JAKARTA, MAKRONESIA.ID – Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law yang telah masuk ke pembahasan di Badan Legislasi terus memunculkan kritisi. Salah satunya dari anggota Baleg DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah yang mempertanyakan di mana letak makna penyederhanaan dan percepatan RUU Cipta Kerja, setelah melihat begitu banyak pasal dalam RUU ini yang memberi amanah pembentukan peraturan turunan.
Ledia menjabarkan kembali bahwa tujuan mendasar RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam draft RUU dan Naskah Akademik adalah semangat untuk memenuhi hak kesejahteraan bagi warga negara Indonesia dengan membuka peluang kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia dan sekaligus untuk menggairahkan iklim investasi di negeri ini.
Kedua hal tersebut diyakinkan akan mampu terwujud lebih baik bila ada kemudahan dan penyederhanaan pada regulasi yang saat ini tersebar pada hampir 80 jenis Undang-Undang sektoral yang berdiri sendiri. Melakukan revisi Undang-Undang secara terpisah tentu memakan waktu, tenaga dan pikiran yang sangat besar, sehingga metode omninbuslaw pun dipilih demi mendapat dua hal mendasar dari satu perubahan besar dalam sistem peraturan perundangan di negeri ini, yaitu Penyederhanaan dan Percepatan.
Namun, sayang, kata Ledia, pada kenyataannya naskah RUU ini justru menunjukkan semangat yang bertolak belakang. “Banyaknya amanah pembentukan peraturan pelaksana menunjukkan bahwa semangat penyederhanaan, memutus rantai birokrasi, menghilangkan tumpang tindih peraturan dan semangat percepatan dalam RUU ini tidak nampak. Bukan hanya puluhan bahkan ratusan amanah peraturan pelaksana muncul di RUU ini, baik dalam bentuk amanah pembentukan PP, Perpres hingga Perda.”
Sekretaris Fraksi PKS ini kemudian mengingatkan bahwa selama ini ratusan Undang-Undang yang sudah disahkan di negeri ini seringkali terhambat implementasinya karena lambat dan tak kunjung hadirnya peraturan pelaksana yang menjadi amanah Undang-Undang.
Ledia lantas memberi contoh UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang disahkan tahun 2014 tetapi membutuhkan waktu lima tahun untuk bisa diimplementasikan karena peraturan pelaksananya baru keluar pada 2019 lalu.
Begitu pula Undang-Undang Tentang Penyandang Disabilitas yang telah disahkan sejak tahun 2016 dan mengamanahkan 15 peraturan pelaksana namun hingga saat ini baru menghasilkan 2 PP saja terkait Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas serta PP terkait Akomodasi yang Layak.
“Sementara amanah UU No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas terkait rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial yang itu semua merupakan kebutuhan mendasar bagi para penyandang disabilitas sampai saat ini belum ada. Tentu hal ini akan menghambat pelaksanaan hak-hak bagi para penyandang disabilitas di negeri ini,” kata Ledia
Lebih memperihatinkan lagi bahkan peraturan pelaksana terkait Pengelolaan Satuan Pendidikan Non Formal yang merupakan amanah UU Sisdiknas No 10 Tahun 2003 pasal 52 hingga saat ini belum juga dimunculkan.
“Bayangkan tujuh belas tahun sudah berlalu dari pengesahan UU Sisdiknas ini, namun kita masih punya peer terkait peraturan pelaksana yang tak kunjung dikeluarkan pemerintah. Ini jelas menunjukkan betapa keberadaan amanah peraturan pelaksana seringkali justru menjadi penghambat implementasi purna dari suatu Undang-Undang.”
Karena itu, maka aleg dapil Kota Bandung dan Kota Cimahi ini meminta agar pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini kembali ke semangat awal yang menjadi tujuan pembentukan Undang-Undang yaitu memberi kemudahan dan percepatan cipta kerja bagi tenaga kerja Indonesia.
“Pasal-pasal pada RUU ini harus dibuat lebih taktis dan fokus pada upaya memberi kemudahan dan percepatan penyediaan kesempatan kerja bagi para tenaga kerja Indonesia serta kemudahan dan penyegaran iklim investasi untuk mendukung pemenuhan hak kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.”