Ditulis oleh : ILHAM PRASETYA GULTOM, Advokat, Pemerhati Pertahanan, Alumnus Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia
Pasca FIFA mencabut sanksi untuk Indonesia pada 13 Mei 2016 yang lalu, prahara demi prahara sepertinya enggan meninggalkan dunia sepakbola kita. Masalah selalu saja datang ditengah seretnya prestasi Timnas. Mafia sepakbola, kerusuhan antar supporter, gaji pemain yang tidak dibayar, suap dan pengaturan skor sampai di level liga terendah pun bermunculan. Puncaknya, elite PSSI ditangkap Satgas Anti Mafia Bola dan dihukum penjara dalam kasus pengaturan skor. Tak pelak, situasi ini benar benar telah menghancurkan kepercayaan publik kepada PSSI selaku otoritas tertinggi sepak bola Indonesia.
PSSI bergerak, Kongres Luar Biasa (KLB) digelar pada hari sabtu 2 November 2019 di Surabaya. Hasilnya, Mochammad Iriawan atau lebih dikenal dengan panggilan Iwan Bule, Komisaris Jenderal Polisi terpilih sebagai Ketua Umum PSSI ke 17. Banyak yang pesimis. Kekhawatiran muncul, jangan sampai di tangan Iwan Bule, PSSI hanya dijadikan sebagai pengisi waktu selepas pensiun dari dinas Kepolisian tahun depan, atau persinggahan sesaat untuk tujuan politik tertentu. Kekhawatiran tersebut bukan tidak beralasan. Kepentingan politik selalu menarik sewaktu disandingkan dengan sepakbola, apalagi sepak bola Indonesia. Tapi penulis berpikiran positif. Harapan memperbaiki sepak bola Indonesia bisa ditumbuhkan dibawah kepemimpinan Komjen Pol. Mochammad Iriawan. Sebagai Bhayangkara Negara, yang telah mengabdikan hidupnya selama ± 35 tahun dengan penuh dedikasi dan berbagai prestasi, kita patut untuk memberikan kesempatan bagi beliau untuk membuktikan kemampuannya memimpin PSSI. Apalagi saat ini Komjen Pol. M.Iriawan juga menjabat sebagai Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional ( LEMHANAS). Hal ini menjadi menarik bagi penulis. Sepakbola tidak saja sebagai olahraga permainan paling popular di dunia. Tetapi sepakbola juga menjadi alat perjuangan bangsa bangsa diberbagai belahan dunia ini. Satu harapan penulis titipkan, selain prestasi yang mengkilap, sepakbola harus bisa menjadi media perjuangan dan pemersatu bangsa dibawah kepemimpinan Ketua Umum PSSI yang baru ini.
Sepakbola sebagai alat perjuangan
“Verboden voor Inlanders en Hounden” (Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing). Sebuah tulisan di papan pengumuman terpampang di beberapa lapangan sepakbola di Batavia. Begitulah cara Pemerintah kolonial Belanda menunjukkan superioritas kulturalnya. Golongan pribumi/anak bangsa (inlander) menempati kasta ketiga dalam susunan masyarakat kolonial. Di bawah golongan Eropa dan Timur Asing. Pembagian kasta memunculkan diskriminasi hak dan kewajiban pada tiap golongan dalam beragam aspek kehidupan: pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan olahraga. Diskriminasi dalam bidang olahraga tampak dalam larangan bagi anak bangsa untuk bergabung ke perkumpulan klub-klub sepakbola (bond atau perserikatan golongan Eropa). Itulah politik ras dalam sepakbola saat itu.
