OMNIBUS LAW DALAM PERSPEKTIF PERTAHANAN NEGARA

0
3515

Ditulis oleh : Ilham Prasetya Gultom, S.H. M.Han, aktif sebagai Advokat, Pemerhati Pertahanan, lulusan Universitas Pertahanan.

Kata Omnibus Law mencuat kepermukaan semenjak Presiden Joko Widodo menyampaikan kata itu saat pidato pelantikan Presiden Republik Indonesia yang kedua. Presiden Joko Widodo kemudian mengulanginya lagi saat memperkenalkan Yasona Laoly sebagai “pembantu-nya” di bidang Hukum dan Ham.

“Saya mengharapkan nanti mengawal omnibus law  untuk Undang undang Cipta Lapangan Kerja dan juga Undang undang Pemberdayaan UMKM” ujar Presiden.

Omnibus berasal dari bahasa Latin omnis yang berarti banyak. Omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once ; including many thing or having varius purposes. (Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A.Garner). Dalam konteks UU maka dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu, tercantum dalam berbagai UU, ke-dalam satu UU payung.  Omnibus law menjadi semacam “Kodifikasi” peraturan yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan  yang mencakup berbagai peraturan semula (umbrella act).

Omnibus Law sendiri lahir dan menjadi tradisi dalam sistem hukum Common Law. Namun dengan situasi dunia digital dan global saat ini, semestinya  Indonesia harus berani keluar dan menerobos ruang batas tersebut, walaupun Indonesia merupakan negara penganut sistem hukum Civil Law. Sebagai contoh, Irlandia membuat satu Undang Undang Omnibus Law  untuk menghapus 3225 Undang undang. Filiphina telah menerbitkanThe Omnibus Investmen Code. Masih di Asia Tenggara, Vietnam juga tidak mau kalah. Mereka telah melakukan tehnik pembuatan Omnibus Law dalam reformasi regulasinya.

Omnibus Law  dan Investasi

Lapangan kerja dan pemberdayaan UMKM sudah pasti bersinggungan dengan investasi. Investasi asing merupakan penyumbang lapangan kerja yang paling signifikan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi pada kuartal pertama 2019  tumbuh 5,3% menjadi Rp.195,1 triliun. Capaian ini menjadi realisasi investasi terendah Indonesia dalam kurun 2014-2019. Dari Rp. 195,1 Triliun tersebut, PMA memberikan kontribusi Rp.107,9 Triliun dan PMDN Rp. 87,2 Triliun. Untuk triwulan I tahun 2019, ada lima besar Negara yang memberikan investasi kepada Indonesia. Singapura menjadi pemuncak dengan nilai investasi $ 1,7 M. Di posisi kedua, China dengan nilai investasi $ 1,2M. Jepang menyusul di posisi ketiga, sebesar $ 1,1 M. Negara jiran Malaysia bertengger di posisi ke empat sebesar $ 0,7 M. Pada posisi ke lima, Hongkong dengan investasi sebesar $ 0,6 M.

Perang dagang yang masih berlangsung antara Amerika Serikat dengan China ternyata tidak berdampak signifikan bagi Indonesia.  The Washington Post (21/7/2019),  pernah melansir berita tentang  rencana keluarnya 50 an lebih perusahaan multinasional dari China. Tujuan mereka adalah Vietnam, Taiwan dan beberapa negara di Asean, tidak termasuk Indonesia. Perusahaan perusahaan tersebut memandang bahwa Indonesia tidak memberikan jaminan kepastian hukum dalam bidang perijinan dan pertanahan. Regulasi yang ada saat ini mereka nilai sangat tidak menguntungkan. Tumpang tindih peraturan, ditambah dengan lamanya perijinan keluar, serta biaya yang cukup tinggi menjadi alasan kuat untuk  tidak membuka perusahaannya di Indonesia. Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan resah dalam menyikapi disharmonisasi peraturan terkait perijinan diberbagai sektor tersebut. Ada 72 Undang undang yang harus dirombak terkait ijin dibidang investasi. Omnibus Law pun kemudian mencuat dari kantor Kementerian Keuangan.

Dari Sudut Pandang Pertahanan Investasi Asing Dapat Menjadi Ancaman

Mekanisme kerja bidang pertahanan sudah dimulai ketika muncul niat dari sebuah Negara lain terhadap Indonesia. Hal ini berbeda dengan aspek hukum, Niat belum bisa dijadikan dasar, harus ada  tindakan permulaan. Berbicara tentang investasi asing sebagai ancaman dapat dilihat dalam spektrum pertahanan dengan pendekatan idiologi, politik, ekonomi,sosial, budaya dan juga hukum.  Penguasaan suatu Negara terhadap Negara lain tidak lagi dilakukan dengan invasi militer. Penaklukan Negara sudah dapat dilakukan dengan tindakan penghancuran dari dalam Negara itu sendiri. Sebagai contoh, sewaktu Singapura berniat dan kemudian berinvestasi senilai $ 1,7 M, atau China yang berinvestasi sebesar $ 1,2 M, maka sepatutnya Indonesia sudah harus mengetahui maksud dan tujuan sebenarnya yang ingin dicapai oleh kedua Negara tersebut terhadap Indonesia. Deteksi dini mutlak harus dilakukan oleh Pemerintah melalui badan atau lembaga yang dapat memperkirakan hal tersebut. Kita mengetahui bahwa investasi asing pada dasarnya adalah mempersilahkan Negara lain untuk masuk sampai ke ruang paling privat di Negara kita. Membuka pintu pintu yang semula tertutup rapat, dan kemudian menunjukkan semua ruangan kamar yang ada, bahkan ruangan yang paling tersembunyi juga terpaksa harus diperlihatkan.

