Ilham Prasetya Gultom, S.H. M.Han,
Advokat, Pemerhati Pertahanan
Sepatu jogging sudah dipakai. Saatnya bersiap siap untuk menghabiskan jatah lari sore sejauh 3 Km. Program ini sendiri sudah berlangsung sejak seminggu yang lalu. Pagi hari berjalan sejauh 3-5 km dan dilanjutkan sore harinya dengan jogging ringan 2 sampai 3 Km. Saya baru saja melakukan peregangan dan pemanasan ringan, sewaktu langit di Kota Medan tiba tiba berubah. Awan hitam menggumpal dan tidak berapa lama, hujan deras mengguyur. Tentu saja jogging sore batal demi hujan.saat ini pilihannya hanya ada dua. Saya melanjutkan olahraga senam aerobic dengan panduan dari channel Youtube? Atau melototin website The Associated Press sembari menulis artikel, sekaligus melihat siapa yang unggul antara Biden atau Trump? Saya yakin, mayoritas pembaca bila dihadapkan dalam situasi seperti ini akan memilih pilihan kedua. Dan saya melakukan itu, untuk mewakili perasaan anda semua, para pembaca.
Pemilihan Presiden Amerika Serikat selalu menarik untuk disimak. Negara negara di dunia ini sedang menghitung hitung keuntungan yang akan mereka peroleh bila pemenangnya Trump atau Biden. Salah dalam memberikan “dukungan” akan berimbas fatal kedepannya. Tidak terkecuali negara besar sekalipun. Trump dengan gaya khasnya, meledak ledak, super agresif, harus diakui cukup sukses dalam mewujudkan Make America Great Again episode 1, dan pemilihan ini tentu saja merupakan sequel bagi Trump untuk Amerika. Joe Biden, lelaki 77 tahun ini mencapai panggung politik nasional pada usia 29 tahun, dengan kemenangan mengejutkan menjadi Senat AS di Delaware pada tahun 1972. Dia tercatat sebagai salah satu senator termuda dan menghabiskan lebih dari tiga dekade di Majelis Tinggi sebelum menjalani delapan tahun sebagai wakil Obama. Artinya, ini adalah pertarungan politik terakhir bagi Biden. Ronde terakhir yang harus dimenangkan. Sampai dengan tulisan ini dikirimkan ke redaksi, layar monitor menunjukkan angka 238 bagi Biden dan 213 untuk Trump.
USA bagi Geopolitik dunia adalah aktor utama yang tidak tergantikan di abad 21 ini. Sangat berat untuk menyangkal bahwa tidak ada kejadian di dunia ini tanpa Amerika ikut di dalamnya. Panasnya perang dagang Amerika dengan China, sampai dengan keluarnya Inggris dari Eropa (Brexit), disusul kisruh Hongkong sudah pasti mengguncang pasar keuangan dunia. Indonesia tentu saja ketiban masalah dengan dinamika global yang terjadi. Di 2019, laju pertumbuhan ekonomi kita hanya 5,02%, dan ini lebih rendah dari pencapaian di tahun 2018 yang mencapai 5,17%. Bagaimana dengan keadaan sekarang? ditengah kondisi pandemi Covid 19, sampai dengan kuartal III minus 5,32%. Bagi Amerika, terlepas siapa nanti yang akan menjadi pemenang, Indonesia adalah negara yang harus “dijaga” arahnya. Lima tahun terakhir ini, sepertinya Amerika terlena dengan persoalan Timur Tengah. Sehingga mereka “lupa” bahwa ada hubungan mesra antara China dengan Indonesia yang sudah dipertontokan secara vulgar melalui banyaknya proyek proyek besar. Kunjungan Menlu Mike Pompe minggu kemarin ke Indonesia sepertinya adalah bukti Amerika sudah “sadar” dari keterlenaannya. Dan luar biasanya, hasil kunjungan itu langsung membuahkan hasil berupa perpanjangan fasilitas Generalized System Preferences (GSP) untuk Indonesia. Adapun Fasilitas GSP merupakan fasilitas yang diberikan AS berupa pembebasan tarif bea masuk untuk mendorong pertumbuhan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemberian ini dapat dimaknai sebagai bentuk komitmen Amerika untuk menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis di kawasan Asia-Pasifik sekaligus meredam dominasi China di Regional.