Mohammad Husni Thamrin (16 feb 1894 – 11 Jan 1941), seorang pahlawan nasional yang dizamannya pernah menjadi anggota Volksraad (dewan rakyat) selama tahun 1927-1940 mengisahkan, bahwa sepak bola sebagai alat perjuangan dan penumbuh rasa kebangsaan untuk golongan pribumi. Tidak sekedar berjuang dalam ranah politik, MH.Thamrin juga turun ke lapangan sebagai pemain sepakbola. Thamrin tak hanya berperan sebagai jembatan dalam politik, melainkan juga dalam lapangan sepakbola. Dia mendukung penuh pergantian nama VBB menjadi VIJ. Bagi Thamrin, VIJ adalah wujud revolusioner dan kebangsaan. Hubungan Thamrin dan VIJ terus terbangun. Dia masuk struktur VIJ sebagai pelindung (beschermer). Dia lalu menghubungkan VIJ dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya seperti Otto Iskandardinata. Otto adalah kawan Thamrin di Volksraad. Otto juga pecandu bola sama seperti Thamrin. Dia orang Sunda kelahiran Bandung. ketua Paguyuban Pasundan, salah satu organisasi pergerakan nasional. Dia sering meminjamkan gedung Paguyuban Pasundan untuk rapat pengurus VIJ. Kelak Otto berjuluk Si Jalak Harupat. Nama julukannya dijadikan nama stadion di Jawa Barat yang biasa dipakai Persib Bandung bertanding. Namun yang sangat disayangkan, pendukung Persija dan Persib justru bermusuhan dan kerap bentrok sampai menimbulkan korban jiwa. (Hendaru Trianggoro : Perjuangan MH Thamrin lewat sepakbola)
Tidak usah heran. Para Founding Fathers kita itu semuanya pecandu bola. Bung Hatta seorang pemain bertahan yang sangat tangguh. Dia mendapat julukan onpas serbar (sulit ditembus), karena pemain lawan sukar sekali melewatinya. Mungkin saja permainannya kala itu seperti Fabio Cannavaro, Kapten Timnas Italia pada piala dunia 2006. Yang paling ajib, Tan Malaka. Kegemaran dan kemahiran Tan Malaka dalam mengolah si kulit bundar membuat namanya menjadi populer. Selama kurun waktu antara tahun 1914-1916, ketika Tan Malaka tinggal di Harleem, Belanda, ia sempat bergabung bersama klub profesional Vlugheid Wint. Dalam klub itu, Tan dikenal sebagai penyerang andal yang memiliki kecepatan luar biasa. Bermain di garis depan, beberapa penjaga gawang pernah merasakan tendangan keras Tan Malaka saat bermain tanpa alas kaki alias nyeker.(Tan Malaka : Sepakbola adalah alat perjuangan, bagian 3).
Di lain kisah, Mohandas Karamchand Gandhi atau yang lebih dikenal sebagai Mahatma Gandhi melakukan perjalanan dari Durban ke Pretoria. Gandhi berangkat untuk menjadi pengacara bagi warga Negara India disana. Sepanjang perjalanan, Gandhi sadar bahwa ada sesuatu yang salah dan harus diperbaiki di Afrika Selatan, yakni ketidak adilan dan diskriminasi terhadap kaum non kulit putih. Namun menariknya, Gandhi mencoba memperbaiki kondisi tersebut dengan cara mempolitisasi sepakbola. Gandhi bukanlah seorang pemain bola, pelatih ataupun manajer. Dalam catatan FIFA, Gandhi adalah salah satu pendiri Transvaal Indian Football Association di Afrika Selatan pada 1869. Pada 1903, lahirlah South African Association of Hindu Football; juga tak lepas dari campur tangan Gandhi. Sebelum meninggalkan Afrika Selatan untuk kembali ke India, memperjuangkan keadilan sosial di tanah airnya, Gandhi mendirikan tiga kesebelasan di Durban, Pretoria, dan Johannesburg. Ketiganya diberi nama yang sama: Passive Resisters Soccer Club. Lalu bagaimana cara Ghandi mempolitisasi sepakbola? Gandhi menggunakan waktu dan tempat yang ia miliki, yang disediakan sepakbola tentunya, untuk menyampaikan buah pemikirannya kepada banyak orang. Tidak jarang Gandhi berorasi di ruang ganti atau di hadapan tribun penonton. Cerdas, bukan! (taufik Nur Shidiq, Pandit Footbal: Sepakbola alat perjuangan Mahatma Gandhi).
Sepakbola Dan Pertahanan Negara
Sebagai Negara yang dianugerahi keberagaman suku, adat budaya, agama, dan bahasa, sudah sepatutnya hal tersebut menjadi kunci persatuan dan kesatuan bangsa sekaligus fondasi utama keberlangsungan Negara kita. Konflik anak bangsa, Korupsi, Narkoba, sampai dengan gaduhnya situasi politik yang nyaris menguras habis energi kita dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini sudah harus tutup buku. Untunglah Pilpres telah selesai. Dan Prabowo juga berbesar hati masuk kabinet, situasi mulai mendingin. Kondisi ini seharusnya dimanfaatkan dengan cepat untuk melakukan terobosan terobosan baru yang positif. Mengambil hati rakyat dengan program program yang bersifat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rasanya sudah cukup mengobati kekecewaan sebagian masyarakat Indonesia.
Lantas apa hubungannya dengan pertahanan Negara?
