Makronesia.id, Jakarta – Di sektor energi Asia Tenggara, bahan bakar fosil masih mendominasi, mencakup sekitar 83% dari campuran energi wilayah ini. Energi terbarukan baru menyumbang 14,2%, dengan energi surya yang masih belum dimanfaatkan secara optimal. Meskipun Vietnam telah mencapai kemajuan signifikan dengan 20,5% dari energi terbarukannya berasal dari surya, Indonesia masih jauh tertinggal dengan kontribusi kurang dari 1%.
Sebagian besar wilayah Indonesia yang terpencil, sekitar 40%, tersebar di pulau-pulau di luar Jawa. Tantangan geografis ini membuat jaringan listrik nasional sulit mencapai daerah-daerah tersebut dalam waktu dekat. Infrastruktur yang rumit ini menuntut pemanfaatan sumber daya terbarukan yang melimpah secara efektif.
Sebuah pembangkit listrik berkapasitas satu gigawatt mampu menyediakan listrik untuk sekitar 750.000 rumah. Saat ini, peradaban global bergantung pada sekitar 17,7 terawatt daya dari berbagai sumber energi—minyak, batu bara, gas alam, serta alternatif seperti surya, angin, dan tenaga air.
Helen Wong, Managing Partner di AC Ventures, berbicara mengenai pandangan energi surya di Indonesia. Sebagai negara terpadat di Asia Tenggara, Indonesia menyumbang 40% dari konsumsi energi wilayah tersebut.
Prospek energi surya di Asia Tenggara sangat menjanjikan. Wilayah ini memiliki potensi teknis sebesar 17 terawatt—lebih dari 20 kali kapasitas yang diperlukan untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2050. Namun, kapasitas energi terbarukan saat ini hanya mencapai 99 gigawatt.
Pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG) meluncurkan Kemitraan Transisi Energi yang Adil Indonesia (JETP Indonesia) pada KTT G20 di Bali. Kesepakatan ini bertujuan menghimpun dana sebesar US$20 miliar untuk mengurangi emisi sektor energi di Indonesia. Salah satu fokusnya adalah memensiunkan pembangkit listrik batu bara yang saat ini menyumbang 60% dari campuran energi lokal. Targetnya adalah mencapai 19%-21% energi terbarukan pada tahun 2030.
Helen Wong menjelaskan, “Keperluan mendesak untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim sangat jelas, terutama di Asia Tenggara. Indonesia perlu mengatasi overinvestasi dalam batu bara yang mengakibatkan surplus listrik murah. Diskusi JETP seharusnya dianggap sebagai dorongan bagi investor iklim global.”
Optimis tentang masa depan energi surya di Indonesia, Helen menjelaskan bahwa AC Ventures sering menemukan proyek-proyek surya yang terbagi dalam tiga kategori: skala utilitas, komersial dan industri, serta residensial. Saat ini, sektor komersial dan industri menjadi yang paling menjanjikan.
“Xurya, perusahaan dalam portofolio kami, adalah pemain terbesar di pasar komersial dan industri Indonesia saat ini, menyediakan energi bersih untuk perusahaan multinasional dengan kapasitas sekitar 200 megawatt,” kata Helen.
Helen menekankan pentingnya teknologi untuk meningkatkan hasil energi surya, seperti pelacak dan perangkat lunak untuk evaluasi atap yang cocok. Penggunaan IoT dalam audit proyek energi terbarukan juga semakin penting untuk mendukung pembiayaan hijau.
“Pembiayaan sangat penting karena biaya awal untuk proyek surya cukup besar. Kita perlu memahami bagaimana perusahaan dapat mengelola pengembalian investasi awal mereka dan arus kas mereka,” jelasnya.
Dukungan dari lembaga keuangan pembangunan sangat besar, dengan potensi solusi pembiayaan yang bervariasi untuk memperkuat industri ini. Koneksi grid yang lebih baik diharapkan tercapai pada tahun 2028, dengan investasi lebih dari US$300 miliar diperlukan untuk distribusi dan transmisi energi terbarukan.
“Grid perlu ditingkatkan untuk menangani sumber energi yang lebih intermiten seperti surya,” tambah Helen. “AC Ventures berkeinginan untuk mendukung transisi energi di Asia Tenggara secara luas.” (EHS-01)