Jakarta, Makronesia.id – Kejelasan atas kesimpangsiuran kabar mengenai proses divestasi PT Freeport Indonesia kembali mencuat. Para pemangku kepentingan bertanya-tanya atas proses tahapan demi tahapan yang dilakukan oleh pemerintah.
Ketua Umum PERHAPI, Tino Ardhyanto mengungkapkan bahwa pihaknya sangat mendukung langkah pemerintah melalui PT INALUM untuk merealisasikan divestasi melalui aksi korporasi yang telah mencapai tahapan Sales Purchase Agreement (SPA).
Sehingga, pihak terkait perlu bersama-sama mengawal dan memastikan bahwa tahapan ini terus berlangsung, hingga terwujudnya kepemilikan saham 51 persen atas PT Freeport Indonesia. Dengan atau tanpa harus menambah kewajiban finansial yang telah disepakati bersama dalam SPA.
Untuk itu Tino juga menghimbau agar seluruh pihak yang terlibat dalam proses divestasi ini dapat menyampaikan informasi secara terbuka, sehingga dapat mengurangi kesimpangsiuran di dalam pemahaman para pemangku kepentingan yang lain.
“Maksudnya, istilah keterbukaan dalam konteks ini adalah keterbukaan dari Pemerintah dan Legislatif untuk melihat proses divestasi ini lebih makro, sebab ini untuk kepentingan nasional,” kata Tino, melalui keterangan tertulisnya, Jumat (19/10).
Pemahaman bersama dari pemerintah dan legislatif mengenai perlunya realisasi divestasi kepemilikan saham PT Freeport Indonesia untuk manfaat yang lebih baik sangat penting.
“Kesatuan sikap dari pemerintah dan Legislatif dalam proses realisasi divestasi ini dapat menjadi penggerak utama. Dan, PERHAPI siap untuk menjadi mitra strategis di dalam mengawal proses ini,” tegas Tino.
Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR-RI, Gus Irawan Pasaribu mengatakan rencana pemerintah menyerap divestasi saham 51 persen PT Freeport Indonesia hanya sebuah angan-angan. Pasalnya hingga saat ini negosiasi perusahaan raksasa tambang Amerika Serikat (AS) itu dengan pemerintah masih menemui jalan buntu.
Anggota DPR dari Partai Gerindra ini menegaskan hingga saat ini saham Freeport yang dikuasai pemerintah baru hanya 9,36%. “Saya pastikan, saham pemerintah itu masih 9,36% belum di atas 50%. Jadi saham yang 50% yang dikatakan pemerintah itu hanya angan-angan, karena sampai saat ini belum terbukti,” ujar Gus Irawan dalam acara seminar energi, di Kampus Unika Santo Thomas, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu.
Mantan Dirut Bank Sumut ini mengatakan pihaknya juga mendorong pemerintah bertindak tegas kepada Freeport terkait kewajiban membangun pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri sesuai dengan UU Nomor 4/2009, tentang pertambangan mineral dan batubara.
“Artinya, barang mentah yang dihasilkan perusahaan tambang harus diolah di dalam negeri bukan dikirim ke luar negeri,” terang dia.
Menurutnya, UU itu juga mewajibkan setiap perusahaan untuk membangun smelter untuk pengolahan bahan mentah tambang oleh perusahaan. Pada aturan tersebut, perusahaan diberi waktu untuk membangun smelter selama 5 tahun. Namun, hingga UU itu diundangkan, smelter tersebut juga belum tersedia.
“Aturan itu diundangkan pada 2009, seharusnya pada 2014 PT Freeport sudah memiliki smelter, namun pada kenyataannya belum ada,” ujarnya.
Komisi VII DPR juga mendesak pemerintah agar mengganti sistem kontrak menjadi izin. Menurutnya, apabila sistem izin diberlakukan, maka posisi negara semakin kuat dibandingkan dengan kontrak. Tentunya, ada ketentuan yang harus dipenuhi oleh perusahaan untuk mendapatkan izin.
Sehingga, apabila mereka melanggar izin, pemerintah lebih leluasa untuk mencabut izin. Selama ini, Negara sering kalah dengan perusahaan apabila sengketa, karena masih berlakunya sistem kontrak,” katanya.
Gus Irawan menduga, PT Freeport tidak akan pernah mau membangun smelter, demi menutupi jumlah bahan mentah yang dibawa ke luar negeri.
”Kalau pemurniannya dilakukan di dalam Negara, tentunya jumlahnya akan diketahui. Selama ini banyak yang tidak diketahui,” tutupnya. (EPAN HASYIM SIREGAR)