Sepakbola adalah olahraga rakyat. Dimainkan secara team. Perlu kerjasama, strategi, tehnik dan keberanian bermain untuk bisa meraih kemenangan. Faktor lapangan, dukungan supporter, kesejahteraan pemain merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Untuk membentuk suatu tim nasional yang tangguh, proses dan tahapan nya tidak bisa instan begitu saja. Ambisi untuk meraih juara pada sebuah turnamen, bukanlah justifikasi untuk kemudian melakukan naturalisasi pemain secara berlebihan. Dan ironisnya hasilnya zonk. Lihat saja pagelaran Piala Tiger sampai berubah nama menjadi AFF CUP, tidak sekalipun Indonesia juara. Sea games baru mempersembahkan dua kali medali emas, dan yang terakhir 28 tahun yang lalu ! Yang paling menyakitkan hasil sementara kualifikasi Piala Dunia 2022. Empat kali secara beruntun Timnas kita mengalami kekalahan dihajar Malaysia, Thailand, UEA dan Vietnam.
Membangun timnas sepakbola sejatinya dimulai dengan membangun organisasinya terlebih dahulu. PSSI adalah jantung dan otaknya sepakbola di Indonesia. Integritas dan moralitas serta kemauan yang kuat untuk mengabdi demi kemajuan sepakbola nasional mutlak dimiliki oleh Ketua Umum terpilih berikut jajarannya. Dan tentu saja kemauan belajar dengan federasi sepakbola Negara yang dinilai berhasil harus juga dilakukan. Buang jauh jauh ego dan rasa malu untuk belajar. Pembenahan sistem financial juga harus dikoreksi dengan ketat. Kemudian mendorong klub untuk menjadi badan yang mandiri. Standarisasi infrastruktur lapangan, peningkatan kualitas pelatih harus segera dibenahi. (Amal Ganesha : langkah strategis memajukan sepakbola Indonesia).
Negara harus turun secara serius membangun sepakbola nasional. Sepakbola memang sudah menjadi olahraga massal di Indonesia. Artinya, masyarakat Indonesia memiliki kecintaan terhadap olahraga ini. Berbeda dengan Jepang, pada saat mereka berkeinginan membangun dunia sepakbolanya, hanya 5 persen masyarakat Jepang yang mengenal sepakbola, dan yang mengetahui peraturan permainannya tentu saja dibawah 5 persen tadi. Tapi sekarang, kita tahu bahwa Jepang adalah salah satu raksasa sepakbola Asia. Untuk Indonesia, saat ini kita memiliki modal yang bagus. Diawal sudah penulis sampaikan, bahwa sepakbola telah menjadi alat perjuangan bagi bangsa kita. Sudah seharusnya pembinaan usia dini mulai dari SD, SMP bisa di desain melalui kurikulum pendidikan olahraga. Bayangkan bila anak anak kita sejak dini sudah dikenalkan dengan sepakbola yang sesungguhnya. Pembinaan dan pembentukan fisik, Mental bertanding, sportifitas dan karakter nya akan terbentuk. Mereka bermain bola tidak lagi hanya sekedar berlari dan menendang. Tetapi filosofi kerjasama team, pengetahuan tentang tehnik, taktik dan strategi dasar sudah mereka miliki. Bila ini yang dilakukan, maka National Character Building pun akan mudah dilaksanakan.
Bila kita simak Lagu Indonesia Raya dengan jelas mengingatkan: ‘bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!’ Jiwa bangsa ini perlu dibangun dengan menyemai kembali nilai-nilai ke Indonesiaan. Dalam kaitan ini, Presiden Soekarno pernah mengingatkan, “Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain.”
Sepakbola merupakan salah satu media pemersatu bangsa. Namun untuk menjaga persatuan itu, kuncinya adalah berprestasi. Sepakbola yang tidak berprestasi akan ditinggalkan dan tidak dianggap sama sekali. Tugas PSSI untuk menjadikan sepakbola kita berprestasi, dan tugas Negara untuk menyediakan sumber dayanya dengan baik. Lalu apa tugas kita? mendukung dengan cara berkontribusi positif bagi kemajuan sepakbola nasional.
Dalam kacamata Pertahanan, seluruh sumber daya (manusia,alam dan buatan, sarana dan prasarana) dipergunakan dengan segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Kecintaan rakyat terhadap negaranya tidak lahir begitu saja. Ada proses yang dilihat, dan dirasakan oleh warga Negara untuk menumbuhkan rasa cinta tersebut. Ada rasa patriotisme yang tumbuh di hati sanubari rakyat. Oleh karena itu, Pemerintah, serta Para pemangku kepentingan harus senantiasa menjaga dan menumbuhkan rasa cinta tersebut dengan cara menjaga kepercayaan rakyat. Bekerja professional dan tidak melakukan korupsi.