Trump terpilih lagi, alamat perang dagang dengan China semakin memanas. durasi semakin lama dan tidak jelas kapan berakhirnya. Tentu saja Negara lain termasuk Indonesia akan mendapat imbas lanjutan. Amerika dan China akan berlomba lomba memberi pengaruhnya dalam mencari sekutu untuk memenangkan perang dagang tersebut. Trump menang lagi, maka Angkatan Perang Luar Angkasa Amerika Serikat akan semakin digdaya. Kalau pembentukannya saja telah menghabiskan US $738 miliar ( Rp. 10,3 Kuadriliun), berapa lagi nanti untuk pengembangannya? Mengerikan ! Angkatan Perang Luar Angkasa ini merupakan obsesi Trump dan sudah dia wujudkan. Ini adalah angkatan militer keenam dari Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) setelah Angkatan Darat, Laut, Udara, Marinir, dan Penjaga Pantai. Militer. Amerika sendiri tidak pernah membuat angkatan baru dalam tujuh dekade terakhir. Angkatan baru ini akan terbagi jadi dua bagian, Komando Luar Angkasa dan Angkatan Antariksa. Komando akan berfokus pada pengaturan strategi pertempuran perang. Sementara Angkatan Antariksa akan mencakup misi yang lebih luas seperti pelatihan, pengadaan, perencanaan jangka panjang, dan fungsi-fungsi lainnya. Angkatan Luar Angkasa ini akan diperkuat dengan 16.000 Angkatan Udara dan personel sipil. Pembentukan Angkatan baru ini sudah cukup menjadi pesan bagi Negara di seluruh dunia untuk tidak mencoba coba berkonflik dengan Amerika Serikat.
Bagaimana bila Biden yang terpilih?. Biden akan membangun hubungan antara industri dan usaha kecil untuk menciptakan jutaan lapangan kerja di sektor manufaktur dan teknologi,” tulis laman visi-misi Biden. Amerika Serikat adalah negara konsumen terbesar di dunia. Jika program Biden berhasil, dengan catatan dia terpilih, maka akan tersedia jutaan lapangan kerja yang menyokong daya beli masyarakat Amerika. Dan sepertinya Biden tidak akan tertarik untuk melanjutkan perang dagang dengan China. World Trade Organization akan dioptimalkan oleh Biden guna membantu memulihkan hubungan ekonominya dengan China. Bagi Indonesia, tentu harus semakin berhati hati. sebab dominasi China di kawasan Asia Pasifik tidak akan mendapat “hambatan” lagi dari Amerika Serikat. Sepertinya kepemimpinan Biden bila terpilih nanti, akan banyak dipengaruhi oleh lobi lobi dan negosiasi negosiasi elit. Amerika akan lebih soft, dan tidak terlalu berisik. Jelas kepemimpinannya akan berbeda 180 derajat dengan Trump. Sepertinya Twit twit ala Trump tidak akan muncul bila Biden yang menjadi Presiden. Boleh percaya boleh tidak, twit twit Trump cukup ampuh untuk menggoyang Bursa Dow Jones Index.
Hanya dalam hitungan beberapa hari kedepan, pemenang resmi pilpres Amerika Serikat tahun 2020 akan diketahui. Pergerakan dunia kedepan,tentu saja tidak bisa dilepaskan dari hasil pilpres ini. Negara Negara kecil mungkin saja tidak akan mengambil sikap berlebihan memandang siapapun yang terpilih nantinya. Tapi hemat saya, Indonesia tidak bisa memilih sikap seperti itu. Sebagai Negara besar, Pemerintah sudah seharusnya memiliki hitungan hitungan strategis dan taktis untuk menyambut Presiden terpilih Amerika. Sebagai Negara berdaulat, Indonesia memang tidak diperkenankan dan juga tidak etis untuk menjagokan apalagi mendukung salah satu kontestan. Namun, tidak salah kalau Pemerintah juga sudah harus menyiapkan langkah langkah antisipatif terhadap kemungkinan hasil pilpres tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Diterbitkan Oleh Makronesia.id