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) kembali mengirim dua kapal perangnya untuk berpatroli di sekitar sengketa hak mineral antara Malaysia dan China di Laut Cina Selatan.
Sebelumnya, armada ke-7 Angkatan Laut AS telah mengirim kapal USS Montgomery (LCS 8), kapal kargo kering kelas Lewis dan kapal Clark USNS Cesar Chavez (T-AKE 14) untuk melakukan operasi kehadiran di perairan dan wilayah udara internasional dekat kapal bor berbendera Panama, Capella Barat, Laut China Selatan.
Reaksi Amerika bukan tanpa alasan, kehadiran kapal survei pemerintah China Haiyang Dizhi 8, yang mulai beroperasi di daerah tersebut. Haiyang Dizhi 8 dikawal oleh penjaga pantai dan kapal-kapal Milisi Maritim China menjadi penyebabnya. Ketegangan semakin meningkat. Bisa jadi, ketegangan baru ini menjadi pemecah kebosanan Amerika dan China terhadap urusan corona virus. Mereka seakan dapat mainan baru, energi baru dan tentu saja keuntungan baru yang cukup menjanjikan. Ironisnya, pada saat bersamaan, banyak negara lain masih tertatih tatih bahkan tergagap gagap melewati badai corona yang menghantam negara mereka akibat ulah “virus china” tersebut.
MAGNET LAUT CINA SELATAN
Dalam data CNBC International, ada sejumlah alasan mengapa Laut China Selatan menjadi penting. Pertama, karena ini adalah jalur terkemuka dengan perdagangan senilai US$ 5,3 triliun yang melintasi perairan ini tiap tahun. “Hampir sepertiga dari semua perdagangan maritim global,” tulis media tersebut.
Kedua, yang tidak kalah menggoda adalah isi laut tersebut. Gas dan minyak yang ada didalamnya telah membuat Amerika Serikat sudah lama kepincut, dan diperkirakan telah memasang ‘kaki’ di 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas di laut ini. Terdengar kabar, kalau China sementara ini juga sudah menjejakkan “kaki” di wilayah tersebut dengan perkiraan 125 miliar barel minyak dan 500 triliun kaki kubik gas.
Kapal penelitian kelautan telah membuat gelombang ketegangan di Indo-Pasifik baru-baru ini. Pemicunya adalah Kapal survey Hidrografi Haiyang Dizhi 8 dan Kapal Xiang Yang Hong. Mereka telah melakukan survei minyak dan gas di landas kontinen di negara tetangganya. Haiyang Dizhi 8 bergerak dan melakukan survei di lepas pantai Vietnam selama empat bulan pada tahun lalu. Kemudian melakukan survei di laut ZEE Malaysia bulan April 2020 kemarin. Kapal yang lain diketahui juga melaksanakan penelitian ilmiah kelautan tanpa izin dari negara pantai. Tentu saja negara negara ASEAN dibuat gerah dengan aksi kapal kapal China tersebut.
Penelitian semacam itu dapat melayani keperluan sipil dan militer. Data oseanografi sangat penting untuk operasi bawah laut, karena kondisi air dan dasar laut mempengaruhi kemampuan untuk mendeteksi kapal selam. Kapal penelitian yang konon terlibat dalam penelitian ilmiah juga dapat menggunakan instrumen mereka untuk pengintaian angkatan laut, mengumpulkan data intelijen tentang fasilitas dan kapal militer asing. Bahkan pejabat pertahanan Australia pernah melaporkan kegiatan survei awal tahun 2020 oleh Xiang Yang Hong 01 di China dekat Pulau Christmas yang dimaksudkan untuk mempelajari rute kapal selam Australia yang melakukan perjalanan ke dan dari Laut Cina Selatan.
INDONESIA HARUS BERANI MENGAMBIL KEUNTUNGAN
Perseteruan Amerika versus China mesti diwaspadai namun bukan berarti harus dihindari. Perkembangan situasi politik kedua negara tersebut ditengah pandemi covid 19 ini bisa menjadi sangat liar dan berpotensi menarik pihak pihak lain masuk ke pusaran konflik yang mereka ciptakan. Trump masih sangat berambisi untuk memenangkan pemilu keduanya pada bulan November 2020 nanti. Perang dagang yang belum berkesudahan dengan China merupakan “senjata politik” Trump untuk terus menuai simpati rakyat Amerika bagi dirinya.
