Makronesia.id, Padang – Di tengah kemajuan zaman yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, muncul satu suara dari panggung ilmiah yang mengajak kita kembali menengok akar pendidikan: kreativitas anak.
Hari itu, di Auditorium Universitas Negeri Padang (UNP), 11 profesor baru resmi dikukuhkan. Salah satunya adalah Prof. Dr. Farida Mayar, M.Pd. dosen dari Fakultas Bahasa dan Seni, yang menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Menjawab Tantangan Seni Rupa dan Kreativitas.” Sebuah gagasan yang tidak hanya menggugah dunia pendidikan, tetapi juga menyentuh cara kita memandang anak-anak dan potensi imajinatif mereka.
Dalam orasinya, Prof. Farida menyampaikan sebuah kritik halus namun tajam: masih banyak orang tua yang menganggap seni rupa hanya sebagai pelengkap dalam pendidikan anak usia dini. Mereka lebih fokus pada kemampuan anak membaca, menulis, dan berhitung, sementara seni dianggap sebagai kegiatan bermain semata.
Namun bagi Prof. Farida, justru di sanalah seni rupa memegang peran penting. “Kelas anak usia dini bukan sekadar tempat belajar huruf dan angka. Ia adalah laboratorium kreativitas,” ungkapnya dengan penuh semangat.

Seni Rupa: Lebih dari Sekadar Coretan di Atas Kertas
Menurut Prof. Farida, seni rupa adalah proses menyeluruh—yang melibatkan ketangkasan, kreativitas, kepekaan indera dan hati, serta pemikiran yang mampu melahirkan karya penuh makna dan keindahan.
Ia menyebutkan bahwa jenis-jenis seni rupa yang bisa dikenalkan kepada anak sejak dini sangat beragam: mulai dari melukis, membuat patung, dekorasi, kerajinan tangan, desain grafis, hingga ilustrasi.
Lebih dari itu, fungsi utama pendidikan seni rupa bagi anak usia dini ternyata sangat mendalam. Seni bukan hanya media ekspresi dan komunikasi, tetapi juga sarana bermain yang mendidik, tempat menumbuhkan bakat, bahkan mendorong anak untuk berpikir kritis dan solutif.
Anak dan Seratus Bahasanya
Mengutip filosofi “Alam Takambang Jadi Guru” yang menjadi moto UNP, Prof. Farida mengajak para pendidik dan orang tua untuk lebih peka terhadap lingkungan dan potensi alami anak.
Ia menjelaskan bahwa anak usia dini memiliki karakter unik dalam seni—ekspresif, spontan, bebas, dan selalu eksploratif. Mereka menyampaikan dunia pribadinya lewat simbol visual, garis, dan warna.
“Anak-anak memiliki seratus bahasa,” ujar Prof. Farida. “Tugas kita adalah memberi ruang agar semua bahasa itu bisa mereka gunakan untuk mengekspresikan diri. Seni rupa adalah salah satunya—bahkan yang paling kuat.”
Membentuk Masa Depan lewat Imajinasi
Dalam paparannya, Prof. Farida juga menekankan beberapa faktor penting dalam efektivitas pembelajaran seni rupa, yaitu:
* Kualitas pendidik yang mampu membimbing tanpa membatasi
* Lingkungan belajar yang nyaman dan mendukung
* Ketersediaan alat dan bahan seni
* Keterlibatan aktif orang tua dan keluarga
* Karakter serta minat alami anak
Semua itu, menurutnya, merupakan elemen penting dalam menciptakan pendidikan seni yang bermakna dan berdampak.
Akhir yang Menginspirasi
Mengakhiri orasinya, Prof. Farida menyampaikan sebuah pesan yang menggetarkan nurani pendidik dan orang tua:
“Marilah kita melihat ruang kelas anak usia dini bukan sekadar tempat mengajarkan membaca dan menulis huruf dan angka, tetapi sebagai laboratorium kreativitas. Di dalamnya, anak-anak bebas mengekspresikan seratus bahasa mereka—melalui seni rupa yang penuh warna, penuh imajinasi, dan penuh makna.”
Dengan orasi ini, Prof. Farida Mayar tak hanya mengukuhkan dirinya sebagai seorang profesor, tapi juga sebagai suara penting dalam upaya mengembalikan seni ke pangkuan pendidikan anak. Karena masa depan bukan hanya milik anak-anak yang cerdas secara akademik, tapi juga mereka yang mampu berpikir kreatif, mandiri, dan siap menghadapi tantangan zaman. (SAB-02)







