Jakarta, Makronesia.id — Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya 21 terpidana kasus korupsi yang ditangani oleh KPK sedang mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (PK).
Penggiat anti korupsi seperti ICW mengingatkanj Mahkamah Agung (MA) agar tetap waspada. ICW dalam siaran persnya mengungkapkan, publik khawatir ini dijadikan jalan pintas oleh pelaku korupsi untuk terbebas dari jerat hukum.
“Banyak nama-nama besar, mulai Anas Urbaningrum, Setya Novanto, sampai pada OC Kaligis yang sedang berupaya menempuh jalur tersebut,” sebut rilis ICW yangd iterima Makronesia.id Ahad, 4 November kemarin.
Merujuk pada tahun 2019 saja, alih-alih menunjukkan pemberian efek jera yang maksimal justru MA malah mengurangi hukuman enam terpidana kasus korupsi pada tingkat PK (data terlampir. Red). Model pengurangan hukuman ini pun terbagi menjadi dua bagian, yakni pidana penjara dan pengurangan ataupun penghapusan uang pengganti. Ini sekaligus menegaskan dugaan selama ini yang timbul di tengah masyarakat bahwa lembaga peradilan tidak lagi berpihak pada pemberantasan korupsi. Pemberian efek jera pada pelaku korupsi memang harus menjadi fokus pada setiap pemangku kepentingan, salah satunya lembaga peradilan.
Dua data ICW menarik untuk dijadikan landasan argumen, pertama, data tren vonis pada tahun 2018 lalu menunjukkan bahwa rata-rata hukuman yang dijatuhkan pengadilan pada pelaku korupsi hanya 2 tahun 5 bulan penjara. Kedua, data terkait PK, sejak tahun 2007 sampai tahun 2018 setidaknya 101 narapidana dibebaskan oleh MA.
Melihat data di atas maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa kerja keras penegak hukum (mis: KPK) menjadi sia-sia jika pada saat persidangan pelaku korupsi justru mendapatkan pengurangan hukuman oleh majelis hakim. Padahal kasus-kasus yang diberikan pengurangan hukuman tersebut melibatkan elite politik dengan jabatan tertentu, contohnya Irman Gusman selaku mantan Ketua DPD RI, Patrialis Akbar yang mana merupakan mantan Hakim Konstitusi, hingga Angelina Sondakh mantan anggota DPR RI. Ketua MA mesti menaruh perhatian lebih pada persoalan ini, sebab sejak Hatta Ali menjabat (2012-2019), setidaknya sudah ada sepuluh terpidana korupsi yang ditangani KPK diberikan keringanan hukuman pada tingkat PK. Sebab, jika fenomena pemberian keringanan hukuman bagi pelaku korupsi terus menerus terjadi maka tingkat kepercayaan publik pada MA akan semakin menurun. Ini terbukti pada survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dan ICW pada Oktober tahun lalu, yang mana MA mendapatkan kurang dari 70% dari sisi kepercayaan publik. Selain itu Ketua MA juga mestinya lebih selektif ketika menentukan komposisi majelis yang akan memeriksa permohonan PK dari para terpidana korupsi.
ICW mencatat, setidaknya dalam sepuluh putusan PK yang meringankan narapidana korupsi terdapat hakim yang kerap memberikan putusan ringan. Misalnya LL Hutagalung, diketahui telah meringankan hukuman dari lima terpidana korupsi (Tarmizi, Patrialis Akbar, Rusli Zainal, OC Kaligis, dan Sanusi). Lalu Andi Samsan Nganro, yang bersangkutan diketahui meringankan hukuman dari empat terpidana korupsi (Tarmizi, Patrialis Akbar, Angelina Sondakh, dan Cahyadi Kumala). Selain itu Sri Murwahyuni yang juga sama telah meringankan hukuman dari empat terpidana korupsi (Choel Mallarangeng, Suroso Atmomartoyo, Tarmizi, dan Patrialis Akbar).
Selama ini publik memahami bahwa upaya pelaku korupsi untuk menghindar dari jerat hukum di peradilan cukup beragam. Misalnya saja dengan mengajukan gugatan praperadilan, hal ini disebabkan putusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan penetapan tersangka masuk pada objek praperadilan.
“Sudah barang tentu, dengan maraknya pengurangan hukuman pada tingkat PK akan membuat pelaku korupsi berbondong-bondong mencoba peruntungannya meski tidak didukung dengan bukti baru yang cukup,” Sebut rilis ICW.
Untuk syarat PK sendiri sebenarnya telah diatur secara tegas dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang berbunyi bahwa 1) Apabila terdapat keadaan/novum baru; 2) putusan yang keliru; 3) kekhilafan dari hakim saat menjatuhkan putusan. Namun dalam beberapa kesempatan syarat itu kerap diabaikan, sehingga putusan yang dihasilkan dinilai jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat.
Dalam rilisnya itu, ICW menuntut agar: 1. Ketua Mahkamah Agung harus selektif dalam menentukan komposisi majelis yang akan menyidangkan Peninjauan Kembali terpidana kasus korupsi; 2. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial mengawasi proses jalannya Peninjauan Kembali di MA; 3. Majelis Hakim di Mahkamah Agung harus menolak seluruh permohonan Peninjauan Kembali dari para terpidana kasus korupsi. (AM/BA)