Para Investor disambut hangat, dengan senyuman yang paling menawan, demi mendapatkan modal yang diharapkan bisa segera memutar dan menopang roda perekonomian Negara. Apapun situasi yang terjadi,  Pemerintah seharusnya tetap bisa bersikap elegan. Berani dalam negosiasi dan menunjukkan sebagai Negara yang memiliki kedaulatan penuh. Tidak dapat dipungkiri, Negara Negara lain begitu berhasrat kepada Indonesia. Mereka melihat Negara kita seperti gadis sexi yang harus “dikuasai” atau minimal  “dibawah kendali”. Indonesia memang masih butuh investasi asing dalam rangka membiayai pembangunan nasional. Berdasarkan Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, total kebutuhan biaya infrastruktur Indonesia adalah sebesar Rp5.000 triliun. Cilakanya, APBN ternyata hanya mampu membiayai 8,7 persen dari total kebutuhan sektor infrastruktur tersebut. Selain membiayai pembangunan nasional, Indonesia membutuhkan investasi asing yang berorientasi ekspor yang dikenal sebagai efficiency-seeking investment. Setiap tahun nilai ekspor terus menurun dan tentu saja kondisi ini akan memperbesar deficit neraca perdagangan Indonesia. Hal ini disebabkan lemahnya diversifikasi produk ekspor kita yang sangat tergantung dengan komoditas yang justru harganya tidak stabil. Ekspor industri manufaktur kita mengalami tren penurunan, dan ini berbanding terbalik dengan Malaysia dan Thailand.

Bila tidak disikapi dengan cermat, investasi asing ini memang bak buah simalakama. Dimakan mati ibu, tidak dimakan mati ayah. Investasi asing ditutup, tapi butuh modal besar untuk membangun dan menggerakkan perekonomian. Investasi asing dibuka dan dipermudah, kedaulatan Negara menjadi taruhannya. Sebagai contoh,  Negara yang menanamkan investasinya dibidang pertambangan memulai kegiatannya dari pemetaan wilayah. Pemetaan wilayah bersinggungan langsung dengan hutan, gunung, pantai, pemukiman penduduk. Betapa banyak data yang diperoleh hanya dengan satu kegiatan pemetaan. Dan sebagai tuan rumah yang baik, kita dengan senang hati menemani sang tamu untuk melihat lebih jauh isi perut bumi kita yang terkadang  melebihi ekspektasi mereka. Tentunya dengan satu harapan, modal segera dikucurkan.

Investasi asing dapat memicu konflik antara pemerintah pusat dengan daerah. Konflik antar masyarakat dan juga konflik dengan Negara investor itu sendiri. Konflik masyarakat dengan pemerintah juga  cukup berbahaya. Jangan sampai untuk kepentingan asing, Negara berbenturan dengan rakyatnya. Hal hal seperti ini yang sudah harus diperkirakan sewaktu ada niatan suatu Negara berinvestasi di Negara kita. Skema konflik ini tentu saja masuk dalam grand design menguasai suatu Negara, dan mereka menjadikan Investasi sebagai pintu masuk.

OMNIBUS LAW KEBUTUHAN ATAU PESANAN ASING ?

Dari gambaran diatas, sekilas Omnibus Law menjadi perlu untuk diterapkan di Indonesia. Tidak saja sebagai pemecah tumpang  tindihnya regulasi, tetapi diharapkan Omnibus Law mampu menjadi pengobat kepastian hukum. Tapi persoalan akan muncul. Bagaimana kedudukan Undang undang hasil Omnibus law ini? Dalam teori perundang undangan, kedudukan UU yang lahir dari konsep Omnibus Law ini belum diatur. Indonesia tidak menganut UU Payung yang bisa mengatur secara menyeluruh dan memiliki kekuatan terhadap aturan yang lain. Menurut Jimmy Z Usfunan Pakar Hukum Tata Negara, harus diberikan legitimasi dalam Undang undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang undangan, dengan cara melakukan revisi.

Bila kemudian Omnibus Law merupakan kebutuhan Negara untuk menjaring Negara investor, maka diperlukan gerakan super cepat untuk  merealisasikannya. Perlu team besar untuk mengerjakan proyek ini. Tidak hanya melibatkan pakar pakar hukum, tapi melibatkan seluruh pakar  diberbagai bidang. Sampai pada titik ini, potensi konflik akan sangat tinggi. Berbagai latar belakang, berbagai kepentingan terselubung akan beradu.  Oleh karena itu, moralitas  dan sikap kenegarawan mutlak menjadi syarat utama  bagi siapapun yang bergabung di team ini.

Integritas berbangsa dan bernegara menjadi taruhan. Dari situ akan kelihatan kepentingan siapa sebenarnya yang sedang dikerjakan. Jangan sampai Omnibus Law  merupakan  skenario Negara luar yang sangat berkepentingan terhadap Indonesia. Mengkampanyekan konsep Omnibus Law sebagai solusi menggaet Negara Negara pemodal melalui rasionalisasi pakar pakar hukum. Dan kemudian menjadikan pertemuan pertemuan ilmiah sebagai  panggung pembenaran konsep ini. Para pakar pertahanan termasuk intelijen sudah harus memiliki pendapat yang utuh dan komprehensif menyikapi Omnibus Law. Kemampuan mendeteksi dan menganalisa konsep Omnibus Law dan kemanfaatannya sangat diperlukan dalam rangka menyusun Cara Bertindak (CB)  bagi para pengambil keputusan, utamanya bagi Presiden Republik Indonesia.

Artikulli paraprakHUAWEI Mate 30 Pro Resmi Diluncurkan di Indonesia
Artikulli tjetërSecara Global Penjualan Hankook Tire Terus Meningkat, Bagaimana di Indonesia?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini