Laut China Selatan (LCS) adalah perairan strategis yang paling diperebutkan oleh China ldan sejumlah negara di Asia Tenggara atau ASEAN
Seperti dilansir sejumlah sumber seperti CNN dan CNBC, Laut China Selatan dipandang sebagai perairan dengan sumber daya alam dan hasil laut yang melimpah. Nilai komoditas perairan ini disebut bisa mencapai triliunan dolar. Hal tersebutlah yang kerap memicu sengketa panas terhadap LCS oleh negara-negara kawasan.
Laut Cina Selatan terdiri atas gugusan kepulauan yang sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil tak berpenghuni.
Setidaknya terdapat enam negara yang memperebutkan Laut China Selatan, yakni China, Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam.
Upaya saling klaim tersebut menjadikan LCS sebagai sengketa kedaulatan yang melibatkan lebih dari dua pihak.
Laut China Selatan adalah laut tepi bagian dari Samudra Pasifik. Secara geografis, Laut China Selatan berbatasan dengan Brunei Darussalam, China, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam.
Organisasi Hidrografis Internasional (International Hydrographic Bureau) mendefinisikan Laut China Selatan memanjang dari arah barat daya ke timur laut, berbatasan dengan China dan Taiwan di sebelah utara, Filipina di sebelah barat, Malaysia dan Brunei di barat dan selatan, dan Vietnam di timur.
Merujuk LIPI, garis batas Laut China Selatan menyerupai huruf “U”, dimulai dari perairan Mainan, dan berakhir di sebelah timur perairan Taiwan.
Batas tersebut ditandai oleh China dengan demarkasi sembilan garis putus-putus (the nine-dash line), yang disebut juga sebagai lidah sapi atau “cow’s tongue“.
Sementara luas Laut China Selatan mencakup 3,685 juta kilometer persegi, mengutip Britannica.
Di dalamnya terdapat banyak terumbu karang, pulau karang (atol), ratusan pulau-pulau kecil tak berpenghuni, serta dua kepulauan besar yakni Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel yang diklaim oleh sejumlah negara.
Di sisi lain, topik soal LCS juga menjadi pembahasan panas dalam ASEAN Summit pada 2023, karena terkait wilayah sengketa milik negara-negara di Asia Tenggara.
Penyelesaian sengketa ini sulit terselesaikan meski telah melalui perundingan sampai melibatkan hukum international. Sebelumnya, China dan Filipina telah berselisih atas LCS dan telah mencapai keputusan internasional bahwa klaimnya tidak memiliki dasar hukum.
China terus membuat negara Asia sekitarnya murka dengan menambah menjadi 10 garis putus-putus yang melibatkan wilayah Taiwan, hingga kawasan LCS.
Selain itu, Keterkaitan Amerika Serikat (AS) dalam sengketa wilayah LCS tampak jelas dari aksi AS, Jepang, dan Australia melakukan latihan angkatan laut bersama di Laut Cina Selatan di lepas pantai barat Filipina pada pekan lalu.
Aksi ini dilakukan pasalnya sebuah kapal penjaga pantai China menyerang dengan meriam air ke kapal Filipina yang membawa perbekalan bagi pasukan di atas kapal perang yang telah ditempatkan di perairan dangkal di Laut Cina Selatan sejak tahun 1999.
Masalah ini turut menggiring Indonesia sebagai ketua ASEAN 2023 dalam memprakarsai Latihan militer tahunan ‘Super Garuda Shield’ di Jawa Timur. Latihan ini melibatkan Australia, Inggris, Jepang, dan Singapura yang erat terkait dengan aliansinya terhadap AS. Meski Indonesia menganut prinsip bebas aktif dan netral terkait masalah AS-China, sikap Indonesia tampak condong berpihak terhadap AS. Hal ini disebabkan Indonesia merasa dirugikan dari China yang semakin semena-mena.
Tiongkok sempat meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di Kepulauan Natuna yang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif Negara Asia Tenggara pada Desember lalu. Media South China Morning Post (SCMP) mencatat pengajuan dilakukan, sebab Tiongkok merasa kawasan tersebut merupakan wilayahnya.
Indonesia menyatakan bahwa berdasarkan Unclos, ujung selatan Laut Cina Selatan adalah ZEE-nya. Pada tahun 2017, Indonesia menamakan kawasan tersebut sebagai Laut Natuna Utara.
China masih bersikeras bahwa jalur tersebut termasuk dalam kawasannya ditandai dengan garis putus-putus. Di sisi lain, batasan tersebut dinyatakan tidak memiliki dasar hukum oleh Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag pada tahun 2016. Namun, ketetapan hukum internasional yang hanya sebatas menentukan benar dan salah tetap akan berlaku layaknya hukum rimba.
Laporan Kementerian Pertahanan China (MOD) mencatat LCS merupakan wilayah strategis baik secara perdagangan ekonomi dan kepentingan militer. Laut China Selatan diketahui menjadi salah satu pintu gerbang komersial yang krusial bagi sebagian besar industri logistik dunia, dan menjadi sub-wilayah ekonomi strategis di kawasan Indo-Pasifik.
Dilansir CFR Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan ini pada 2016 mencapai US$3,37 triliun. Bahkan perdagangan gas alam cair global yang transit melalui Laut China Selatan pada 2017 sebanyak 40 persen dari total konsumsi dunia.
Perairan ini juga kaya akan sumber daya hasil laut. Laut China Selatan dilaporkan memiliki cadangan minyak dan gas yang signifikan. Diperkirakan ada 11 miliar barel minyak yang belum dimanfaatkan, serta 190 triliun kaki kubik cadangan gas alam di perairan ini.
Secara militer, laporan MOD menyatakan penguasaan LCS memungkinkan Tiongkok untuk membangun dan mengembangkan pangkalan militer sebagai persiapan melawan pesaing regional eksternal seperti Amerika Serikat.
Kehadiran militer China di LCS akan mencegah akses musuh dan potensi serangan militer ke Tiongkok di masa depan.
Berdasarkan hal tersebut, ASEAN Summit kali ini dapat menjadi sarana diskusi sengketa wilayah LCS, yang dicaplok oleh China dan telah memicu ketegangan di Asia Tenggara. Penyelesaiannya memerlukan perundingan serius dan melibatkan hukum internasional, sementara China terus memperluas klaimnya dengan menambahkan garis putus-putus sebagai indikasi wilayahnya.
Negara-negara ASEAN harus bersatu untuk menghadapi klaim sepihak ini, karena China, dengan ekonomi besar dan wilayah luasnya, sulit dihadang secara individual. Keterlibatan Amerika Serikat dalam sengketa ini juga semakin terlihat, meningkatkan kompleksitas konflik LCS yang penting secara ekonomi dan militer.