Ditulis oleh Muhammad Gading Siahaan,
Gading adalah sosok multi talenta, terutama untuk strategi bisnis dan Konsultasi manajemen keuangan Modern. Seorang Desainer, Reporter juga penggiat sosmed Aktif.
Jokowi telah menyelesaikan satu periode pemerintahannya. Kini memasuki periode kedua. Namun laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mencapai target remote Pemerintah. Tentu di periode kedua ini kredibilitas Jokowi dipertaruhkan. Sebagai penguasa yang melanjutkan kebijakan di periode pertama, harusnya, memasuki tahun pertama periode keduanya, pergerakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mengalami perubahan kearah yang dapat dirasakan khalayak banyak.
Politisnya pembahasan mengenai pertumbuhan ekonomi ini seolah tabu, media-media mainstream seolah kompak untuk tidak memberi pencerahan kepada masyarakat. Sementara dilapisan masyarakat pembahasan pertumbuhan ekonomi ini sangat diperlukan, mengingat hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Arah pertumbuhan kini semakin ngawur, meski telah dibentuk badan-badan ahli yang terkhusus mengurus sektor ini, rasa-rasanya sia-sia.
Saya ambil contoh Otoritas Jasa keuangan (OJK). Lembaga pengawas Industri Keuangan ini didirikan dengan tujuan melindungi hak ekonomi masyarakat, namun kebijakan yang dikeluarkan hanya memihak kepentingan investor korporat, walau badan ini sudah diberikan kuasa penindakan langsung secara luas mengingat sektor ekonomi tersebut adalah vital bagi negara.
Fakta di lapangan, seiring degan asumsi para ahli, Hal ini dapat dimaklumkan selain sebagai pelindung, OJK juga harus mampu menjadi manager pemasaran investasi untuk kepentingan Ekonomi Negara. Jadi jangan heran bila nasabah/debitur/investor melapor ke OJK atas ketidakadilan kebijakan korporat bidang jasa keuangan bukan mendapat perlindungan taktis namun menjadi perlindungan kontekstual. Arti katanya begini, mari ambil contoh kasus Jiwa Sraya, di sana banyak investor/debitur/nasabah yang mempercayakan uangnya, di saat Jiwa Sraya “memudarkan diri” , malah yang menangani kasusnya adalah Pengadilan, kemudian hak-hak debitur/nasabah/investor seolah menjadi tersangka yang dipertaruhkan kadar keadilannya, lalu OJK berdiri di mana?.
OJK seperti tak terjangkau masyarakat.
Mari kembali ke pembahasan mandegnya Ekonomi Indonesia. Sebagai awam kita pasti tidak bisa melakukan analisis yang sesuai prosedural yakni di mana di sana ada tehnis statistik, teknis silabus ekonomi, tehnis tata cara pengambilan keputusan dan lain sebagainya. Tetapi cukup berorientasi fakta, diantaranya Harga Jangkau Beli yang Lepas landas dari kemampuan masyarakat, Harga Produk yang tidak serap pakai dan masih ada beberapa diantaranya. Bila kita selalu terfokus pada Harga Ekuitas Terjangkau (HET) Pemerintah di sektor Sembako sepertinya sudah adil dan cukup terpenuhi. Namun ada sektor produk yang jelas tidak mampu Pemerintah kendalikan standarnya yakni sektor produk Elektronik, Furniture, Otomotif, dan Sektor Produk Jasa Keuangan. Lalu siapa yang berkuasa di sektor ini, tak lain adalah korporat penyedia layanan jasa pembiayaan atau dikenal lising maupun perusahaan finance. Ada alur jelas mengapa mereka menjadi penguasa di sektor ini, yakni harga produk sektor tersebut menjadi sangat tinggi atas permintaan pihak korporat tersebut meski tidak secara langsung, dengan alasan adanya mereka sebagai pihak ketiga produsen akhirnya berlomba-lomba mengeluarkan produk mereka dengan berbagai inovasi maupun pembaharuan namun dengan harga yang rendah agar siklus ekonomi produsen berjalan, harga rendah tersebut tentu atas permintaan pihak ketiga tersebut yakni korporat lising dan sejenisnya. Serta penikmatnya adalah korporat ini.
Adanya pihak lising ini, dalam penyaluran kredit konsumtif tidak lagi bertindak sebagai wakil konsumen melainkan mereka menjadi kreator tingginya Suku Bunga yang harus di bayarkan debitur sebagai konsumen di produk konsumtif. Jelas ini tidak sepaham dengan metode penerapan visi pertumbuhan eknomi negara.
Seharusnya debitur Indonesia telah mampu menikmati penyaluran kredit tanpa pihak ketiga ini, selain persyaratan begitu tidak masuk akal, suku bunga yang tinggi, serta pemborosan uang debitur karena adanya biaya administrasi, kita ketahui suku bunga kredit ini sebagai dasar pertimbangan utama sebagai tolak ukur seberapa jauh pertumbuhan ekonomi itu bergerak. Saat ini pemerintah menegaskan dengan cukup berpatokan NIK (Nomor Induk Kependudukan) segala fasilitas sebagai WNI sudah dapat di nikmati, sementara korporat lising ini tidak mengakui keberadaan NIK tersebut sehingga calon debitur tanpa daya menyerahkan dokumen harta lainnya demi ternikmatnya saluran kredit tersebut.
Hadirnya pihak ketiga ini yaitu pihak korporat lising, turut menyumbang prestasi buruk tertinggi catatan keuangan pada BI. Selain mereka kontrol harga dengan standar mereka dimana standar tersebut alih-alih menyesuaikan dengan kebijakan yang di keluarkan pemerintah. Mereka juga akan berusaha merampas produk tersebut serta hak-hak debiturnya jika tidak mampu memenuhi perjanjian bayar atas peraturan mereka sendiri. Jelas hak debitur ini OJK harus berperan aktif secara otorita guna melindungi debitur sehingga tak diperlukan kembali sudut pandang hukum pidana.
Namun jika pemerintah mensahkan perbankan sebagai pusat pasar peredaran uang dan produk beli konsumtif maka ekonomi pasti bertumbuh sesuai arah remote. Pemerintah harus berani menutup total operasi korporat lising ke lini masyarakat, alihkan saja korporat ini ke bisnis external seperti pemerintah mengeluarkan kebijakan wajib bagi korporat lising beroperasi hanya untuk produk export sehingga menghasilkan pendapat devisa dimana kita ketahui suatu negara dapat makmur apabila pendapatan devisa suatu negara sudah terjamin masuk dalam skala yang besar dan tetap. Biarkan saja bank selaku penerbit fasilitas keuangan masyarakat mengelola kredit konsumtif sektor Elektronik, Gadget, Furniture, Otomotif dan sejenisnya, ada alasan tepat karena data nasabah secara penuh telah dihimpun secara syah sebelum membuka rekening atas dasar itu bisa dijadikan patokan membeli kredit oleh nasabah, toh cara ini telah di terapkan oleh negara-negara maju di dunia. Makanya di negara maju korporat lising tidak untuk beroperasi di dalam negara itu melainkan beroperasi secara ‘cross over country’. Saya juga merasakan hal itu ketika ingin mengekspor barang saya diwajibkan berhubungan dengan korporat lising swasta negara tujuan export tersebut meski transaksi bisa dilakukan dari bank ke bank.