JAKARTA, MAKRONESIA.ID – Fakta tak terbantahkan, Industri baja nasional Indonesia nyaris runtuh. Makronesia.id mencatat, sedikitnya tiga pabrik baja di Indonesia sudah tutup.
Direktur
Utama PT Krakatau Steel (KS) Tbk Silmy Karim mengakui soal penutupan tiga
pabrik baja di Indonesia. Ia bilang itu fakta yang benar-benar terjadi karena
serbuan baja impor terutama dari China.
“Itu fakta, banyak yang tutup, baik itu swasta kita juga mengalami tekanan
makanya restrukturisasi,” kata Silmy di Jakarta, Kamis (21/11)
Menurutnya, Pabrik yang masih beruntung memang masih ada. Hanya saja, pabrik baja itu harus beroperasi dengan
kehati-hatian.
“Megap-megap”, istilah Silmy. Ia menguraikan, dengan pemanfaatan kapasitas
produksi (utilisasi) sangat minim dalam rentang 30 persen-60 persen, sulit bagi
industri dapat untung. Di sektor industri baja lapis seng (Bj.LS) dan baja
aluminium Seng (Bj.LAS) utilisasi atau kapasitas produksi yang terpakai hanya
berkisar 35-38 persen.
Berulangkali kali dalam berbagai kesempatan Silmy mengungkapkan, sejumlah faktor
menjadi pemicu baja impor deras masuk ke Indonesia, sehingga membuat beberapa
pabrik baja di Indonesia kolaps.
Pertama, Permendag No 110 tahun 2018 tentang ketentuan impor besi baja
dan baja panduan dan produk turunannya, yang sebelumnya diatur pada Permendag
No 22 tahun 2018, yang menyebabkan penghapusan pertimbangan teknis sebelum
impor baja. Hal ini menyebabkan impor baja semakin mudah dan tidak ada sistem
kontrol izin impor.
Kedua, praktik menghindari terutama dalam impor baja, antara lain
praktik pengalihan pos tarif impor (HS Code) baja karbon menjadi paduan. Selain
itu, baja karbon untuk konstruksi dialihkan menjadi baja paduan dengan harga
yang lebih murah dari baja karbon.
Harga baja paduan impor dari China sangat murah karena mendapatkan keunggulan
tax rebate atau insentif bagi para eksportir sebesar 9%-13%. Negara pemasok
baja impor khususnya China terhindari dari bea masuk anti dumping 20% karena
ada perdagangan bebas ASEAN-China atau ACFTA.
Ketiga, kebijakan Trump yang memicu perang dagang membuat produk-produk
baja impor China yang biasa masuk Amerika Serikat (AS) tak bisa masuk lagi,
sehingga ada pengalihan pasar ke Asia Tenggara.
Keempat, hadirnya perdagangan bebas, membuat bea masuk umum atau
most favoured Nation (MFN) untuk produk baja telah diturunkan dan sampai 0%.
Untuk itu, Silmy mendesak perlu ada langkah-langkah strategis dari pemerintah
khususnya melakukan perombakan regulasi. Sedangkan bagi industri baja seperti
Krakatau Steel melakukan restrukturisasi keuangan hingga organisasi, agar bisa
tetap bertahan dari serbuan baja impor yang belum bisa ditangani.
“Jadi selain restrukturisasi utang, restrukturisasi bisnis,
restrukturisasi organisasi sekarang tambah restrukturisasi regulasi,” kata
Silmy.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri manufaktur pada kuartal
III-2019 tumbuh melambat, dan paling parah adalah industri baja. Industri
barang logam bukan mesin dan peralatannya mengalami penurunan paling dalam,
yakni 22,95% secara tahunan (yoy).
Dari data BPS lain, pada Januari-Maret 2019 saja, impor baja meningkat 14,65%
sebanyak 2,7 juta ton dibanding periode yang sama pada tahun lalu sebanyak 2,4
juta ton. (AB/CNBCI/AM)