JAKARTA, MAKRONEDIA.ID- Mantan pimpinan KPK Haryono Umar menegaskan jika dalam memutuskan seseorang melanggar etik, menjadi tersangka dan atau kasusnya dilanjutkan dalam kasus korupsi itu harus diputuskan secara kolektif kolegial. Tak bisa diputus oleh satu, dua, tiga, empat orang, melainkan kelima pimpinan harus kompak.
“Jadi, satu pun pimpinan KPK yang menolak, maka kasus itu tak bisa dilanjutkan untuk digelar perkaranya. Itu sudah diatur dalam UU No.30 tahun 2002 tentang KPK,” demikian Haryono Umar dalam dialektika demokrasi “Tantangan Pimpinan KPK Baru, Mampu Benahi Internal dan Berantas Korupsi?” bersama anggota Komisi III DPR RI (FPDIP) Masinton Pasaribu, di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Seperti kasus dugaan pelanggaran etik Irjen (Polri) Firli Baharu, yang disebut Capim KPK Alexander Marwata, tidak diketahui oleh tiga pimpinan KPK (Alexander, Agus Rahardjo, dan Basaria Panjaitan). KPK Rabu (11/9) kemarin kirim surat ke Komisi III DPR bahwa Irjen Firli telah melanggar etik.
Karena itu menurut Haryono, pimpinan KPK itu harus figur yang kompeten dan memaham hukum sejak menerima Dumas (pengaduan masyarakat), pengumpulan bukti-bukti, keterangan, saksi, beracara dan sebagainya. Dengan begitu, maka akan mampu mengendalikan dan mengarahkan apa yang akan dilakukan oleh pegawai KPK.
Apalagi kata Haryono, kasus yang diungkap banyak yang sudah diatas lima (5) tahun. “Jadi, menetapkan kasus itu harus sesuai standar operasional (SOP) yang ditetapkan UU. Setiap tahapan kasus itu pun selalu ada gelar perkara. Tak bisa keluar dari aturan,” ujarnya.
Haryono berharap Komisi III DPR bisa memilih 5 pimpinan KPK yang terbaik dari 10 yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan sekarang ini. “Siapapun yang terpilih selama memenuhi prosedur dan aturan yang ada, maka harus diterima oleh KPK. KPK itu hanya pelaksana UU,” jelasnya.
Oleh sebab itu kata dia, revisi UU KPK yang sudah disetujui pemerintah dan DPR itu tinggal dibahas secara transparan. ’”Demo-demo penolakan sudah tak perlu lagi karena Presiden Jokowi sudah menerbitkan Surpres (surat presiden). Jadi, tinggal dibahas dengan transparan dan melibatkan masyarakat luas,” pungkasnya.
Masinton menilai surat KPK terhadap Irjen Firli tersebut sama halnya saat uji kelayakan dan kepatutan terhadap Jenderal (Pol) Budi Gunawan untuk menjadi Kapolri di Komisi II DPR pada 2015 silam.
Khusus kasus Irjen Firli ini terjadi pada Mei 2018. “Kenapa sekarang? Kalau begini KPK akan menjadi Komisi Penghambat Karir, dan WP KPK bukan lagi wadah pegawai, tapi wadah politik pegawai,” katanya kecewa. (SP/BA)