Lantas bagaimana Indonesia harus bersikap atas ketegangan yang semakin meningkat di wilayah Laut China Selatan? Masih segar dalam ingatan kita, pada awal tahun kemarin, bagaimana berita pengusiran kapal nelayan China dan kapal China Coast Guard oleh kapal patroli Indonesia telah menjadi viral dan memantik emosi rakyat Indonesia. Agar tidak menjadi masalah yang berlarut larut dan berkepanjangan, Presiden Joko Widodo sampai sampai harus mengunjungi Natuna saat itu.
Trump dan Xi Jinping sedang berebut pengaruh di kawasan ASEAN. Kehadiran USS America (LHA-6), kapal serbu amfibi, bersama dengan kapal penjelajah rudal berpemandu kelas Ticonderoga USS Bunker Hill (CG-52) dan kapal perusak kelas Arleigh Burke USS Barry (DDG- 52) dikirim untuk mengakhiri “perilaku intimidasi” China diperairan yang sedang dipersengketan antara Malaysia dengan China. Trump tentu saja berkeinginan agar Malaysia menjadi “sekutunya”. Bagaimana dengan Indonesia? Ini yang menarik untuk dibahas. Mesra nya hubungan China dengan Indonesia tentu saja sudah diketahui oleh Amerika, yang sudah lebih dahulu bermesraan dengan Indonesia. Tapi bagi Amerika, Indonesia tetap merupakan negara yang masuk dalam daftar prioritas untuk tidak “bermusuhan”, karena untuk diajak mesra saat ini mungkin teramat sulit.
Dukungan dan pengaruh Indonesia di kawasan ASEAN tentu masih sangat diperhitungkan. Amerika, paham akan hal tersebut. China saat ini pasti memiliki rasa percaya diri yang tinggi terhadap “keberpihakan” Indonesia kepada mereka. Perang antara Amerika dan China di Laut Cina Selatan sudah seperti bisul yang akan pecah. Selat Malaka akan menjadi kunci kemenangan. Dan kunci itu, Indonesia yang pegang!
Indonesia menurut saya harus proaktif menyikapi situasi ini. Bukan zamannya lagi terbelenggu dengan sikap netral yang sebenarnya juga tidak jelas dimana kenetralannya. Politik bebas aktif sepertinya sudah “basi”. Semua negara hari ini berlomba lomba untuk membangun aliansi aliansi strategis. Pemerintah harus berani untuk kemudian bernegosiasi secara tegas terhadap lobby lobby ala Trump. Cerita telepon teleponan dengan Trump, bantuan alat kesehatan menghadapi pandemi corona dan sebagainya harus dilihat sebagai bentuk rayuan Trump agar Indonesia memberi dukungan kepadanya. Boleh begitu? Tentu saja boleh. Pemerintah langsung saja membuka ruang bernegosiasi berikut transaksi dengan memberikan daftar permintaan kita kepada Trump. Tidak sulit bukan? Lagipula, Presiden Soekarno sudah pernah mencontohkannya ketika Presiden Amerika saat itu John F Kennedy ingin membebaskan pilot Amerika Alan Pope yang terlibat pemberontakan PRRI Permesta. 10 pesawat Hercules tipe B yang terdiri atas 8 pesawat kargo dan 2 tanker,pencabutan embargo ekonomi kala itu yang dilakukan oleh Amerika terhadap Indonesia, belum lagi suntikan dana termasuk 37.000 ton beras dan ratusan persenjataan yang dibutuhkan Indonesia saat itu, adalah harga yang harus dibayar oleh John F Kennedy kepada Indonesia !
Kalau kemudian Xi Jinping juga melakukan hal yang sama, meminta ketegasan Indonesia untuk berpihak padanya dengan mengungkit ungkit hutang pinjaman, pembangunan jalan tol, tambang dan sebagainya, Pemerintah tidak perlu panik. Indonesia adalah negara berdaulat, langsung saja kita tulis daftar permintaan kita dengan tegas, kalau perlu ditulis dengan huruf besar, di bold dan diberi warna terang.
Sikap seperti itu rasanya tidak mustahil untuk dilaksanakan. Indonesia adalah bangsa pejuang, petarung nan gagah berani. Sejarah sudah membuktikannya. Tentu saja akan sangat menarik, ketika dunia melihat Trump maupun Xi Jinping planga plongo melihat daftar permintaan kita. Kalau pepatah pernah bilang, gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati ditengah. Saya yakin, pepatah itu saat ini tidak berlaku. Karena Indonesia bukan pelanduk !!