Kita mengetahui bahwa ancaman hari ini tidak lagi berupa agresi militer dari suatu Negara ke Negara lain. Jika pada masa Perang Dingin, persepsi ancaman keamanan nasional setiap negara diformulasikan secara parsial hanya sebagai ancaman militer berupa agresi teritorial yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain dalam konteks perang ideologi antara blok Barat dan blok Timur sehingga mengancam keamanan nasional, maka pada masa Pasca Perang Dingin, ancaman militer mulai mengendur digantikan oleh ancaman non militer berupa kejahatan Transnational Organized Crime, pelanggaran HAM, kemiskinan, kelaparan, pengangguran, Narkoba, terorisme dan degradasi lingkungan yang sebagian besar dilakukan oleh aktor non negara sehingga mengancam keamanan manusia.
Dalam sepakbola, Judi merupakan ancaman nyata yang harus dilawan dengan amat sangat serius. Kerusakan moral, penghancuran nilai nilai sportifitas, hilangnya idealisme telah menjadi wabah penyakit yang mengerikan. Para pelaku sepakbola sebagian besar sudah terjangkit penyakit ini. Bila kerusakan ini telah menjadi akut , maka dapat dipastikan betapa lemahnya mental bangsa tersebut. Judi ini terorganisir, Non State Actor yang menjadi pemainnya. Dan multi National corporation berada dibelakangnya. Mereka memanfaatkan rumah judi sebagai proxi untuk menghancurkan kita. Dua keuntungan besar mereka dapatkan sekaligus. Kerusakan mental dan moral bangsa serta menarik uang dalam jumlah besar.
Beberapa tahun yang lalu, Penulis pernah berbincang bincang dengan salah seorang mantan pemain timnas era 2000 an. Penulis masih teringat dalam perbincangan itu si mantan pemain merasa sedih bila melihat penonton yang begitu semangat dan antusias datang ke stadion. “Saya kasihan sekali bang lihat orang orang pada nonton Liga Indonesia. Mereka datang ke stadion, keluar uang. Teriak teriak sampai habis suara mendukung kesebelasannya dengan penuh semangat”. “kog kasihan, memangnya kenapa?” Saya penasaran dengan pernyataan nya itu. “ Mereka hanya menonton sandiwara!”ujarnya dingin tanpa ekpresi. Menyedihkan.
Untuk merusak satu bangsa, cara paling mudah adalah mengadu domba. Dan ini sudah diterapkan oleh Kolonial Belanda dengan politik “de vide et impera”nya. Sepakbola juga bisa menjadi jalan masuk bagi Negara lain untuk merusak Indonesia. Industri sepakbola merupakan bisnis yang luar biasa. Dan kita juga sepertinya sangat tertarik untuk menjadikan sepakbola sebagai Industri. Namun perlu diingat bila tidak cermat dalam menganalisa dan memainkannya, kita hanya akan dijadikan sebagai penonton dan konsumen terbesar dalam lingkaran Industri sepakbola dunia. PSSI akan terus diobok obok agar lupa pada jati dirinya sebagai organisasi perjuangan. Kapitalisme sepakbola hanya akan menguntungkan para pemilik modal. Siapapun yang akan memimpin otoritas sepakbola Indonesia, akan mereka adu dengan para mafia sepakbola. Inilah tantangan terbesar bagi seorang Iwan Bule.
Dalam konsep pertahanan, Aspek asta gatra memegang peranan penting. Untuk diketahui, Asta Gatra terdiri dari Trigatra dan Panca Gatra. Adapun Trigatra berupa penduduk, sumber daya alam dan wilayah. Sementara Panca Gatra merupakan Idiologi, politik, sosial , ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Kuat atau tidaknya Pertahanan suatu Negara tergantung ketahanan Negara tersebut dalam mengelola dan mengatasi segala tantangan, hambatan maupun ancaman. Begitupun dengan Sepakbola tidak bisa dilepaskan dari gatra gatra di atas. Oleh karena itu, tuntutan sepakbola untuk berprestasi akan mendorong kecintaan dan kebanggaan anak bangsa terhadap Tim nasional kita. Sepakbola menjelma menjadi media pemersatu bangsa. Dengan demikian, perang terhadap mafia sepakbola termasuk judi didalamnya akan lebih mudah dilaksanakan. Kedaulatan sepak bola nasional harus dijaga. Tidak boleh ada kekuatan asing yang bisa seenaknya mengatur atur dan merusak sepakbola kita. Harga diri bangsa menjadi taruhannya.
Bangsa ini sudah teramat rindu untuk melihat Timnas senior kita berprestasi. Sudah teramat lama membayangkan Indonesia bisa berkiprah di Piala Dunia karena prestasinya, bukan karena ditunjuk sebagai tuan rumah. Merajai Asia Tenggara dan menjadi salah satu raksasa sepakbola Asia.
Kini, PSSI sudah memiliki Nakhoda baru. Kita harus dukung dengan memberikan kepercayaan penuh bagi seluruh pengurus untuk menunaikan darma baktinya pada negeri. Jayalah sepakbola Indonesia.